Sedang Membaca
Menggapai Hidup Bersama
Avatar
Penulis Kolom

Pegiat Organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa

Menggapai Hidup Bersama

Kita mengenal sosok Caligula, seorang kaisar Romawi pemuja hedonisme, yang setiap hari memuaskan hasrat biologisnya dengan wanita-wanita yang dicintainya. Di akhir hayatnya, pemuja kehidupan glamor yang selalu berpesta-pora itu mengalami kegersangan spiritual, hingga kemudian mati terbunuh oleh tentara ajudannya sendiri.

Dalam Alquran, kita mengenal sosok Firaun, Haman, Qarun, maupun kaum Nabi Luth, serta para pecinta dan pemuja hedonisme lainnya yang mengalami tragedi yang sama dalam ending kehidupannya. Namun, seperti yang sering diperingatkan Tuhan dalam kitab-kitab suci, “Kenapa manusia selalu gagal untuk mengambil pelajaran dari masa lalu?”Dalam sepanjang sejarah, kebanyakan manusia tak mampu menemukan arti hidup dari benda-benda material duniawi, kekayaan maupun kekuasaan, yang sebenarnya hanyalah alat, titipan, amanat, dan bukan suatu tujuan yang sejati.

Paul Dolan dalam bukunya, Happiness by Design (2014), telah meneliti dan memaknai hakikat kebahagiaan tidak melulu dalam pengertiannya yang ideal. Ia mengamati kehidupan orang-orang awam yang menjalani kehidupan dengan rutinitas harian. Dolan tidak hanya melihat kebahagiaan dari sejarah konseptual, melainkan kenyataan yang bisa diteliti secara kuantitatif dan konvensional, seperti kebiasaan menonton teve, membaca buku, berbelanja, main HP, naik angkutan umum, pergi ke sawah-ladang, berangkat ke kantor atau pabrik dan seterusnya. Ia membedakan makna kebahagiaan, ketimbang kenikmatan dan kesenangan yang sesaat. Meski kemudian, ia menyimpulkan bahwa di antara ketiganya saling berkaitan erat dan perlu saling menunjang.

Dalam ending bukunya, Dolan merumuskan perihal kebahagiaan (happiness) yang merupakan gabungan antara pleasure dan purpose of life. Di sini perlu adanya keseimbangan dan keselarasan untuk mencapai derajat dan tingkat kebahagiaan, bahwa seseorang mesti sudah melewati fase kenikmatan dan kesenangan duniawi. Dengan begitu, maka hakikat dari kebahagiaan akan menemukan kesejatiannya.

Secara religius, tesis Jonathan Haidt dalam bukunya, The Happiness Hypothesis (2006), lebih mempersoalkan aspek religiositas dan spiritualitas, bahwa faktor kenyamanan fisik dan badani, perlu ditunjang oleh peranan jiwa yang menguasainya. Ia menyebutnya sebagai faktor luar dan dalam yang harus saling menopang dalam menyusuri lorong kehidupan ini. Namun, jika tidak ada kewaspadaan dan kehati-hatian, manusia akan mudah terjebak dan tergelincir selamanya di dalam kegelapan.

Baca juga:  Gagasan Menyempurnakan Terjemah Alquran

Dalam terminologi agama, kehidupan yang hedonis dan cenderung glamor, kebiasaan menimbun dan menumpuk harta kekayaan (alladzi jama’a malan wa’addadah) identik dengan keterjebakan manusia dalam kegelapan. Hal ini selaras dengan tesis Haidt, yang menegaskan bahwa seorang mistikus dan kaum sufi merasa tidak silau dengan materialisme dan kehidupan hedonis. Meskipun, kita semua menyadari, bahwa tesis tersebut belum tentu berlaku bagi kebanyakan orang.

Terkait dengan ini, seorang Sidharta Gautama, boleh saja menyatakan bahwa kebahagiaan itu berasal dari dalam hati dan kalbu manusia. Namun, bagi kebanyakan orang, suasana dan kondisi kebatinan, tidak selalu menjadi sumber utama untuk mencapai kebahagiaan.

Karena bagaimanapun, toh Sidharta pernah menikmati masa-masa kesenangan dan kenikmatan hidup di dalam istana. Sampai kemudian, ia mencapai puncak kesadaran, bahwa perhiasan, makanan lezat, hingga jabatan tinggi, bukanlah sumber utama yang menyebabkan pikiran dan perasaan manusia dapat mencapai puncak kebahagiaan sejati.

Bagi orang Indonesia

Banyak teks-teks Al-Kitab yang menampilkan sosok Nabi Isa selaku cermin yang memberi teladan pada kesederhanaan dan kebersahajaan. Demikian halnya dalam ajaran Islam (Alquran) yang menekankan kehidupan yang zuhud, wara dan qana’ah. Secara eksplisit, dinyatakan dalam surah an-Nahl (ayat 97) tentang hayatan thayyiban, bahwa kehidupan yang bahagia identik dengan keimanan dan perbuatan baik.

