Prof. Dr. Oman Fathurahman saat ini sedang mendapat amanah jadi Staf Ahli Menteri Agama. Tapi malam itu, dalam kegiatan yang dinamai Ngariksa (Ngaji Manuskrip Nusantara), diadakan oleh komunitas Lingkar Filologi Ciputat (LFC), ia tampak semringah dan bersemangat.
Bahkan beliau menggunakan sejenis udeng-udeng sambil menjelaskan manuskrip karya ulama Aceh abad ke-16, Syekh Abdurrauf Singkel (As-Singkili). Temanya tentang wahdatul wujud, berjudul Tanbihul Masyi.
Kajian manuskrip atau filologi, adalah kajian akademik yang digeluti Prof. Oman sejak lama, yang mengantarkannya menjadi Guru Besar di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Satu bagian yang menarik dari diskusi malam itu (Sabtu, 25/5/2019) adalah soal mengapa tema wahdatul wujud, sebuah pandangan tauhid yang diantara penjelas awalnya adalah Ibn ‘Arabi, ulama besar yang terkenal dengan karya agungnya al-Futuhatul Makkiyyah, menjadi pandangan keislaman yang ramai dibicarakan di Nusantara.
Asumsi ini bukan omong kosong. Pada abad ke-17, Syekh Yusuf al-Makassari, ulama sufi asal Makasar yang akhir hayatnya diasingkan sampai ke Capetown (Ujung Harapan), Afrika Selatan, juga membicarakan wahdatul wujud dalam karyanya, Zubdatul Asrar fi Masyaribil Akhyar. Karya ini tidak terlalu tebal–layaknya Tanbihul Masyi–tapi berisi penjelasan yang padat soal apa hakikat dari persepsi wahdatul wujud tersebut.
Antara Dua Pusaran Beragama
Abdurrauf as-Sinkili tiba kembali ke Aceh pada paruh kedua abad ke-16 setelah sekian lama belajar di kota-kota di Arab. Tentu saja Makkah dan Madinah, tidak terlewatkan. Ia adalah murid dari Ibrahim al-Kurani, ulama besar keturunan bangsa Kurdi yang menjadi guru besar di kota Makkah. Ibrahim Kurani juga punya kitab yang menjelaskan persoalan wahdatul wujud. Kitab itu bernama Ithafud Dzaki.
Mengutip Oman Fathurahman dalam Arabic Text of Tanbih al-Mashi al-Mansub ila Tariq al-Qushashi by Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, kepulangan as-Sinkili segera membuatnya menjadi rujukan, bahkan diangkat menjadi Qadi (1645-1675) kesultanan Aceh yang waktu itu dipimpin oleh seorang perempuan, Sulthanah Shafiyyatu ad-Din.
Salah satu permasalahan yang menyeruak di masa itu adalah perdebatan soal wujudiyyah atau tema tentang wahdatul wujud. Ada dua arus besar yang terjadi pada waktu itu, menyesatkan ajaran ini sebagai salah satu bentuk kemusyrikan, diwakili oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri, dan menganggapnya sebagai bentuk ajaran bertauhid yang sangat paripurna, diwakili oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Dalam Tanbihul Masyi, Abdurrauf as-Sinkili menunjukkan upayanya untuk menyeimbangkan antara pandangan yang berusaha “membajak” wahdatul wujud sebagai dalil bahwa seseorang yang sudah pada level tersebut adalah “jelmaan Tuhan” dengan yang mengatakan wahdatul wujud sebagai praktik kesesatan.
Untuk menjembatani persoalan ini, beliau mengutip pendapat karya As-Suyuthi Tanbih al-Ghabiyy, kitab yang berisi pembelaan terhadap pandangan-pandangan Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah,
إن الصوفية تواطؤوا على ألفاظ اصطلحوا عليها وأرادوا بها معاني غير معاني المتعارفة. فمن حمل ألفاظهم على معانيها المتعارفة بين أهل العلم الظاهر كفر وكفر
sesungguhnya para sufi sering menggunakan kata-kata yang mereka beri makna khusus, bukan makna yang dikenal orang-orang pada umumnya. Maka, yang (mencoba) memaknai kata-kata mereka dengan makna yang umum dikenal oleh ahli ilmu zahir, maka ia sendiri menjadi kafir dan akan dikafirkan (h. 5).
