Sedang Membaca
Masyumi Reborn dan Romantisme Masa Lalu yang Selalu Gagal
Muhammad Asad
Penulis Kolom

Mengabdi di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Masyumi Reborn dan Romantisme Masa Lalu yang Selalu Gagal

1 Masyumi

Pada Sabtu (07/11), tokoh-tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendeklarasikan Partai Masyumi, sebuah partai politik yang punah karena kebijakan Sukarno yang membubarkannya pada tahun 1960. Beberapa tokoh KAMI yang ikut serta dan ikut dalam deklarasi ini diantaranya MS Kaban (mantan ketua Partai Bulan Bintang/PBB), Abdullah Hehamahua (mantan penasihat KPK), Bachtiar Chamsyah (mantan Mensos) dan Cholil Ridwan (mantan ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia /DDII).

Tidak hanya figur diatas, beberapa figur terkenal lain juga tertarik untuk bergabung. Sebut saja Amien Rais yang baru saja mendirikan Partai Umat setelah kecewa pada hasil kongres PAN terakhir. Mengomentari munculnya Masyumi reborn, Amien Rais berkomentar bahwa dia bersedia masuk partai baru ini jika memang secara kuantitas lebih besar dari Partai Umat. Tidak hanya itu, mantan Ketua MPR ini juga mengatakan bahwa Masyumi Reborn berpeluang menjadi partai besar karena anak-cucu ideologis dan biologis Masyumi akan ikut serta menyukseskan partai baru tersebut.

Selain Amin Rais, beberapa tokoh Islam lain juga tertarik bergabung, mulai dari Tengku Zulkarnain hingga Ustadz Abdul Somad yang diberitakan bersedia menjadi ketua Dewan Syuro Partai Masyumi. Beberapa eksponen KAMI mengatakan bahwa ketertarikan tokoh-tokoh ini dikarenakan partai Islam yang saat ini ada, seperti PKS, tidak bisa menampung massa Presidum Alumni (PA) 212.

Tidak hanya itu, gegap gempita Masyumi Reborn ini sempet trending di Twitter pasca pendeklarasiannya. Namun begitu, terlepas dari banyaknya berita tentangnya, muncul satu pertanyaan mendasar apakah partai baru besutan tokoh KAMI dan kawan-kawan ini bisa mendapatkan suara? Paling tidak masuk parlemen, atau bahkan mengikuti jejak Masyumi lama di Pemilu pertama tahun 1955 yang berhasil menduduki peringkat 2 nasional.

Persatuan Islam Yang artifisial

Sedikit flashback ke belakang, Masyumi secara organisasi berdiri tahun November 1943 atas izin penjajah Jepang sebagai sebagai pengganti organisasi Muslim lainnya yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).

Baca juga:  Humor Gus Dur: Gigi Raja Saudi

Penjajah Jepang merasa lebih baik membuat organisasi baru daripada memberi restu MIAI yang dianggap punya sifat memberontak. Hal ini dikarenakan MIAI yang berdiri tahun 1937 muncul sebagai bentuk protes ormas Islam yang merasa didiskriminasi oleh pemerintah Belanda yang membuat Peraturan Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonantie) di tahun 1933 dan Peraturan Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonnantie op de Ingeschreven Huwelijken) di tahun 1937.

Ketika Masyumi resmi dibentuk, dipilihkan seorang ketua yang diambil dari ulama karismatik Rais Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU), KH. M. Hasyim Asy’ari.

Berdirinya Masyumi seakan menjadi angin segar bagi kelompok Islam yang secara politik selalu dikucilkan pada masa Hindia Belanda. Penjajah Belanda mempersilahkan umat Islam untuk menjalakan ibadah, tetapi jika berkaitan dengan politik, Belanda membatasi atau bahkan menekan setiap aspirasi politik yang memakai nama Islam. Hal ini berbeda dengan Jepang yang malah memberikan ruang politik yang besar kepada umat Islam dengan merestui berdirinya Masyumi.

Tak ayal, restu ini seakan menjadi mimpi yang menjadi kenyataan bagi umat Islam yaitu bersatunya seluruh ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain sebagainya dalam satu wadah. Setelah Indonesia merdeka, Masyumi mendeklarasikan diri menjadi partai pada tanggal 7 November 1945.

Akan tetapi dalam perjalanannya, yang dianggap sebagai persatuan Islam dalam bentuk Masyumi ini ternyata bersifat artifisial. Perdebatan soal ideologi keagamaan selalu mengemuka. Fakta yang telah terjadi jauh sebelum Masyumi dan MIAI berdiri. Perdebatan masalah keagamaan yang embrionya bahkan bisa ditarik jauh ke awal abad 20.

