Bulan suci Ramadan sebentar lagi akan lewat berganti dengan bulan syawal. Setiap tahunnya, bulan suci ini sangat dinantikan oleh utamanya masyarakat muslim, karena di sepanjang bulan ini syarat dengan banyaknya amalan ibadah yang memiliki keutamaan.
Amalan ibadah mulai dari ibadah wajib maupun sunnah banyak diburu untuk dikerjakan. Ibadah yang berimplikasi vertikal dan atau horisontal dengan semangatnya juga dikerjakan. Karena keutamaan yang diberikan sepanjang bulan suci ini hadir.
Dalam pelaksanaan ibadah yang juga beimplikasi horisontal atau memberikan efek manfaat bagi kehidupan sosial, menjadi bagian tak lepas dari penanda kelebihan bulan ini, sehingga nampak sangat semarak kehadirannya. Apalagi dalam praktiknya diperkaya dengan balutan tradisi lokal yang semakin menciptakan nilai lebih bagi hasanah keberagamaan muslim nusantara.
Ibadah yang dibalut tradisi tersebut sebanarnya bertumpu utama pada pelaksanaan perintah sedekah dan silaturahim. Dari perintah sedekah yang utamanya jika dilaksanakan pada bulan puasa ini akan menjadikan sebaik baiknya sedekah (HR. At-Turmudzi dan diriwayatkan oleh Anas). Serta hikmah silaturahim yang bisa melapangkan rizki dan umur panjang, sehingga menjadikan pendorong untuk merawat dan memperbanyak amalan ini.
Sepanjang bulan Ramadan hadir, ada banyak tradisi yang tidak pernah terlewatkan. Bahkan tradisi tersebut sudah dimulai beberapa hari sebelum Ramadan hadir. Sebelum Ramadan hadir, ada tradisi megengan dan pada saat 10 hari terakhir Ramadhan ada tradisi maleman.
Tradisi megengan merupakan tradisi yang sangat lazim berjalan secara turun temurun tertama di pulau jawa. Tradisi ini mengambil makna dari kata jawa megengan yang berarti menahan diri. Arti menahan diri ini merujuk pada dasar sepanjang puasa nanti, maka menahan diri dari segala sesuatu yang sebelumnya diperbolehkan di bulan di luar puasa lantas tidak diperbolehkan, seperti halnya makan dan minum setelah sahur hingga tiba waktu
Megengan ditandai dengan beberapa aktivitas diantaranya bersih bersih Masjid, Mushalla, hingga lokasi makam dengan kerjabakti, lantas nyekar ke makam leluhur, dan saling mengirim berkat yang di dalamnya “wajib” ada kue bernama apem. Kue apem ini diambil dari akar kata Bahasa Arab afwun, yang artinya mohon ampunan.
Saling berikirim berkat ini memberikan tanda kuat untuk saling mendoakan agar segala kesalahan bisa diampuni. Doa yang dimaksudkan bukan hanya pada manusia yang hidup saja, tetapi juga diperuntukkan bagi para leluhur yang sudah meninggal, sehingga dalam tradisi megengan ini nampak area makam akan menjadi penuh oleh para peziarah.
Pada waktu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, terdapat pula tradisi maleman. Dimana pada setiap malam ganjil, masyarakat muslim berburu melakukan ritual sholat dan ddzikir malam. Karena pada setiap malam ganjil dimungkinkan bertemu satu malam yang memiliki keutamaan beribadah di 1000 malam. Malam tersebut adalah Lailatul Qadar.
Tidak hanya berhenti dalam ritual mengejar malam Lailatul Qadar dengan melakukan salat Sunnah dan berdizikir, tetapi di setiap malam ganjil ini, ada tradisi selametan dengan membagi bagikan “berkat” yang serupa pada saat tradisi megengan, tetapi tidak spesifik harus ada kue apemnya. Berkat tersebut biasanya akan dibagikan kepada para tetangga dan juga kepada saudara saudara yang masih berada pada lingkup kampung dekat, sehingga berkat tersebut memungkinkan untuk dihantar.
Berkat yang secara umum berisikan lauk pauk beserta dengan renak renik jajanan dibagikan dengan niat utama bersedekah dan sambung silaturahim. Tidak secara spesifik diberikan kepada orang yang membutuhkan makan saja, karena dua niat utama tersebut di atas.
Dua tradisi yang diulas di atas, dengan bahan utama yang bernama berkat melalui praktik tradisi yang bernama megengan dan selametan, mampu merawat hubungan masyarakat dari ancaman segregasi sosial. Tradisi yang berimplikasi sosial oleh karena berangkat dari niat sedekah dan siaturahim dalam konteks amaliah di sepanjang bulan suci Ramadan.
Ngalap berkah melalui tradisi bagi bagi berkat yang mampu merawat keharmonisan masyarakat sebagai makhluk sosial. Meskipun dalam dua tahun terakhir, semaraknya menjadi sedikit berkurang oleh karena terpaan pandemi, namun tidak sedikit tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat. Dan semoga begitu pandemi ini berakhir, tradisi yang sudah mengakar positif di masayarakat ini akan kembali semarak.