Meluruskan Persepsi Wahdatul Wujud
Dalam catatan Arrazy Hasyim berjudul Teologi Ulama Tasawuf Nusantara, sebenarnya Ar-Raniri–yang tak lain adalah guru Syekh Yusuf al-Makassari juga–Ar-Raniri menolak Hamzah Fansuri karena mengatakan ruh bersifat qadim, layaknya zat Allah.
Sebagai informasi, Ar-Raniri juga adalah mursyid tarikat dan membenarkan pemahaman wujudiyah tersebut. Wujudiyah atau wahdatul wujud yang juga nanti dibenarkan oleh Abdurrauf as-Sinkili, tidak lain adalah wahdatul wujud yang menegaskan bahwa makhluk tetaplah makhluk bagaimanapun tinggi maqam-nya, tapi ia adalah “bagian”dari Tuhan karena seluruh alam semesta ini tidak lain adalah bagian dari Ketuhanan, dan manusia bukan entitas yang terpisah secara hakiki dengan Zat Allah. As-Sinkili menggunakan istilah az-Zhill (bayangan/shadow). Beliau mengatakan,
وإذا تقرر لك هذا، فنقول ليس له وجود إلا وجود صاحب الظل ووجود الظل متوقف على صاحب الظل
jika engkau sudah memahami ini, maka kami katakan (agar anda memahami) kalau tidak ada yang wujud (dari alam semesta ini) melainkan keharusan adalah Yang Memiliki (wujud) bayangan ini semua, dan adanya bayangan bergantung kepada siapa yang memiliki bayangan tersebut (yaitu Tuhan). (h. 4)
Lalu bagaimana untuk menjelaskan kalau manusia sebagai “bayang-bayang” Allah, namun tidak terjebak pada kesimpulan manusia itu adalah “Allah” itu sendiri? Ada beberapa jawaban yang disarikan oleh Syekh Abdurrauf as-Sinkili, namun yang paling sederhana–menurut kami–ialah penegasan bahwa Allah adalah Pencipta dari segala yang ada di seluruh alam ini (khooliqu kulli syai’in).
Sehingga–menurut Syekh Abdurrauf–mana mungkin Allah menciptakan dirinya sendiri, lalu kemudian akan aneh kalau Allah kemudian menurunkan ayat-ayat Alquran dan syariat untuk entitas yang merupakan bagian hakiki dari diri sendiri (h. 5).
Di luar ini, ada argumen lain misalnya “pernyataan itu benar jika dilihat dari sudut pandang keberadaan manusia di zaman azali (saat belum ada apapun kecuali dzat Allah sendiri). Manusia itu wujud karena ia adalah bagian dari mumkinaat al-wujud (yang punya potensi untuk ada) Allah Swt”.
Atau argumen dengan mengatakan, “kalau manusia adalah perwujudan hakiki Tuhan, maka ketika ia ingin sesuatu lalu berkata “jadilah”/kun, pasti tidak akan terwujud langsung. Dari situ saja, dapat dilihat kalau entitas manusia berbeda dengan Dzat Allah.
Tidak mudah memang melihat persoalan wujudiyah ini dari nalar belaka (mungkin yang menulis juga belum memahaminya dengan baik).
Mungkin karena itu juga, di dalam Tanbihul Masyi, lebih dari separuh akhir isinya adalah tuntunan untuk banyak berzikir tauhid dan amalan-amalan seperti puasa agar kita selalu dekat kepada Allah Swt. Bahkan di akhir, ada penyebutan zikir tarikat Syattariyyah dan Qadiriyah.
Dari sini, hemat penulis karya ini–boleh jadi–ditunjukkan untuk orang-orang yang sudah dianggap mencapai level khusus, paling tidak khusus untuk pengamal tarikat yaitu para sufi. (atk)