Dalam novelnya “Kesengsaraan di Petersburg”, sastrawan Rusia, Dostoyevsky menyingkap habis-habisan karakteristik manusia hedonis yang merambah dari tingkat desa, perkotaan hingga metropolitan. Masyarakat dengan jenis kebudayaan yang belum siap menghadapi perubahan namun dipaksa menerima kodrat eksplorasi alam sebagai keniscayaan sejarah. Maka, muncullah politisi-politisi yang mengalami delusi kejiwaan, hingga menjelma sebagai pribadi-pribadi yang terbelah, menderita kehausan penyakit yang patologis.
Tak beda jauh dengan karya-karya Orhan Pamuk maupun Gabriel Garcia Marquez, Dostoyevsky meneropong dengan caranya sendiri ulah dan kelakuan kaum politisi yang gila akan syahwat kekuasaan. Suatu pelukisan deformasi jiwa yang berhasil merekam manusia-manusia rakus dan serakah, menimbulkan psike-individual hingga terbelahnya jurang pemisah antara ideologi kaum muda dan para orang tua. Retaknya lembaga keluarga, masyarakat dan negara, hingga melahirkan suatu generasi baru yang mengidap paranoid hingga skizofrenia.
Hal itu pun dialami pula oleh sebagian masyarakat kita – terlebih pasca pemilu 2019 ini – suatu perasaan frustasi dan keputusasaan dalam pengertiannya yang realistis, otentik, bukan semata-mata melodrama teatrikal semata. Di pertengahan abad ke-19, ketika kalangan intelektual dan ilmuan membahas penemuan Karl Marx dalam tataran akademisi, justru Dostoyevsky sudah fasih mengungkapnya dalam bentuk sastra, suatu kreasi imajiner yang melampaui zamannya, memberikan nilai-nilai dakwah yang elegan. Lalu, tak segan-segan menggugat dan menyoal para penguasa modern: mengapa sejarah umat manusia selalu saja tergenangi oleh permasalahan para tuan dan budak, eksploitasi manusia-manusia lapisan bawah, oleh manusia lapisan atas?
Gugatan paling mendasar pada karya Dostoyevsky, nyaris sehaluan dengan esai-esai Alexievich (Belarusia), mengajak masyarakat dan kalangan penguasa agar menggunakan nalar dan hati nuraninya. Jangan hanya sibuk memproyeksikan fungsi Tuhan untuk kepentingan politis belaka. Seolah-olah hanya melakukan “tambal sulam” dari lubang kesulitan yang tak pernah dibereskan oleh para penganut agama (homo religious) yang ortodoks dan radikal. Kerjaan mereka seakan mengharap-harap mukjizat datang agar Tuhan menyelesaikan kekalutan dan kerepotan yang sebenarnya diperbuat oleh ulah tangan-tangan manusia sendiri.
Citra Tuhan yang ditafsirkan, dan disusupkan ke dalam benak masyarakat harus dibersihkan dari proyeksi dan politisasi kaum elit borjuasi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, ketimbang berkarya membuktikan kemaslahatan dirinya di tengah peradaban umat. Citra Tuhan yang masih diselimuti unsur-unsur politik kotor, ideologi dan kritik-kritik palsu, propaganda kepahlawanan kosong, dicampuri urusan duit dan vested interest yang sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang sejati.
Sastra dan Wahana Dakwah
Kualitas sastra seperti itu jelas-jelas membawa misi “dakwah”, dengan penuh kesadaran menghendaki adanya sasaran yang ingin dicapai. Meskipun hasil ciptaan dan rekaan, totalitas karya sastra mampu bekerja dengan kekayaan linguistik yang dimiliki para pujangga dan sastrawan, seakan-akan Tuhan masih terus berfirman melalui kepekaan dan kepedulian mereka. Ibarat para wali dan pendeta yang merupakan pembawa risalah para Nabi (waratsatul anbiya). Setiap karya sastra yang bertanggungjawab terhadap pembangunan peradaban bangsa, tak lepas dari kecenderungan dakwah yang terus berikhtiar untuk mencerdaskan dan mendewasakan umat (lihat: Sebaiknya Menanggapi Kritik Sastra, www.kawaca.com).
Di samping menangkal hoaks dan ujaran kebencian, kualitas sastra seperti itu justru menyadarkan dan memperkuat keimanan kita, dari gempuran badai-badai modernitas yang mengepung keseharian, dari ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu. Bahwa kita harus selalu percaya dan optimis, karena setiap problem yang dialami dalam kehidupan manusia, di belahan bumi manapun, ternyata mengandung pertalian, hubungan kausalitas yang sehaluan dialami oleh bangsa-bangsa manapun di dunia ini.
