Imlek adalah ritual budaya untuk memperingati tahun baru yang merupakan kalender tahunan bagi masyarakat Tionghoa, dimana kalender ini dihitung berdasarkan siklus lunar yang kira kira satu tahunnya berjumlah 354 hari.
Kalender lunar ini berbeda dengan kalender tahun masehi yang berjumlah 365 hari. Sehingga perayaan imlek akan jatuh selalu tidak sama tiap bulannya jika dihitung berdasarkan kalender masehi.
Dalam perayaan imlek tersebut selalu semarak dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia. Ritual yang umum diketahui oleh masyarakat banyak dalam setiap perayaan Imlek ini adalah bagi bagi angpao.
Angpao ini biasanya berupa uang kertas yang dimasukkan ke dalam amplop yang dominan berwarna merah untuk diberikan oleh orang dewasa yang sudah menikah kepada anak anak atau orang yang dituakan. Angpao dalam setiap perayaan Imlek ini memiliki makna khusus sebagai “Ya Sui”, yang berarti hadiah yang diberikan atas pertambahan umur yang ditandai dengan pergantian tahun atau baru, lantas dibersitkan doa agar yang menerima selalu dalam kegembiraan, semangat, dan nasib baik. Harapan ini disimbolkan oleh warna merah dalam amplop.
Masyarakat Tionghoa memiliki tradisi yang dilambangkan dengan hadirnya simbol atau disebut sebagai shio. Setiap shio akan melambangkan makna yang turut dihadirkan dalam setiap perayaan yang disemarakkan. Dalam perayaan imlek tahun ini, simbol yang dihadirkan adalah seekor kerbau emas.
Seekor kerbau emas dilambangkan sebagai kepribadian yang memiliki kejujuran, orang yang lahir di tahun kerbau diyakini akan menjadi rajin, ulet, dapat diandalkan, dan memiliki tekat yang kuat.
Lambang yang dihadirkan ini menjadi menarik, ketika bukan hanya berhenti pada kehadiran simbol itu sendiri, namun terdapatnya makna yang disiratkan menjadi harapan dan hadirnya kenyataan yang dilambangkan tersebut.
Angpao dan tahun kerbau emas adalah dua lambang yang dihadirkan oleh masyaraat Tionghoa dalam membentuk suksesnya setiap pilar tata kehidupan bermasyarakat mereka. Salah satu pilar tersebut adalah dalam hal bisnis.
Kesuksesan masyarakat Tionghoa dalam hal bisnis sudah tak bisa terbantahkan. Baik masyarakat Tionghoa yang hadir sebagai entitas negara maupun entitas etnis yang tersebar ke seluruh negara dunia. Keberhasilan mereka turut serta mewarnai tumbuh kembangnya peradaban dunia.
Pada abad ke 7, Cina sebagai negara telah mencapai titik tinggi dalam peradaban dunia, dimana waktu itu telah berhasil menjadi negara cosmopolitan yang dikomandoi oleh dinasti Tang. Pada abad ke 15, bangsa Indonesia sudah mengenal seorang panglima perang yang sekaligus pemimpin bisnis besar yang bernama Panglima Cheng Ho yang memimpin ekspedisi dagangnya ke Indonesia, dan meninggalkan banyak peninggalan budaya yang ikut membentuk peradaban bangsa Indonesia.
Keberhasilan bisnis masyarakat Tionghoa itu tentu tak terlepas dari konsep dasar berjalannya satu kegiatan bisnis, yakni bisnis leadership atau kepemimpinan bisnis. Kepemimpinan bisnis adalah kompetensi dasar, utama, dan sangat penting dalam menjalankan proses bisnis hingga bisa mencapai target yang menyokong kehadiran tujuan dari suatu perusahaan.
Bisnis leadership dalam beberapa kajian dan praktiknya itu menghadirkan beberapa poin penting diantaranya, sangat adaptif, ditopang oleh keahlian, memiliki visi yang kuat, memiliki ketegasan dan tekad kuat. Beberapa ciri tersebut di atas dimiliki dan banyak dipraktikkan oleh masyarakat Tionghoa dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
Saya, sebagai praktisi bisnis yang hampir dua dekade yang bersinggungan secara langsung maupun tidak langsung dengan bisnis owner dan bisnis partner yang sebagian di dalamnya adalah etnis Tionghoa, merasakan benar bagaimana kepemimpinan bisnis dalam diri mereka bekerja cukup kuat dan efektif.
Secara personal mereka memiliki kompetensi dasar atau skill yang pas dalam bidang bisnis yang dijalankan. Secara visi, mereka berpegang pada konsistensi tindakan dan inisiatif untuk mencapai sasaran besar yang mau dicapai. Dan yang tak kalah pentingnya adalah ketegasan yang dimiliki yang di dalamnya terdapat kekuatan, keuletan, dan pantang menyerah.
Dengan kekuatan kepemimpinan bisnis yang demikian, maka tak perlu heran kalau Sebagian masyarakat Tionghoa banyak yang berhasil dalam kegiatan bisnis mereka. Keheranan tersebut bisa jadi akan menjadi sentimen yang bersifat negatif, jika kita melihat kehadiran mereka sekedar sebagai etnis, namun kita tidak membuka diri dan kedua telapak tangan kita untuk secara ihlas menerima pemberian angpao dari mereka yang berupa keteladanan bisnis leadership ini.
Maka tak salah, jika ada ungkapan “belajarlah hingga ke Negeri Cina”.