Ketika berbicara tentang al-I’jaz al-‘Ilmi yang di dalamnya membahas tentang pentingnya sains dalam kehidupan dewasa ini, yang erat kaitannya dengan Al-Qur’an, maka, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sumber-sumber diketahuinya kemukjizatan Al-Qur’an semuanya bermula dari interpretasi-interpretasi teks.
Tentu saja, proses penafisaran ini melibatkan pola pikir dan sudut pandang para mufasir, sehingga banyak menghasilkan karya-karya monumental yang sesuai dengan ideologi pemikiran mufasir itu sendiri.
Disadari atau tidak, saat ini dalam tradisi intelektual umat Islam—kalau boleh dibilang, tanpa bermaksud mengeneralisir—telah terjadi krisis ilmu pengetauan (sains) yang diakibatkan dari dikotomi antara ilmu yang bersumber dari “wahyu dan sabda” dengan ilmu yang muncul dari “nalar konvensional”.
Dengan demikian persoalan yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam bukan pada identitas paradigma Islam, tapi patut ditelaah lebih dalam kembali, mengapa ulama terdahulu terkesan hanya berpendapat dan berhenti pada sabda sebagai penjelas wahyu.
Imam al-Syatibi misalnya, dalam kitabnya al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari`ati menyatakan—tanpa ada pandangan “sinis” dalam menginduksi pemahaman—bahwa sabda itu sebagai penjelas wahyu, jika tidak terdapat dalam sabda maka, tidak bisa melakukan interpretasi teks, ini sabagai dalil untuk memberikan pemahaman atau penjelasan terhadap wahyu.
Oleh sebab itu, dalam tulisan singkat ini penulis sengaja menelaah al-I’jaz al-‘Ilmi sebagai basis tafsir saintifik terhadap teks Al-Qur’an. Layaknya tumbuhan tanpa monokotil pada tumbuhan yang memiliki ranting, dia tidak akan dapat hidup, begitu pula dengan tumbuhan berdikotil tidak akan mengenal kehidupan. Maka, begitulah Al-Qur’an bagi umat Islam. Tanpa adanya Al-Qur’an, mereka tidak memiliki pegangan hidup.
Dari rasa ingin menggali lebih dalam isi Al-Qur’an dan ingin menguatkan Al-Qur’an sebagai kalam Allah sekaligus menjadi pesan-pesan Allah pada makhluk-Nya, semakin berkembanglah interpretasi teks yang sesuai dengan corak dan perkembangan zaman saat ini, sehingga lahirlah tafsir ala kekinian yang disebut dengan tafsir saintifik.
Nah, dari munculnya tafsir sains ini terdapat polemik antara ulama yang memiliki latar belaang sains modern dengan ulama yang masih tetap mempertahankan metode penafsiran salaf, di antaranya pernyataan Khalîl al-Qatthân bahwa yang disebut dengan al-I’jâz al-‘Ilmî di sini ialah suauu I`jâz yang di dalamnya tidak tunduk di bawah hukum sains yang berbau modernisasi dan hakikatnya masih relatif karena hal itu dipetik dari buah pemikiran manusia yang berdasarkan pada eksperimennya.
Ketika menyerap dan menelaah definisi tersebut, terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan: pertama, definisi tersebut mendiskreditkan corak tafsir sains, karena terdapat kesan bagi orang yang tidak paham dengan ilmu sains bahwa model tafsir tersebut harus dihindari karena dinilai telah menundukkan redaksi Al-Qur’an ke ranah teori sains modern yang kerap berubah-ubah.
Kedua, definisi tersebut tidak mampu menggambarkan konsep yang sebenarnya diharapkan para mufassir yang tidak pernah berharap untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern dalam melakukan interpretasi terhadap Al-Qur’an, atau menundukkan redaksi Al-Qur’an pada teori-teori yang hanya mengambil jalan memutar.
Kalau ditelisik lebih mendalam lagi, yang dimaksud oleh mufassir tersebut adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur’an agar dipahami oleh manusia modern, terutama ketika melihat era ini yang cita rasa dan kepedulian terhadap bahasa Arab sudah sangat melemah, sekalipun di kalangan orang Arab sendiri.
Dinamika metodologi terus bergulir, seiring dengan perkembangan wacana dan interaksi intelektual manusia, serta pesatnya arus perkembangan ilmu pengetahuan yang meyerbu pelbagai aspek kehidupan manusia.
Tentunya ketika sudah melakukan sibtitusi sains dalam interpertasi teks Al-Qur’an, maka tidak sedikit para tokoh yang kontra terhadap metode tersebut, dan tidak sedikit pula yang mengamini datangnya metode baru yang berkembang sesuai perkembangan zaman ini.
Masing-masing mereka memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dengan alasan dan argumintasi yang sama-sama kuatnya. Semua itu digunakan semata-mata demi menjaga keaslian Al-Qur’an. Ada pula yang bertujuan untuk kemaslahatan umat, agar terhindar dari keterbelakangan di tengah pesatnya arus perkembangan di era sains ini.
Maka dari itu, definisi yang lebih mengena kepada corak al-I’jaz al-‘Ilmi (al-Tafsir al-‘Ilmi) dan sesuai dengan realita yang ada di lapangan. Tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur’an berusaha menyikap pelbagai ilmu dan nilai-nilai filosofis pada istilah-istilah tersebut.
Bisa juga dengan definisi tafsir yang diupayakan oleh penafsirnya untuk memahami redaksi-redaksi Al-Qur’an yang telah dipancarkan oleh sains modern atau untuk menyikap rahasia kemukjizatan Al-Qur’an dari pelbagai sisi, bahwa Al-Qur’an telah memuat informasi-informasi sains yang amat mendalam sekali dan belum dikenal oleh manusia semenjak turuannya Al-Qur’an tersebut, sehingga Al-Qur’an sendiri menunjukkan bukti lain yang sesuai dengan zaman modern ini tentang fakta bahwa Al-Qur’an bukan karangan manusia, melainkan firman Tuhan.
Al-I’jaz al-‘Ilmi Al-Qur’an merupakan prinsip-prinsip keilmuan serta dapat memotivasi manusia untuk berpikir, sehingga pada gilirannya menambah keyakinannya terhadap kebenaran Al-Qur’an serta menjadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah kitab pedoman hidup sepanjang zaman. Wallahu A’lam.