“Kualitas keimanan yang baik bukan semata-mata memercayai apa yang terang, tetapi juga memercayai adanya kegelapan sekaligus berupaya menerangkannya.” Demikian tutur sastrawan Y.B. Mangunwijaya. Dari perspektif lain, perlu diakui secara jujur aspek psikologis pada watak dan karakteristik manusia modern semisal Faust (Goethe) yang kesepian, sunyi dan hampa, karena ulah dirinya dalam meniadakan Tuhan. Dalam obsesi dan ambisi Doktor Faust yang tak mengenal batas bagi nafsu eksplorasinya, tak ubahnya dengan karya-karya dari negeri Prancis seperti Camus dan Sartre sebagai sastrawan pionir penggugah jiwa, bergelora mencipta hari depan seakan-akan tanpa rasa takut dan gentar.
Maka, berfatwalah ilmuan dan pakar biologi modern, Jacques Monod, yang membikin gempar para filosof dan sastrawan Barat: “Bumi dan seluruh isi semesta ini, flora dan fauna, terlebih lagi manusia, hanyalah salah satu hasil kebetulan saja dari suatu proses kebetulan dan perbenturan serba kebetulan menuju kepada sesuatu yang serba kebetulan. Evolusi setiap jenis makhluk tidak terencana sebelumnya sampai kepada titik akhir sang makhluk muncul di permukaan bumi. Setiap perkembangan dalam biosfer terjadi karena penghantaran genetis yang salah sentuh, serba kebetulan belaka, dalam penanganan yang keliru bahkan peniruan yang selalu salah.”
Dalil-dalil yang dikemukakan itu sungguh mengancam filsafat idealisme yang menempatkan sosok manusia sebagai sentrum dan titik pusat di jagat raya ini. Sehaluan dengan gaya pewartaan yang tergenangi oleh nafas para pemikir dan filosof Eropa hingga Amerika Latin. Jika kita menyebut salah satu nama yang paling dominan, yakni Nietzsche yang mengajarkan konsep atheisme ekstrim. Dapat pula dibedah mengenai jenis yang pertama, atheisme Nietzsche, khususnya bagi mereka yang konsekuen menghayati bahwa Tuhan tidak ada. Hal ini tercermin dalam tokoh-tokoh sastra yang dibangun Nietzsche sendiri, bahkan menghayati ketiadaan dan kematian Tuhan secara religius, kemudian menjalani hidup dalam perspektif yang belum pernah ada tersebut.
Kedua, atheisme yang tidak konsekuen, dianut oleh mereka yang menyatakan bahwa Tuhan tidak pernah mati, karena memang tidak pernah ada. Namun di sisi lain, atheisme kedua ini toh percaya pada pengganti-pengganti Tuhan, yakni kekuasaan akal dan rasio (intelektual-isme).
Atheisme Kaum Beragama
Sementara yang ketiga, justru tersembunyi tetapi marak dianut oleh para elit politisi kita, khususnya di sekitar perhelatan akbar pemilu beberapa waktu lalu. Para politisi itu percaya pada Tuhan yang hidup, namun berpikir dan berprilaku seolah-olah Tuhan tidak pernah hadir di sisinya. Mereka menolak untuk berpikir tentang Tuhan secara esensial. Maunya serba instan, dangkal dan semua belaka. Mereka tidak menyadari telah menanam pohon-pohon tanpa akar. Seakan menggali lubang galiannya sendiri, bagaikan memintal jaring-jaring yang kelak akan menjerat dirinya sendiri (lihat: Sastra di Tengah Pikiran Tertutup, www.litera.co.id).
Para sastrawan Amerika Latin semisal Steinbeck, merasa bertanggung jawab, bahkan merasa wajib membongkar atheisme terselubung yang marak dianut masyarakatnya sejak abad ke-18 dan 19 lalu. Ya, siapa lagi yang menjadi bahan analisis mereka, kalau bukan orang-orang – sebagaimana masyarakat kita juga – yang kemudian terjerumus menjadi mangsa para buaya dan garuda-garuda kapitalis dari hutan rimba belantara berikut peraturan the law of the jungle yang menyerimpung keseharian mereka.
Para tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Elit militer dan politisi korup yang berkolaborasi dengan kaum agamawan agar berdoa bersama, kemudian duduk di shaf depan masjid agung pusat kota. Termasuk para ibu pengajian berjilbab salehah, yang terperosok dalam rimba hoaks, fitnah dan kampanye hitam, laiknya para wanita pemuja Bunda Maria yang menjadi penikmat daging-daging panas. Tampil dengan elok dan anggun bersama aksesoris duniawi, menjadi para pembisik bagi suami-suami agar terus berkiprah dalam belantara rimba politik yang absurd dan fatamorgana belaka. *