Seiring dengan berkembangnya metode interpretasi Al-Qur’an, diakui secara sadar maupun tidak, bahwa pada kenyataanya para mufasir dipengaruhi oleh faktor eksternal atas pembentukan karakter penafsirannya.
Jika memang krisis ilmu pengetahuan (sains) dipengaruhi oleh dikotomi sebagaimana yang kita ketuahui bersama, kita tidak dapat menyalahkan para mufasir klasik dengan metode yang mereka gunakan untuk menganalisis sesuai dengan barometer pada waktu itu.
Sama halnya dengan metode penafsiran yang digunakan oleh para mufasir sekarang, yang mana disesuaikan dengan kearifan zaman. Mereka juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an melalui gradien zaman ilmiah, agar lebih mudah dipahami. Dalam hal tersebut, tentunya para mufasir sama-sama memiliki argumen yang konprehensif.
Seseorang yang memiliki pemahaman klasik dengan bercermin kepada mufasir terdahu, tidak dapat serta merta mengklaim bahwa metode penafsiran yang digunakan oleh ulama sekarang sudah keluar dari garis orbitnya. Apabila telah keluar dari orbitnya, seperti halnya ketika planet dinyatakan telah keluar dari rotasinya. Maka yang akan terjadi kemudian adalah kehancuran yang berpotensi membinasakan kehidupan kosmologis.
Sebagian ada yang berdalih bahwa dengan penemuan-penemuan ilmiah saat ini, ada yang telah mencapai tingkat tertinggi dengan teori-teorinya, namun akan tetap bersifat relatif kebenaranya. Atas dasar toeri-teori tersebut belum sepenuhnya matang. Maka, para ulama yang kontra tidak merespon terhadap interprertasi teks yang dibangun atas teori yang bersifat relatif itu, sementara kebenaran Al-Qur’an masih akan tetap bersifat absolut.
Begitu pula bagi para mufasir modern, tidak juga harus mengklaim bahwa metode para mufasir klasik yang digunakan untuk memberikan interpertasi terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak dapat diterapkan di era sekarang ini, pun menganggap Al-Qur’an terkesan sangat kaku di depan khalayak, sehingga kemudian dapat menghilangkan autentisitas Al-Qur’an itu sendiri.
Dengan demikian, melihat hal di atas bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan—tidak berlebihan jika dianggap sebagai suatu keharusan—mengingat fenomena-fenomena sekarang ini tampil semakin garang dan brutal, bahkan membabi buta.
Apabila tidak ada semacam proteksi terhadap perkembangan zaman ini, otomatis ayat-ayat Al-Qur’an cenderung akan “dipaksa” secara liar di depan puplik, yang pada akhirnya akan melahirkan embrio-embrio radikalisme. Sebab, hal ini dipengaruhi oleh capaian-capaian ilmu pengetahuan modern yang merupakan fenomena spektakuler, yang semakin tak terbantahkan kehadirannya dalam kehidupan manusia milenium, sehingga alasan-alasan primordial tidak dibenarkan untuk menjustifikasi fenomena tersebut.
Yang harus diperhatikan dalam mencerna tafsir sains bagi pengadopsi tafsir adalah langkah-langkah dan garis linear yang ditempuh oleh sang mufasir. Seorang mufasir dituntut untuk berusaha mensinergikan ilmu tafsir dengan ilmu bantu lainya (sains modern).
Di antara garis linear harus ditempuh adalah: pertama, Al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir tidak dapat dilepaskan dari Al-Qur’an itu sendiri. Artinya, dengan terminologi penafsiran apa pun, dalam menafsirkan Al-Qur’an hendaknya merujuk pada dimensi ayat lainnya, guna menguatkan posisi tafsir tersebut, dengan cara mendatangkan ayat-ayat lain sebagai katalisnya, sehingga kemudian memberikan titik temu dengan metode yang mereka ambil.
Reaksi semacam ini dapat meminimalisir “politisasi” atau “pemerkosasaan” terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan berdalih mengunakan metode tafsir tertentu.
Kedua, hadis sebagai salah satu penunjang terhadap keselarasan tafsir Al-Qur’an . Hal ini merupakan kunci kedua setelah Al-Qur’an. Ketiga, menguasai kaidah linguistik bahasa Arab.
Begitu juga bagi para penganut tafsir bi al-Ma’tsur (riwayat) tidaklah menjustifikasi munculnya penafsiran-penafsiran modern, karena semua itu memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memahami Al-Qur’an seutuhnya dari pelbagai macam perspektif. Mereka semua mempunyai kelebihan yang dapat disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat yang mereka hadapi.
Sebagaimana frekuensi gelombang logitudinal yang diberikan seorang al-Ghazali terhadap penafsiran dengan metode ilmu pengetahuan yang beliau terapkan sangat relevan untuk membarikan tambahan frekuensinya agar mendapatkan titik temu dalam makna Al-Qur’an itu sendiri.
Imam Al-Qur’an menyatakan bahwa seluruh ilmu tercakup dalam af’alu Allah (peran Allah), sedangkan Al-Qur’an itu sebagai syarah (penjelas) Dzat, sifat dan af`alu Allah. Maka dari itu, memahami lewat pendekatan sains secara tidak langsung dapat mengungkap keesaan-Nya sehingga semakin memperkuat iman seseorang yang mempelajarinya. Bukankah salah satu fungsi utama Al-Qur’an adalah sebagai hudan linnas, semua itu didapati di dalam samudera Al-Qur’an yang tak bermuara.
Setidaknya atas fenomena-fenomena yang ada di hadapan kita saat ini, sebagai umat Islam yang menjunjung tinggi kebenaran Al-Qur’an serta meyakininya sebagai petunjuk bagi umat Islam. Maka menjadi keniscayaan untuk mengkaji Al-Qur’an lebih dalam, sehingga kemudian mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di setiap lini kehidupan umat manusia. Wallau A’lam.