Sedang Membaca
Santri, Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Santri, Pesantren dan Kemandirian Ekonomi

E5bcbdf7 4b5b 4003 Ac09 Dba19fe622e3

Pesantren di Indonesia mencatatkan diri sebagai salah satu lembaga pendidikan yang terus mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Menurut catatan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, bahwa pada tahun 2016 tercatat terdapat 28.194 pesantren dengan jumlah santri  4.290.626, yang sebelumnya di tahun 2005 tercatat 14.798 dengan jumlah santri 3.464.334.

Jika, jumlah santri ini dikumpulkan dalam 1 wilayah, maka akan mengalahkan jumlah penduduk warga Malang raya, yang sekarang mencapai 3,5 juta lebih penduduk. Artinya, akan bisa mendirikan wilayah kota dan kabupaten sendiri. Ini kalau dilihat dari populasinya saja. Jikalau kita berandai-andai lagi atas populasi santri yang sudah dikumpulkan menjadi satu, lantas secara bersama sama berdaya secara ekonominya, niscaya wilayah buatan tersebut akan menjadi wilayah pemerintahan kota/kabupaten tersendiri. Lantas siapa yang akan menjadi Bupati/Walikota, sedangkan ada 28 ribu lebih pimpinan pondok/Kiai yang disatukan?

Tapi, tunggu dulu. Andaian di atas tidak sepenuhnya disangkal untuk terjadi. Ada hal yang sangat mungkin terjadi, apa itu? Santri dan pesantrennya akan diberdayakan secara ekonominya. Jika bicara mengenai hal ini, maka bukan hanya kita berhenti berandai-andai saja, tetapi kita akan bisa wujudkan dan memang seharusnya kita wujudkan bersama sama akan kontribusi pesantren baik sebagai lembaga maupun santri sebagai subjek pemberdayaan ekonomi tersebut. Artinya, dengan penulis memberikan gambaran penyatuan santri dan pesantrennya dalam satu wilayah yang memiliki kekuatan ekonomi, maka akan menciptakan kekuatan wilayah mandiri. Yang disatukan itu bukan populasinya, tetapi komitmen untuk bersama sama menjadikan pesantren dan santrinya berdaya secara ekonomi.

Mari kita fokuskan bagaimana memberdayakan ekonomi pesantren menjadi salah satu pilar ekonomi negara. Pesantren adalah lembaga yang sudah dikenal memiliki kekuatan kemandirian yang tinggi, dimana dalam berjalan kegiatan kepesantrenan lebih banyak mengandalkan sumber  dana yang dihimpun dari santri dan masyarakat, sekaligus juga sebagian dari beberapa pengasuh pondok juga memiliki usaha yang sifatnya kadang tidak pasti. Penulis pernah punya pengalaman ketika nyantri di sebuah pondok kecil di Desa Bungah Kabupaten Gresik, dimana Kiai juga memiliki usaha pembuatan kopyah dan juga berdagang sarung. Bahkan penulis pun pada waktu itu juga ikut membantu memasarkan hingga sampai ke area Malang. Hitung hitung selain membantu kelangsungan pondok juga merupakan ajang berlatih wirausaha.

Baca juga:  Kaji, Aji-Aji, Kajen

Pola pengelolaan sumber dana ini menjadikan pengelola pondok memiliki kemampuan managerial yang sangat luar biasa dalam mengelola rangkaian kegiatan bisnis di pesantrennya. Disamping managerial untuk dapat memastikan keberlangsungan kegiatan ekonomi pesantren, tentunya adalah sumber daya yang dimiliki. Kebanyakan sumber daya yang dimiliki ini masih terbatas berupa santri dan jaringan masyarakat yang terlibat aktif maupun pasif dalam kegiatan pesantren. Intinya, sudah terdapat 3 pilar penting dalam keberlangsungan kegiatan ekonomi pondok pesantren (managerial, sumber daya santri, dan jaringan) yang sudah dipastikan menjadikan pondok pesantren ini bisa bertahan.

Pertanyaan selanjutnya, apakah cukup hanya dengan tiga pilar itu saja, untuk membuat pesantren itu berkembang? Jika hanya bertahan pada 3 pilar ini saja, besar kemungkinan susah akan berkembang, paling paling hanya akan bertahan. Dari data tahun 20015 ke 2016 di atas, pertumbuhan jumlah pesantren meningkat siginifikan, akan tetapi jika dilihat dari pertumbuhan jumlah santrinya kenaikannya malah tidak sebanding dengan jumlah pesantrennya, artinya ada penurunan siginifikan jumlah santri per pesantrennya. Hal ini menandakan penetrasi jumlah pesantren ini memiliki kapasitas jumlah santri yang semakin mengecil. Hipotesis penulis, jumlah pesantren besar tahun 2005 jauh menurun drastis dan digantikan dengan jumlah pesantren yang memiliki santri yang relatif lebih kecil.