Saat itu kelompok tradisional dan modernis memperdebatkan masalah-masalah keagamaan mulai penggunaan ushalli ketika shalat, menggunakan qunut atau tidak, masalah ziarah kubur, hingga pada masalah jumlah rakaat shalat tarawih. Perdebatan masalah keagamaan ini, terus terjadi bahkan ketika seluruh ormas Islam bersatu dalam Masyumi, yang bahkan merembet pada urusan distribusi jabatan di tubuh Partai Masyumi dan bahkan pada jabatan Menteri Agama. Kenapa?

Baca juga:  Polemik Ulama dan Khalifah (4): Imam Malik bin Anas dan Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur

Jawabnya sederhana, karena bagi sebagian anggota, seperti NU, jabatan Menteri Agama sangatlah penting. Karena dalam praktiknya, posisi Menteri Agama menentukan “mazhab apa yang digunakan oleh pemerintah. Contoh saja pada penentuan hari raya, yang sampai saat ini, beberapa kelompok Islam masih berselisih paham. Ini tentu saja menjadi duri dalam daging bagi persatuan umat Islam di mana di antara mereka banyak perbedaan yang berakhir pada perpecahan.

Itulah mengapa NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 dan mendirikan partai sendiri. Pada tahun 1955, Masyumi dan Nahdlatul Ulama bersaing keras di Pemilu pertama di Indonesia yang pada hasil akhirnya menempatkan masing-masing di peringkat kedua dan ketiga.

Pada tahun 1960, Presiden Sukarno membubarkan Partai Masyumi dengan alasan beberapa anggotanya terlibat dalam pemberontakan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi. Sejak saat itu, eks politisi Masyumi tidak bisa mengulang kejayaan politik Masyumi seperti pada Pemilu 1955. Meskipun ketika rezim Orde Baru berkuasa, eks politisi Masyumi membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang berada di urutan 4 pemilu 1971.

Sayangnya, keadaan politik semakin tidak mendukung kelompok Islam terutama ketika pemerintah memutuskan menyatukan berbagai partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembanguna (PPP). Faktanya sejak saat itu, PPP selalu kalah dari Golkar karena dukungan kuat pemerintah.

Romantisme yang Gagal

Ketika reformasi digulirkan dan Presiden Suharto dilengserkan, anak cucu ideologis Masyumi membuat partai baru. Ada dua yang mengatasnamakan Masyumi. Yaitu Partai Masyumi Baru dan Partai Bulan Bintang (PBB). Diantara keduanya, hanya PBB yang bisa bertahan dan ikut serta hingga Pemilu 2019. Namun sejak 2009, PBB tidak pernah menyertakan wakilnya di parlemen karena perolehan suaranya tidak sampai melebihi parliamentary threshold.

Dari sekian faktor kegagalan PBB, salah satunya karena masing-masing kelompok Islam mendirikan partai sendiri, mulai dari NU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini membuat suara umat Islam terpecah dan tidak satu jika dibandingkan pada saat Masyumi berdiri pada tahun 1943 dan keikutsertannya di pemilu 1955. Disamping itu, kegagalan partai reinkarnasi Masyumi seperti PBB selalu dibayangi oleh persatuan Islam yang bersifat semu. Penyebabnya adalah perbedaan pemahaman agama diantara umat Islam yang membuat keinginan mempersatukan umat Islam selalu gagal. Maka pendirikan partai yang sesuai dengan asas keagamaan mereka seperti PKB dan PAN adalah jalan yang paling realistis.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (11): Djenné, Debu-Debu yang Disucikan

Melihat fakta di atas, menurut penulis, membuat Masyumi Reborn atau Partai Masyumi baru sebetulnya adalah pekerjaan yang sia-sia. Apalagi jika dilandaskan atas romantisme masa lalu untuk memperoleh kejayaan sebagaimana Partai Masyumi di Pemilu 1955. Sebagaimana usaha romantisme yang pernah ada, mulai dari Parmusi di Pemilu 1971, Partai Masyumi Baru dan PBB di pasca Reformasi, Masyumi Reborn pada akhirnya akan gagal. Hal ini dikarenakan Masyumi Reborn didirikan dari mimpi masa lalu yang sudah punah dan visi persatuan Islam yang semu. Boleh jadi para eksponen KAMI membuat Masyumi Reborn sebagai upaya mimpi politik di siang bolong. Yang membahagiakan mereka di tingkat angan-angan, tetapi tidak pernah terwujud di dunia nyata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top