Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, ajaran utama salafi puris adalah memurnikan ajaran Islam (puritan). Segaris dengan itu, mereka pun cenderung enggan berkompromi dengan tradisi dan budaya lokal. Mereka sering menunjukkan sikap opposisi terhadap budaya dan sangat kaku dalam memahami teks suci.
Maka, kala NU mulai mengampanyekan gagasan Islam Nusantara, kalangan salafi puris pun mengalami kebakaran jenggot. Gagasan Islam Nusantara yang mulai menasional pasca muktamar NU tahun 2015 ini secara nyata hendak menunjukkan bahwa Islam di Indonesia itu adalah Islam yang ramah pada budaya lokal. Gagasan ini tentu sangat berseberangan dengan semangat puritanisme yang salama ini digelorakan oleh salafi puris.
Seiring dengan kampanye Islam Nusantara yang dilakukan oleh NU, kalangan Salafi Puris pun turut menyuarakan tanggapan-tanggapan negatif. Beberapa tokoh Salafi Puris di Indonesia, secara massif menyuarakan bahwa gagasan Islam Nusantara itu sesat dan berbahaya bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Pertama Abu Nida’. Dalam sebuah acara yang dilaksanakan di Yogyakarta bulan Agustus 2016, tokoh senior salafi Indonesia ini secara lantang mempertanyakan keabsahan Islam Nusantara. Ia mengatakan, “Sekarang ini mulai muncul aliran baru, yaitu Islam Nusantara. Apa itu Islam Nusantara? Aqidahnya apa? Kitabnya apa? Nabinya siapa? Tuhannya siapa?” Ungkapan tersebut secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa gagasan Islam Nusantara itu bukan Islam, karena Aqidahnya, Kitabnya, Nabinya, dan tuhannya berbeda dengan Islam pada umumnya.
Kedua, Luqman bin Muhammad Ba’abduh. Tokoh salafi puris Indonesia ini pernah memberikan tanggapan yang cukup panjang tentang Islam Nusantara di situs resmi salafi Indonesia, yaitu salafy.org. Dalam sebuah rekaman pengajian yang berdurasi sekitar 100 menit itu ia mengatakan bahwa, Islam Nusantara itu adalah proyek liberal yang berkedok gagasan Islam Nusantara dan menghormati budaya.
Ketiga, Jel Fathullah. Dalam sebuah khutbah Jum’at yang disiarkan oleh Tazkiyah media, tokoh salafi ini mengatakan bahwa Islam Nusantara itu adalah kekafiran dan penyesatan yang luar biasa. Islam Nusantara itu bertentangan dengan Islam yang menyeluruh karena mereka masih terjebak dengan tradisi.
Selain itu, gagasan Islam Nusantara itu, menurut Jel Fetullah, terjebak pada paham kesukuan. Yang seharusnya dilakukan itu adalah mengislamkan Nusantara bukan menusantarakan Islam. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Barangsiapa yang memanggil pada kesukuan maka ia tidak termasuk golonganku”. Islam Nusantara itu membeci Arab, padahal kata Nabi, “Siapa yang membenci orang Arab, maka dia juga membenci aku.” Demikianlah beberapa tanggapan tokoh salafi puris atas gagasan Islam Nusantara.
Berikutnya, karena ramainya penolakan kalangan Salafi Puris terhadap gagasan Islam Nusantara, maka NU pada gilirannya juga turut memberikan tanggapan. Tokoh-tokoh NU secara massif berupaya melakukan klarifikasi atas maraknya penolakan terhadap Islam Nusantara. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, KH. Said Aqil Syiraj, ketua umum PBNU. Ia menegaskan bahwa Islam Nusantara itu bukanlah madzhab baru atau aliran baru, ia ciri khas atau tipologi Islamnya orang-orang Indonesia. Ciri khas Islamnya orang Nusantara itu adalah Islam yang ramah terhadap budaya dan tradisi lokal, selama budaya dan tradisi lokal itu tidak bertentangan dengan syariat. Kalau budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan syariat, seperti LGBT atau minum minuman keras maka, NU secara tegas akan menolaknya.
Lebih jauh, KH. Said mengatakan, “Kalau ada orang yang mengatakan bahwa Islam Nusantara itu anti-Arab dan liberal, itu salah besar. Saya sebagai penggagas Islam Nusantara sendiri sangat suka Arab. Saya suka bahasa Arab dan suka lagu-lagu Arab, bahkan lagu-lagu Barat saya tidak suka, maka na’udzubillah kalau saya dikatakan anti-Arab. Selain itu, Islam Nusantara itu juga tidak liberal. Liberal itu tidak mau sama al-Quran dan Hadis, sementara saya itu ke mana-mana selalu menggunakan al-Quran dan Hadis ketika ceramah. Kalau saya liberal, mestinya saya tidak menggunakan al-Quran dan Hadis. Jadi Islam Nusantara itu tidak liberal.”
Kedua, Habib Lutfi bin Yahya. Salah satu tokoh senior NU ini, juga menegaskan bahwa Islam Nusantara itu sebenarnya tidak berbeda dengan Islam pada umumnya. Menurut beliau Islam itu di mana saja tetap satu, tapi wilayah dan adatnya berbeda beda. Islam Nusantara itu adalah idlafah yang menyimpan kata di, Islam di Nusantara.
Islam di Nusantara itu syariatnya sama, tapi model dakwahnya beda. Contohnya, dakwah Sunan Kudus. Saat Sunan Kudus berdakwah, orang hindu masih dominan di Kudus. Dalam padangan Islam qurban itu biasanya menggunakan sapi, tapi karena bagi masyarakat hindu sapi itu harus dihormati, maka Sunan Kudus melarang murid-muridnya untuk berkurban sapi. Sebagai gantinya Sunan Kudus menyuruh untuk berkurban kerbau. Menurut Habib Lutfi hal seperti ini tidaklah melanggar syari’at karena Sunan Kudus melakukan itu li Islahil Ummah.
Ketiga, KH. Marzuki Mustamar. Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim ini menegaskan bahwa, Islam Nusantara itu bukanlah Islam yang berpaham Nusantara, tetapi Islam yang ada di Nusantara. Islam Nusantara itu rukun Islamnya sama, rukun Imannya sama, tatacara solatnya sama, kalaupun ada yang berbeda itu bukan karena nusantaranya tetapi karena beda madzhabnya.
Islam Nusantara itu ajarannya sama dengan Islam pada umumnya, hanya ekspresi keagamaannya yang berbeda. Misalnya, perintah untuk makan makanan halal. Di Arab atau di Nusantara ayam itu tetap halal, tapi cara menyajikan ayamnya berbeda. Orang Arab cukup dibakar, sementara orang Indonesia dijadikan soto atau opor.
Lebih jauh, menurut KH. Marzuki Mustamar, Nabi Muhammad itu tidak pernah melarang orang yang masuk Islam tetap menyebut kebangsaannya. Orang masuk Islam tidak harus menanggalkan kebangsaannya. Contohnya, Salman al-Farisi, Suheb al-Rumi, Bilal al-Habsi, dll. Jadi, Islam dan kebangsaan itu tidak harus dipertentangkan.
Realitas ketaksepahaman pendapat antara salafi puris dan NU tentang Islam Nusantara ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Mungkinkan perdebatan ini akan melahirkan sebuah konsensus/mufakat? Bagaimana pertentangan antara keduanya itu membentuk diskursus keislaman di Indonesia? Simak jawabannya dalam tulisan penulis yang berikutnya.
Kok tulisan yang ke 4 dan 5 sama yaaa min
sudah kami perbaiki kak.