Baca juga:  Makrifat Organisasi NU dalam Pemikiran Gus Yahya

Penurunan ini memang bisa saja disebabkan oleh faktor konten isi kurikulum yang semakin tidak menarik bagi calon santri dalam aspek kesiapan pasca kelulusan, karena sudah bukan menjadi hal lumrah, bahwa permintaan pasar pendidikan ini mengharuskan lulusannya siap mandiri secara ekonomi. Artinya, sudah harus ada bekal bagi santri sebelum mereka meninggalkan pesantrennya. Untuk menjawab ini pesantren harus bertransformasi menjadi lembaga pendidikan yang lebih berdaya secara ekonomi, baik secara lembaga maupun sebagai workshop santrinya dalam mengembangkan diri dalam berlatih di bidang ekonomi bisnis.

Transformasi ini harus dimulai dengan cara mengitensifikasi 3 pilar sumber daya yang dimiliki (manajerial, sumber daya santri, dan jaringan), atau pun mengekstentisifikasi sumber daya lain. Dalam tinjauan ekonomi bisnis, sumber daya yang dimiliki harus di upgrade memiliki added value (nilai tambah) dan multiplier effect (efek berlipat) terhadap keberlangsungan pesantren yang berdaya secara ekonomi. Artinya, potensi dan pola yang sudah dimiliki oleh pesantren harus dirubah menjadi pengelolaan manajemen yang lebih baik.

Intensifikasi atas 3 pilar sumber daya yang dimiliki bisa dilakukan dengan cara meningkatkan kompetensi managerial pengelola pesantren, peningkatan kapasitas dan kemauan besar dalam berwirausaha para santri, dan dengan memperluas jaringan dan memberdayakannya sebagai agen pengembangan ekonomi pesantren.

Ekstensifikasi sumber daya yang dimaksud adalah perlu dicari source of production (sumber daya produksi)  yang tepat untuk dipilih menjadi core business bagi pesantren. Seperti pemilihan produk atau jasa apa yang dipilih. Setelah pemilihan ini langkah selanjutnya adalah melakukan pelembagaan dalam mengelolanya. Tanpa ada pelembagaan, maka kegiatan ekonomi apapun dengan sumber daya yang kuat sekalipun tidak akan pernah berkelanjutan. Pelembagaan yang cocok dipilih dan banyak sudah dipraktrikkan oleh pesantren besar adalah berupa koperasi. Dengan lembaga koperasi, santri memiliki peluang yang besar untuk terlibat langsung baik sebagai anggota atau pun sebagai pengelola.

Baca juga:  Salam Tempel Kiai Abdul Hamid, Waliyullah dari Pasuruan

Sudah banyak contoh beberapa pesantren di  Jawa Timur yang menjadi semakin besar karena mampu mengelola kegiatan ekonomi pesantrennya, sehingga menjadikan pesantren pesantren ini bisa bertahan bahkan semakin berkembang. Penulis pernah bersinggungan sebagai pelaku bisnis dengan beberapa pesantren tersebut. Yang kebetulan memilih model bisnis dengan lembaga koperasi yang mengembangkan bisnis retail. Seperti pesantren Sidogiri di Pasuruan yang memiliki puluhan jaringan bisnis mini market. Pesantren An-Nur di Bululawang yang selain memiliki jaringan Mini market juga memiliki bisnis pom bensin dan juga bengkel. Ada juga pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Malang juga memiliki usaha Mini Market yang dikelola secara profesional. Masih ada banyak contoh pesantren pesantren lain.

Untuk mewujudkan ini semua, tentu diperlukan keinginan kuat dari pengelola pesantren dan kepedulian semua stakeholder,  baik itu pemerintah, masyarakat, dan pelaku dunia usaha lainnya untuk bisa bersama menyokong kegiatan ekonomi pesantren, sehingga menjadikan pesantren semakin kokoh dan mandiri secara finansial dan menjadikan para santrinya memiliki bekal cukup untuk mandiri pasca kelulusannya. Semoga. (RM)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top