Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.

Mari Kita Berbincang Agak Berat: Qudamah bin Ja’far, Filsafat, dan Kritik atas Syair Arab

Mesue. Watercolour. Wellcome V0006562

Selain Ibnu Thaba’thabai yang membahas mengenai kritik teoretis dari sebuah syair pada abad 4 Hijriah, bisa dikatakan bahwa Qudamah bin Ja’far adalah penerus dari pemikiran Ibnu Thaba’thabai. Akan tetapi, di sisi lain Qudamah hadir bukan untuk melengkapi pemikiran Ibnu Thaba’thabai dalam menetapkan kritik teoretis syair, melainkan kondisi kritikus pada masa itu yang mendorongnya untuk menetapkan kaidah dalam penilaian suatu syair. Qudamah merasa resah dengan kesemrawutan para kritikus di zamannya dalam menilai suatu karya sastra, termasuk di dalamnya syair.

Kehadiran Qudamah yang dengan lantang meneriakkan kata naqd, dengan diiringi penetapan kaidah-kaidah, menuai banyak perseteruan di antara ulama pada masa itu. Pasalnya, ia tidak paham mengenai syair Arab dan hanyalah seorang filsuf yang mencoba menerapkan filsafat Yunani pada syair Arab karena keterpengaruhan Qudamah terhadap Aristoteles. Seperti usaha Amidi pada bukunya Tabyîn Ghalt Qudâmah fî Naqd al-Syi’ri, Abdul Latif al-Baghdadi pada buku Kasyu azh-Zholâmah ‘an Qudâmah dan Ibnu Abil Ashba’ pada karyanya al-Mîzân fî al-Tarjîh baina Kalâm Qudâmah wa Khusûmihi.

Kendati demikian, jika kita melihat karya Qudamah dari perspektif yang lain, maka akan kita temui suatu bentuk kematangan dari wacana teoresasi kritik syair. Selain berhasil menteoresasikan syair, ia juga berhasil menetapkan kaidah yang baku dalam mengkritik. Bagi Qudamah, syair adalah suatu bentuk produk, keindahan dan keburukan suatu syair ditentukan dari unsur pembangun syair, yang meliputi wazan, qofiyah, lafadz, dan makna. 

Baca juga:  Catatan Festival Film Indonesia 2023: Narasi Kultural, Ekosistem Film dan Konstruksi Identitas Keindonesiaan

Dengan memahami setiap unsur pembangun dari suatu syair, akan mengantarkan para kritikus dan juga penikmat syair untuk dapat membedakan mana syair yang baik, buruk, atau berada di tengah-tengah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa kaidah yang ditetapkan oleh Qudamah menjadi standar yang komprehensif dalam mengkritik. Dianggap komprehensif, karena dalam menilai suatu syair, seorang kritikus langsung dapat merabanya dari susunan syair.

Kitab Naqd al-Syi’ri juga dapat dikatakan sebagai kajian ilmiah pertama yang sistematis dan komprehensif dalam membahas kritik syair Arab. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Qudamah, sudah banyak pendahulunya yang berbentur dengan pembahasan kritik syair. Misalnya, sudah banyak para ulama yang membahas mengenai lafadz, makna, wazan, dan juga qafiyah. Namun, belum ada di antara mereka yang berani dengan lantang untuk membahas kritik syair ini secara ilmiah.

Menurut hemat saya, salah kiranya jika ada yang mengatakan bahwa Qudamah tidak memahami tentang wacana sastra Arab dan hanya mencoba menerapkan filsafat Yunani pada syair Arab. Justru Qudamah adalah orang yang berusaha mengharmonisasikan antara kebudayaan bangsa Arab—syair—dengan bangsa lain—filsafat-. Bagaimana mungkin orang yang tidak memahami sastra Arab namun mampu menjelaskan unsur pembangun syair—lafaz, makna, wazan, dan qofiyah—secara  terperinci?! 

Ahmad Amin pada buku al-Naqd al-Adabinya mengatakan, bahwa Qudamah dengan 2 karya terkenalnya Naqd al-Syi’ri dan Naqd al-Nasr—yang ymana keduanya lebih dekat dengan balaghah—menjadi tanggung jawab pertama dari fenomena kebekuan dan kejumudan definisi-definisi balaghah, begitupun juga menjadi tanggung jawab pertama dari meluapnya dan terserapnya balaghah Yunani, seperti Aristoteles dan filsuf lainnya ke balaghah dan sastra Arab. Ahmad Amin juga menegaskan bahwa Qudamah tidak menambahkan sedikitpun kaidah-kaidah pada kritik, melainkan hanya memberikan bentuk-bentuk dan istilah resmi.

Baca juga:  Menyoal Pseudo-Moral dan Pseudo-Relijiusitas Fotografi Indonesia

Usaha Qudamah yang menggunakan metode ilmiah dalam pembahasan kritik akhirnya memengaruhi para kritikus besar setelahnya. Seperti Abu Hilal al-‘Askari pada al-Shinâ’atain, Ibnu Rasyiq pada al-‘Umdah, dan Ibnu Sinan al-Khafaji pada kitabnya Sirr al-Fashahah. Karena pembahasan Qudamah juga merembet pada balaghah, akhirnya juga memengaruhi ulama balaghah setelahnya, sebut saja al-Sikaki pada Miftah al-‘Ulum dan Sa’ad al-Din al-Tiftazani.

Keindahan memang selalu dinanti dan bahkan dicari oleh setiap penikmat sastra. Mengkritik dan menghakimi suatu karya sastra pun sangat mudah keluar dari mulut mereka. Namun, mengkritik yang bersandar dari intuisi dan ilmu setiap insan akan menghasilkan keindahan yang beragam. Karena perspektif keindahan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda. Sehingga keindahan hanyalah suatu bentuk yang relatif.

Usaha kritik teoretis syair yang dilakukan oleh Ibnu Thaba’thabai masih berada pada tataran dasar, karena ia hanya sebatas menjelaskan piranti-piranti yang harus dipenuhi dalam penggubahan suatu syair dan belum memberikan panduan bagi masyarakat untuk mengkritik. Hingga datanglah Qudamah yang mematangkan kritik syair Arab. Perjalanan panjang dari kritik syair yang bersandar pada intuisi, kemudian kritik teoretis syair, dan akhirnya berujung pada teoresasi kritik syair. Qudamah berhasil membuktikan, bahwa menciptakan keindahan yang disepakati di antara manusia dalam suatu syair adalah mungkin. Yaitu dengan bersandar pada kaidah kritik yang telah ia tentukan.

Baca juga:  Sajian Khusus: Sajak dalam Perspektif Al-Ghazali

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
5
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top