Cerpen yang akan saya utarakan ini menarik untuk disimak, meskipun didapatkan dari sobekan koran bekas bungkus kacang asin. Yang penting keseluruhan isinya masih utuh, tetapi siapa penulisnya sudah tak terbaca. Di bagian atas menunjukkan bahwa sobekan koran itu adalah harian dari wilayah Lampung. Meskipun judulnya sudah kumal dan kotor tapi masih terbaca dengan jelas, yakni “Sang Koruptor”.
Tentu bukan kehendak saya koran itu bisa melanglang buana, menempuh perjalanan ratusan kilometer menyeberangi Selat Sunda hingga ke Banten, kemudian sampailah di tangan saya. Hal ini pun dikarenakan tetangga berbaik hati mengirim satu plastik kacang asin yang diberi alas koran, hingga saya tertarik untuk membaca dan menyimaknya. Cerita diawali dengan penuturan seorang sopir pribadi bernama Tohir, yang dipekerjakan seorang anggota DPR Suminto, selama kurang lebih tiga tahun. Sopir itu pada mulanya bekerja sebagai wartawan harian lokal, tetapi karena suatu hari mendapat tawaran kerja dari seorang kakak kelas yang dulu sering mentraktirnya di kantin SMU, ia pun tak kuasa menolaknya. Suminto yang berasal dari keluarga kaya-raya, dengan bapak seorang tuan tanah di Lampung, kini sudah menjabat sebagai anggota Dewan dengan segala perangkat keyakinan dan obsesi yang dimilikinya sebagai seorang politikus.
Sebagai sopir pribadi, Tohir lebih banyak tahu tentang Sarminah, salah satu wanita selingkuhan Suminto, yang tanpa tending aling-aling melampiaskan segala curahan hatinya kepada Tohir. Setelah bercerai dengan suaminya beberapa tahun lalu, Sarminah menghidupi anak semata wayang yang dititipkan kepada seorang pembantu di siang hari, ketika ia bekerja di toko ponsel milik seorang pengusaha keturunan Tionghoa.
“Dari mana kau dapatkan uang sebanyak itu?” tanya Sarminah ketika diperlihatkan satu tas berisi mata uang ratusan ribu, yang dijanjikan untuk membangun rumah miliknya.
“Aku ingin memiliki keturunan darimu,” lanjut Suminto dengan penuh keyakinan.
“Tapi kau tak pernah memberi tahu, apa pekerjaanmu yang sebenarnya.”
“Aku sudah bilang bahwa aku seorang pedagang.”
“Dagang apa?”
”Apa saja bisa aku perdagangkan, apa saja aku sikat, yang penting semuanya bisa jadi duit,” katanya ketika ia mengajak Sarminah dan Tohir untuk makan malam di McDonalds di daerah Jakarta.
Karena ia begitu menaruh harapan pada Sarminah, dalam beberapa minggu rumah mewah yang dicita-citakannya itu sudah rampung. Sarminah pun dipercantik di sebuah salon termahal yang konon tempat langganan para artis papan atas di ibukota Jakarta.
”Apakah kita tidak sedang melawan sunatullah?” tanya Sarminah.
”Maaf, aku tidak tertarik membahas masalah itu.”
”Bagaimana kalau Tuhan marah dan menghukum kita?” ia pun mendesaknya.
”Ini bukan soal Tuhan, Sarminah, bukan soal agama. Tapi soal hasrat dan cita-cita manusia yang tak bisa dikalahkan oleh kehendak siapapun.”
”Kamu yakin?”
”Ya, karena manusia dibekali hasrat dan keinginan, dan Tuhan membebaskan kita untuk meraih hasrat itu.”
”Itu bukan hasrat dan cita-cita, tapi hawa nafsu yang bersumber dari Setan dan Iblis!” kata Sarminah murka.
“Saya lebih suka menyebutnya dengan ‘hasrat’, sedangkan Iblis dan Setan hanya hidup dalam dongeng-dongeng agama.”
“Dasar atheis!”
Dengan tenang Suminto masih juga mendebat, “Atheisme itu soal pilihan, tapi yang kita bicarakan ini soal aturan agama yang sudah lama kutinggalkan, khususnya ketika aturan itu menghalangi aku untuk mengejar hasrat dan cita-cita dalam hidup.”
Seketika Sarminah menampar Suminto, memukul dan mencakar tubuhnya, tapi laki-laki yang diperlakukan kasar itu menghadapinya dengan tenang. Tohir segera melerai pertikaian itu, meski Suminto menolaknya, ”Biarkan Tohir, tak usah khawatir.” Setelah menatap Sarminah dengan seksama ia pun mengakhiri ucapannya, “Sepertinya sisa-sisa ajaran agama masih melekat di alam bawah sadarmu. Tapi tak usah khawatir, Sayang, sebentar lagi semuanya itu akan hangus terbakar, dan kamu akan terlahir kembali sebagai manusia baru….”
