Sedang Membaca
Tren Hijrah dan Politik “Ukhuwah Islamiyah”
Muhammad Asad
Penulis Kolom

Mengabdi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Tren Hijrah dan Politik “Ukhuwah Islamiyah”

Sudah banyak tulisan tentang tren hijrah di kalangan artis dan milenial yang ditulis dan bertebaran di banyak media Online maupun offline. Sedikit banyak para penulis ini menerangkan tentang makna hijrah, hubungannya dengan pemaknaan hijrah zaman Rasulullah dan relasinya dengan trend masa kini.

Beberapa penulis lain melihat fenomena hijrah dengan kondisi psikologis masyarakat urban dan kebutuhan mereka terhadap spiritualitas. Penulis lain menganalisa hijrah sebagai sebuah fenomena budaya popular yang berkelindan dengan aktivitas ekonomi Islam.

Dalam tulisan ini, saya ingin menganalisis tren hijrah di kalangan milenial (banyak juga orang umur di atas 40 tahun berhijrah) dalam hubungannya dengan kegiatan politik, yaitu usaha mempersatukan persaudaraan umat Islam untuk satu kepentingan ideologi tertentu yang berujung pada pendirian negara berdasarkan agama. 

Slogan Persaudaraan Islam

Jika Anda mengikuti berbagai macam akun hijrah yang ada di media sosial (Instagram, Facebook, Twitter), ada satu “kampanye” atau “syiar” yang selalu mereka pariwarakan ketika akun-akun ini mengadakan satu acara di beberapa kota besar di Indonesia. Slogannya adalah mempererat “Persaudaraan Islam” atau “ukhuwah Islamiyah”. Salah satu inti ukhuwah Islamiyah dalam gerakan ini adalah menegasikan perbedaan pemahaman keagamaan seperti mazhab atau ritual ibadah demi persatuan umat. Perbedaan ini menurut mereka bisa ditoleransi asal bukan perbedaan akidah

Maka tidak asing lagi, jika melihat berbagai acara hijrah di seantero negeri, mereka berusaha memadukan para dai dari berbagai macam kelompok, mulai dari Salafi, Muhammadiyah, ataupun kelompok yang secara ritual keagamaan dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), seperti para “golongan habib”. Mengapa slogan ini mereka kampanyekan dan mengapa mereka juga mengundang dai dari lintas kelompok?

Sejauh pengamatan saya, ada kepentingan politik di sini. Dengan mengambil dari banyak kelompok Islam, mereka berusaha dengan keras untuk menampilkan bahwa Islam itu satu, dan perbedaan penafsiran bukanlah masalah besar. Ujungnya dari logika ini adalah, usaha mempersatukan kepentingan politik identitas –atas nama agama– yang pada akhirnya sampai pada satu puncak, yaitu pendirian negara berdasarkan agama, persisnya ide khilafah (selain khilafah, mereka juga memakai frasa ummatan wahidatan, umat yang satu). Kesimpulan saya ini berdasarkan atas tiga fakta.

Baca juga:  Puasa, Tetirah Para Makhluk

Pertama, jika Anda mencoba menelusuri lebih jauh akun-akun hijrah ini, kebanyakan dari mereka adalah simpatisan eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Biasanya mereka glorifikasi kejayaan kekhalifahan Turki Usmani bahkan sering kali menawarkan paket ziarah umroh yang disertai dengan penelusuran sejarah khilafah di Turki. Tentu salah satu endingnya adanya diskursus untuk mengatakan bahwa khilafah adalah solusi bagi semua permasalahan di dunia ini. Bagi kalangan hijrah dan kelas menengah urban, paket seperti ini terjangkau dan sangat menarik. Untuk eksponen eks HTI, acara seperti ini menjadi ranah subur untuk penanaman ide-de pendirian negara berbasis agama ataupun ide tentang khilafah. 

Yang kedua, upaya pemersatuan umat Islam dengan dalih ukhuwah Islamiyah sebetulnya bukan barang baru dalam sejarah politik Islam. Paling tidak kita bisa melihatnya di Mesir lewat Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam sejarah pendirian dan aktivitas politik IM, mereka juga menggunakan jargon yang sama. Hizbut Tahrir secara kelembagaan di berbagai negara juga menggunakan slogan dan kata kunci yang tidak berbeda. Karena gerakan politik Islam di Indonesia tidak jauh dari pengaruh IM dan Hizbut Tahrir, tidak mengejutkan jika gerakan hijrah milineal juga ‘menjual’ slogan yang sama sebagaimana IM di Mesir ataupun Hizbut Tahrir. 

Yang ketiga, dalam beberapa survei terakhir, seperti dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2018, angka masyarakat Indonesia yang pro dengan syariat Islam setiap tahunnya selalu meningkat. Pada 2005 pro Syariah mencapai angka 4,6 persen dan melesat naik menjadi 7,3 persen pada 2010. Pada tahun 2018, jumlah orang Indonesia yang pro Syariah sudah hampir dua kali lipat, yaitu 13,2 persen. Angka ini seakan menjadi penegas mengapa tren hijrah sangat diminati. 

