Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan yang sebelumnya, ada hal yang menarik untuk dibahas berkaitan dengan pertentangan salafi puris dan NU tentang Islam Nusantara. Mungkinkan perdebatan ini akan melahirkan sebuah konsensus/mufakat? Bagaimana pertentangan antara keduanya membentuk diskursus keislaman di Indonesia?
Untuk menjawab persoalan yang pertama penulis akan memanfaatkan teori diskursusnya Jurgen Habermas. Menurut Habermas, sebagaimana dijelaskan oleh F. Budi Hardiman, diskursus itu terjadi ketika para peserta komunikasi tidak lagi dapat menerima begitu saja sebuah pernyataan. Diskursus itu menuntut alasan-alasan yang bersifat rasional. Rasional yang dimaksud di sini adalah sebuah pernyataan yang alasanya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif. Argumen yang rasional itu tidak semata-mata menjatuhkan lawan, melainkan ingin menemukan kebenaran.
Bagi Habermas, sebuah diskursus itu bisa mencapai konsensus tergantung pada si penerima argumen. Sebuah konsensus itu akan lebih mudah diterima ketika masing-masing peserta diskursus mau berpijak pada basis yang lebih luas daripada tradisi aliran masing-masing. Secara lebih rinci, diskursus itu dapat mencapai konsensus ketika diskursus itu berjalan secara terbuka, egaliter dan bebas dominasi.
Berpijak pada teori diskursus Habermas tersebut, mungkinkah diskursus antara salafi puris dan NU tentang Islam Nusantara akan mencapai konsensus? Agaknya cukup berat untuk mengatakan bahwa konsensus antara keduanya dapat tercapai. Ada beberapa alasan untuk menjelaskan hal ini.
Pertama, pertarungan ideologi antara salafi puris dan NU itu berlangsung dengan model defense (bertahan) dan attack (menyerang) serta logical demonstration of belived truth. Jika diamati, pernyataan-pernyataan kelompok salafi puris atas gagasan Islam Nusantara adalah pernyataan-pernyataan yang menyerang. Mereka kerap mengatakan bahwa Islam Nusantara itu paham sesat, kafir, liberal, Syi’ah, bid’ah, dst. Sementara tanggapan-tanggapan kalangan NU, cenderung berbentuk pernyataan bertahan, seperti ungkapan Islam Nusantara itu tidak sesat, tidak liberal, dan bukan bid’ah.
Konsekuensi logis dari model dialektika yang demikian, tentu masing-masing pada akhirnya melakukan kritik, tetapi tidak bersifat konstruktif. Bahkan lebih buruk lagi, merujuk pada suatu definisi tua yang mula-mula diperoleh dari kritik Plato menyangkut kelompok Sophist, baik salafi puris maupun NU, itu seperti—maaf—master of dialectics, yaitu seseorang yang memahami bagaimana cara membuat benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.
Dalam nalar demikian, sebagus apapun argumen kalangan NU tentang Islam Nusantara, pasti akan mendapatkan tanggapan negatif dari kalangan salafi puris. Demikian juga sebaliknya. Alhasil, yang lebih sering muncul dalam perjumpaan antara salafi puris dan NU adalah perselisihan (disensus) daripada konsensus.
Kedua, baik salafi puris maupun NU, sama-sama tidak mau beranjak dari nalar partikular masing-masing dan enggan berpijak pada nalar yang lebih luas, seperti asas musyawarah dalam Islam. Dalam hal integrasi Islam dan budaya (Islam Nusantara), baik salafi puris maupun NU memiliki pandangan masing-masing yang bertentangan.
Kalangan salafi puris menganggap bahwa budaya dan tradisi lokal itu haram (bid’ah) hukumnya untuk diintegrasikan dengan ajaran Islam. Bahkan, dalam beberapa ceramah tokoh salafi puris di youtube, ada yang secara tegas mengatakan, “Jangan membaca buku-buku atau melihat video penjelasan tentang Islam Nusantara, nanti rusak aqidah kalian!” (lihat video Jel Fethullah).
Sementara bagi kalangan NU, integrasi antara budaya dan ajaran Islam, selama budaya itu tidak bertentangan dengan syariat, maka itu suatu hal yang boleh atau bid’ah hasanah. Karena keduanya sama-sama enggan keluar dari perspektif partikular ini dan keduanya sama-sama enggan menerima pendapat yang lain, maka jelas konsensus antara keduanya akan sulit tercapai.
Berhubung pertarungan ideologi antara salafi puris dan NU ini sulit mencapai konsensus, maka keduanya pada akhirnya sama-sama memberikan warna tersendiri dalam diskursus keislaman di Indonesia. Penolakan salafi puris terhadap gagasan Islam Nusantara pada gilirannya membuat wacana pemurnian Islam semakin menguat. Gagasan mereka ini cukup banyak menarik perhatian orang-orang Indonesia kalangan menengah perkotaan.
Selain menguatkan wacana pemurnian Islam, kampanye penolakan Islam Nusantara kalangan salafi puris juga cukup efektif memperkuat wacana anti-liberalisme dan anti-Syiah di Indonesia. Kampanye-kampanye kalangan salafi puris yang menyamakan Islam Nusantara dengan liberalisme dan Syi’ah, cukup efektif membuat banyak orang Indonesia menaruh simpati pada salafi puris dan anti terhadap NU.
Bahkan, di kalangan NU sendiri muncul perpecahan akibat kampanye anti-liberalisme dan anti-syiah tersebut. Seiring dengan menguatkanya wacana anti-liberalisme dan anti-Syiah, di kalangan NU kemudian muncul NU Garis Lurus, sebagai pecahan dari NU. NU Garis Lurus ini, meskipun tidak setuju terhadap wacanan pemurnian Islam dan wacana pemisahan budaya dan agama kalangan salafi puris, tetapi mereka setuju pada wacana Salafi Puris tentang anti-liberalisme dan anti-syi’ah. Alhasil, seperti salafi puris mereka pun mengatakan bahwa gagasan Islam Nusantara itu liberal dan Syi’ah.
Berbeda dengan salafi puris, NU dengan wacana Islam Nusantaranya membuat semangat integrasi Islam dan budaya lokal semakin kuat mengakar di masyarakat Indonesia. Kalangan Islam abangan yang sering menjadi target pengkafiran Salafi Puris, juga semakin kokoh merapatkan barisan dengan NU. Kampanye Islam Nusantara semakin menyolidkan masyarakat Indonesia untuk menerima gagasan Islam Nusantara dan menolak pemurnian Islam salafi puris.
Wacana bahwa ideologi salafi puris adalah ideologi asing yang membahayakan bagi Islam di Indonesia, menjadi semakin kuat mengakar di masyarakat. Bahkan, di beberapa tempat sering dijumpai adanya penolakan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan pengajian salafi puris.
Selain itu, kampanye Islam Nusantara NU juga cukup mempengaruhi wacana Islam dan kebangsaan di Indonesia. Gagasan Islam Nusantara yang dikampanyekan NU itu pada gilirannya membuat semangat kecintaan masyarakat Islam Indonesa terhadap negara menjadi semakin kuat. Dengan adanya wacana Islam Nusantara ini, semangat Islamisme atau Islam politik yang menghendaki berdirinya negara Islam atau khilafah yang sejak tumbangnya Soeharto semakin menguat, kini mendapatkan tantangan serius dari wacana integrasi Islam dan kebangsaan yang menjadi bagian inhern dari gagasan Islam Nusantara.