Pada mulanya Sarminah dikenal melalui akun Facebook. Tak berapa lama mereka saling merespons status, hingga menjadi teman dekat. Siratan-siratan pikiran terasa melucuti kebodohannya. Kalimat-kalimatnya seperti api yang membakar tabir yang membekap otaknya. Mereka pun sering bertemu, mengobrol, dan makan bersama. Setelah diajak ke kediaman Mbah Durip yang tinggal di kaki Gunung Karang (Banten), Sarminah tak pernah menolak bila diajak “bercinta”, baik di rumah barunya, di hotel, maupun di tempat penginapan yang disewa khusus pada saat ia menjalani kesibukan kunjungan daerah.
Bahkan suatu kali Tohir diperintahkan untuk mengemudikan mobil mewahnya di seputaran kota Metro Lampung, dan ia hanya tersenyum-senyum mendengar dengus nafas kedua manusia yang sedang menjalin cinta di jok belakang kendaraan berplat merah itu.
“Sore ini aku harus segera pulang,” dering handphone membuat Suminto harus segera berangkat.
”Pulang ke mana? Ke istrimu? Ada berapa sih istrimu?”
Sambil terkekeh Suminto menjawab, ”Sekitar duaratus, sebentar lagi jadi 201. Oya, tolong nanti kamu WA nomor rekeningmu.”
Karena penasaran, suatu hari Sarminah bersikeras mengikuti jejaknya. Menuruti apa kata sahabatnya ia menyamar menjadi seorang laki-laki berkumis tebal. Mobil taksi yang disewanya diperintahkan untuk terus masuk ke gedung parlemen. Orang-orang berpakaian rapi masuk ke suatu ruang khusus, dan Sarminah mengambil posisi di dekat sebuah jendela besar. Dari celah gordyn jendela ia melihat Suminto bersama perempuan, disambut beberapa lelaki dan perempuan lain. Mereka langsung membicarakan sesuatu sambil melihat angka-angka di layar komputer.
”Anggaran buat orang-orang malang ini besar sekali, hampir tujuhratus milyar, ayo kita mainkan.” Sarminah melihat mulut Suminto berucap melalui huruf-huruf yang menjelma pada layar komputer. Beberapa orang mengangguk, lalu saling tertawa berpandangan. Gambar lain kemudian muncul di layar: gedung sekolah yang ambruk, jembatan yang roboh, orang gila dan gelandangan di emperan toko, ibu-ibu kurus dan bayi berkepala besar dengan mata melotot, rumah sakit penuh sesak oleh para pasien.
Seketika mata Sarminah merasa pedih dan perut mual-mual. Ia segera berlari membayangkan wajah Suminto di antara deretan giginya yang tiba-tiba mengeluarkan taring. Lama kelamaan taring itu semakin panjang seperti pisau belati yang siap menikam dadanya.
Dalam cerpen itu menunjukkan bahwa para koruptor tak lain adalah orang-orang yang waras dan pintar. Mereka memiliki ideologi tertentu, bahkan menjalani hidup sesuai filosofi yang diyakininya. Mereka memiliki “mursyid” atau pembimbing yang menjadi pegangannya. Terserah apapun mereka menyebutnya, apakah dukun, orang pintar, paranormal maupun ustad dan kiai, hal itu hanyalah istilah yang dibikin-bikin oleh kita saja.
Tapi pada prinsipnya siapapun itu, jika seorang “mursyid” membenarkan tindak koruptif dan pelacuran, termasuk pelacuran pemikiran, dengan menyebut-nyebut segala amal perbuatannya adalah “kehendak Tuhan”, hal itu hanyalah pemolitikan belaka dari tafsir tentang Tuhan. Padahal, gaya hidup hedonis itu semata-mata karena menuruti hawa nafsu dan hasrat kekuasaan, dengan mengabaikan prinsip kebenaran dan keadilan, mengambil hak rakyat dan menyengsarakan orang banyak.
Tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan kosmos ajaran Islam (monotheisme), tetapi hanya bersandar pada kepercayaan pantheisme dan monisme yang menganggap bahwa segala amal perbuatan manusia, baik maupun jahat, bersumber dari kehendak Tuhan semata.
Lalu, bagaimana peran para kiai, mubalig, maupun pendidikan pesantren di republik ini, apakah mereka konsisten pada ajaran yang menegakkan Tauhid dan ke-Esaan Tuhan (li i’lahi kalimatillah), ataukah hanya sekadar buih-buih yang menuruti pasang-surut gelombang zaman dan perpolitikan Indonesia? Tentu semua lembaga pendidikan, baik dari NU maupun Muhammadiyah (terlebih pesantren) bertanggungjawab mengarahkan anak-didik agar memprioritaskan ajaran Tauhid, bukan hanya diperjuangkan oleh pesantren yang berlabel Daarut Tauhid saja… (*)