Dengan tiga fakta di atas, kita patut curiga bahwa tren hijrah saat ini sangat mungkin dipakai sebagai jalan untuk membawa kalangan yang haus ilmu agama masuk ke dalam kepentingan politik: yaitu pendirian negara Islam. Tentu klaim ini tidak bisa disama ratakan ke seluruh kelompok atau orang yang ‘berhijrah’. Banyak di antara mereka memang ingin berubah menjadi Muslim yang lebih baik. Akan tetapi, bagaimanapun tidak bisa dipungkiri bahwa dibalik tren hijrah ini, ada beberapa eksponen gerakan politik yang ingin membawa mereka ke arah kepentingan politik identitas.

Baca juga:  Gamal Abdel Nasser "Membully" Ketua Ikhwanul Muslimin: Hijab Tidak Wajib

Namun yang jelas, sangat mungkin, ketika orang ‘berhijrah’ dan selalu menghadiri acara bertema hijrah secara reguler, mereka akan ditanamkan nilai-nilai politik ukhuwah Islamiyah ini. Yang tentunya mereka akan terpengaruh oleh pemikiran seperti ini. Mengapa demikian?

Sejauh pengamatan penulis, sebagian besar penyelenggara acara hijrah, punya kepentingan politik, tidak murni agama. Aksi bela Islam berjilid-jilid selama beberapa tahun terakhir bisa dikatakan salah satu ekses kegiatan tersebut. Ini terjadi karena ketika mereka merasa Islam diserang, maka senjata paling ampuh untuk menggugah emosi mereka agar mau bergerak bersama tidak lain adalah ide ukhuwah Islamiyah, dengan mengatakan saudara Muslim lainnya sedang teraniaya. 

Yang lebih bahaya lagi, ketika pemikiran ini tertanam, mereka akan menghindari kelompok yang menurut mereka bukan bagian dari ukhuwah Islamiyah ini. Ini yang mengkhawatirkan, mereka menjadi radikal dan intoleran terhadap kelompok yang dianggap mempunyai pendapat ataupun agama berbeda. Hasil ini akan berbeda jika kalangan yang haus ilmu agama ini, ditanamkan tidak hanya pemikiran ukhuwah Islamiyah, tetapi juga ide tentang persaudaraan atas nama bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan umat manusia (ukhuwah basyariyah). Dengan konsep ini, masyarakat tidak diajarkan untuk membenci meskipun mereka berbeda agama karena tetap saudara satu bangsa, dan sama-sama hidup sebagai manusia yang saling membutuhkan.

Sayangnya ide seperti itu tidak secara masif dikenalkan atau mudah diterima oleh kalangan milenial. Hanya NU yang senantiasa promosi pemikiran ini, hanya saja tidak terlalu kuat gaungnya dan kalah oleh gerakan politik identitas kalangan hijrah. 

Politik Negara Islam

Siapa yang memanen ide persaudaraan Islam yang ditanamkan kepada milenial dan kelas menengah urban ini? Tentu institusi politik formal atau informal yang punya visi mendirikan negara Islam atau bahkan khilafah Islamiyah. Secara formal institusi ini bisa lihat di tubuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun partai tidak menunjukkan secara eksplisit tujuan mendirikan negara Islam, tetapi jika lihat dari visi misi yang di website resminya, PKS mempunya tujuan untuk “negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal, melalui perjuangan konstitusional dan demokratis”.

Baca juga:  20 Tahun Pembantaian Guru Ngaji di Banyuwangi (2/2)

Partai tersebut memang mencantumkan ukhuwah basyariyah atau wataniyah dalam visi mereka, tetapi jika lihat dari sepak terjangnya selama dua pemilu terakhir. Kita bisa melihat bagaimana ukhuwah islamiyah menjadi titik poin gerakan partai ini daripada nilai kebangsaan atau kemanusiaan. 

Yang kedua tentu HTI, meskipun organisasi secara resmi dibubarkan oleh pemerintah, tetapi simpatisan kelompok ini masih bergerilya dan berdakwah secara masif melalui media sosial. Yang paling mencolok tentu aktivitas Felix Siauw yang dengan timnya “Yuk Ngaji” masih aktif berdakwah mempromosikan ide khilafah islamiyah. Tagar di Twitter akhir-akhir ini seperti #khilafah wajib atau #Islam yes khilafah now, adalah contoh keberhasilan dakwah mereka di kalangan milenial yang sadar teknologi digital.

Selain dari dua kelompok di atas, yang bisa memanen gerakan hijrah ini adalah kelompok garis keras Islam yang ingin mendirikan negara Islam dengan menggunakan cara kekerasan. Ini bisa dibuktikan merujuk laporan CNN Indonesia di mana sampai tahun 2015, dengan embel-embel hijrah ke negeri khilafah, sebanyak 600 WNI bergabung dengan ISIS di Suriah. 

Untuk itu mari kita lebih berhati-hati tren hijrah ini; terutama bagi orang-orang di sekeliling kita. Hijrah secara umum, berubah ke arah lebih baik, sangat dianjurkan. Akan tetapi jika sudah mulai masuk ke ranah politik, harus diwaspadai. Ukhuwah Islamiyah memang penting, akan tetapi ada nilai yang juga penting yang perlu untuk kita semai dan lestarikan untuk perdamaian bangsa dan negara ini yaitu persaudaraan atas nama bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan umat manusia (ukhuwah basyariyah). 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top