Dalam konsep pemikiran Plato dan Aristoteles, kebahagian hidup juga identik dengan kebaikan. Dengan melakukan kebaikan-kebaikan, maka dari dalam dirinya, manusia akan merasakan kebahagiaan yang senantiasa menyertainya. Dengan kata lain, kebahagiaan semata-mata buah atau bonus dari kemauan manusia untuk berbuat baik.

Baca juga:  Mengukur Kedalaman Berbahasa Felix Siauw Imam Nawawi

Untuk itu, konsep mencari kebahagiaan mengalami perubahan paradigma, dari konsep mencari bahagia, menjadi “bahagia dalam pencarian”. Jadi, dalam proses mencapai hasil dan tujuan, kita perlu menikmati proses itu dalam setiap detik dan menit. Sebagaimana dinyatakan penulis novel Pikiran Orang Indonesia, yang pernah menegaskan, “Seorang sastrawan harus dapat menemukan sensasi dan kebahagiaan sejak awal hingga akhir penulisan. Jadi, bukan semata-mata bahagia ketika novelnya diterbitkan oleh penerbit, tetapi ia pun harus senantiasa memiliki hati yang berbunga-bunga pada saat memulai, mengerjakan, hingga mencapai ending dari goresan penanya.”

Bahagia sebagai tujuan

“Apa yang membuat seorang penulis dan sastrawan bisa bahagia?” demikian ditanyakan Hafis Azhari saat acara bedah bukunya di Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten, yang ditujukan kepada kalangan sastrawan, santri, ulama, mahasiswa dan tokoh masyarakat Banten (baca: www.kompas.id, 14 November 2021). Ia membahas konsep pemikiran filsafat Yunani (Aristoteles), khususnya mengenai “eudaimonia” yang diartikan dengan ketenangan dan ketentraman batin (wellbeing), meskipun kebanyakan orang menyebutnya dengan istilah “happiness”.

Seorang seniman Banten mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan dengan lantang: “Apa yang akan kita lakukan, seandainya memenangkan lotere senilai 9 miliar rupiah?” Seketika itu, perdebatan berseliweran ke sana kemari, dan tidak sedikit dari mereka yang menjawab: akan membeli villa di Puncak lalu menulis dalam suasana tenang dan nyaman (berarti selama ini dia tidak nyaman?).

Yang lainnya menyatakan, akan keliling dunia, lalu membangun rumah megah di Bali dan membeli mobil mewah. Sementara, kalangan santri menyatakan akan pergi umroh dan haji plus, serta memberangkatkan kedua orang tua dan seluruh keluarga ke Mekah. Boleh jadi, keinginan yang sama akan dijumpai pada kelompok masyarakat dari profesi lainnya, selain tanggapan para seniman dan santri di atas.

Baca juga:  Sungai Nile, Engkau adalah Sungai Istimewa dalam Al-Qur’an

Tetapi kemudian, Hafis Azhari lebih mengurai perdebatan mereka: siapa yang bisa menjamin, setelah semua keinginan itu terpenuhi, lantas kehidupan kita akan menjadi bahagia? Secara implisit, ia menyatakan nasib kehidupan yang dialami tokoh-tokoh dalam novelnya (Perasaan Orang Banten), adakah seorang “Haji Mahmud” merasa bahagia setelah pulang dari ibadah haji?

Adakah Pak Majid, Bang Jali, maupun Nyi Hindun yang cenderung glamor dan hedonis, serta gemar menumpuk-numpuk harta kekayaan, dapat dikatakan hidup bahagia? Apakah mereka dapat menikmati “kebahagiaan” setelah segala hasrat dan keinginannya terpenuhi, termasuk keinginan yang berlabel “demi akhirat” sekalipun?

Hal serupa pernah pula dipersoalkan perihal hakikat kebahagiaan versi Imam Al-Ghazali yang sering dibahas Kang Ulil Abshar Abdalla dalam forum genuine “Ngaji Ihya” yang diprakarsai beliau.

Di situlah kita akan menemukan makna kebahagiaan sejati yang bersumber dari dalam batin, ketimbang hanya kenikmatan dan kesenangan yang durasinya hanya sebentar dan sekejap mata saja. Lalu, bagaimana nasib hidup orang yang telah berkeliling dunia, atau mengunjungi negeri dan kota-kota megapolitan di seluruh dunia?

Setelah turun dari jok empuk kendaraan mewah, dia toh akan kembali ke tempat semula, lalu muncul lagi mata rantai hasrat dan kehendak lainnya yang ingin diraih. Bahkan, jok yang empuk tempat bersandarnya batok kepala, ternyata tidak terasa empuk kalau pikiran dan perasaan sedang dibeliti berbagai urusan, masalah, serta dihantui oleh hasrat-hasrat obsesi yang segera harus terpenuhi.

Di era milenial ini, kadang kita tersenyum menyaksikan orang-orang sibuk tergopoh-gopoh, terjebak dalam iklim “hedonic treadmill”, di mana banyak orang berlari dan berkejaran untuk mencapai suatu tempat, meskipun pada akhirnya ia akan bermuara di tempat yang itu-itu juga. ***

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top