Sedang Membaca
Siti Umniyah, Perintis Taman Kanak-kanak Muhammadiyah
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Siti Umniyah, Perintis Taman Kanak-kanak Muhammadiyah

Sejak tahun 1914, pasca peralihan jabatan Hoofdpenghulu dari Mohammad Khalil Kamaludiningrat kepada Mohammad Kamaludiningrat (Ahmad Adaby Darban, 2000: 41-43), gerakan Muhammadiyah mulai memasuki “Bangsal Priyayi”, karena kantor “Penghulu” sudah dapat dipergunakan sebagai wadah tablig.

Sebelumnya, Bangsal Priyayi adalah tempat yang tabu bagi masyarakat awam. Tetapi, setelah jabatan Kepala Penghulu dipegang oleh Kiai Sangidu (Mohammad Kamaludiningrat), Bangsal Priyayi menjadi tempat terbuka bagi umat Islam, bahkan menjadi sentra penggemblengan kader-kader mubalig Muhammadiyah.

Di Bangsal Priyayi inilah berlangsung kegiatan belajar khusus untuk anak-anak (Dirasatul Banat—salah satu departemen dalam Siswo Proyo Wanito), tepatnya di masa awal diselenggarakannya pendidikan khusus anak yang kemudian disebut Bustanul Athfal, yang dirintis, oleh, salah satunya, putri Kiai Sangidu.

Dialah Siti Umniyah binti Kiai Sangidu, salah seorang perintis Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal, lebih masyhur dengan nama TK ABA.

Siti Umniyah

Siti Umniyah lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 29 Agustus 1905 (H.A. Basuni, 1972). Umniyah putri Kiai Sangidu dari istrinya, Siti Jauhariyah (putri KH. Sholeh, kakak ipar KH. Ahmad Dahlan). Dari pernikahannya ini, keduanya dikaruniai tujuh anak: Umniyah, Darim, Wardan, Janah, Jundi, Burhanah, dan War’iyah.

Umniyah, termasuk murid perempuan yang langsung mendapat didikan dari Kiai Ahmad Dahlan. Pendiri Muhammadiyah ini pula yang menyuruhnya mengenakan kerudung. Saat itu, tak banyak perempuan di Kauman memakai kerudung.

Umniyah berkerudung memakai kain songket khas Kauman, dengan bordir motif bunga di samping tengah, sehingga terlihat apik begitu dipakai, bordir bunga akan menghias tepat di ujung depan sepanjang garis muka.

Baca juga:  Kisah Kuil Amun dan Alexander the Great 

Pada tahun 1913, Kiai Ahmad Dahlan berhasil menyakinkan tiga gadis Kauman untuk menuntut ilmu di Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Mereka adalah Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah (ada tidak bayi perempuan milenial Muhammadiyah hari ini memakai nama “Siti”?).

Selain memasukkan tiga gadis Kauman ke sekolah umum, Kiai Ahmad Dahlan juga mengelola Madrasah Diniyah Ibtidaiyah di rumahnya. Di antara murid-murid pertama Madrasah Diniyah Ibtidaiyah adalah Siti Munjiyah dan Siti Umniyah.

Kelak, Munjiyah yang notabene lulusan Madrasah Diniyah Ibtidaiyah pada tahun 1929 berhasil mengharumkan nama Muhammadiyah (Aisyiyah) dalam momentum Kongres Perempuan pertama di Mataram (Yogyakarta). Sedangkan Umniyah berkiprah di internal Muhammadiyah, khususnya lewat organisasi Aisyiyah yang diawali dari kiprahnya di Siswo Proyo Wanito (cikal bakal Nasyi’atul Aisyiyah).

Selain Siti Munjiyah, saudara kandung Haji Fachrodin, Siti Umniyah mendapat gemblengan langsung di sekolah agama yang dirintis Kiai Ahmad Dahlan. Sementara gadis-gadis di Kauman yang lain, seperti Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Wadingah, dimasukkan ke Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Baik yang bersekolah umum (Sekolah Netral), atau sekolah agama (Madrasah Diniyah), dimaksudkan untuk saling melengkapi dalam proses kaderisasi oleh Kiai Ahmad Dahlan.

Tiga tahun rampung dari Madrasah Diniyah, Umniyah melanjutkan ke “Al-Qismul Arqa”, sekolah yang dimaksudkan untuk melatih kader mubalig dan guru agama Muhammadiyah. Jumlah murid Al-Qismul Arqa tak banyak, hanya 10 orang (6 laki-laki 4 perempuan). Mereka adalah tamatan Madrasah Diniyah dan Sekolah Standar di Suronatan.

Baca juga:  Belajar Hidup Rukun dari Masyarakat Suku Baduy

Umniyah termasuk satu dari empat murid perempuan yang berhasil menamatkan pendidikannya di Al-Qismul Arqa pada tahun 1924, sekalipun dengan kondisi susah payah karena menikah dan dalam kondisi sedang mengandung putra sulungnya. Sedangkan tiga murid perempuan lainnya berhenti sekolah begitu menikah dan punya anak (H. Mh. Mawardi, 1978).

Setamat Al-Qismul Arqa, Siti Umniyah menjadi guru di Kweekschool Muhammadiyah (bagian putri)—di kemudian hari menjadi Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta—sampai tahun 1954. Ia termasuk guru generasi awal Mu’allimat.

Mulai tahun 1940, ia membuka asrama di rumahnya, tetapi sempat terhenti ketika agresi militer II Belanda, dan asrama kembali dibuka setelah situasi memungkinkan.

Merintis TK ABA

Hasil proses kaderisasi Kiai Dahlan pada diri Siti Umniyah dapat dilihat dalam kiprahnya di Siswa Praja Wanita (SPW) yang kemudian berubah menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (1931). Siti Umniyah bersama Siti Wasilah, Siti Zuchrijah, Siti Sa’adah, Siti Djalalah, dan beberapa teman lainnya membangun dan menggerakkan Siswa Praja Wanita.

SPW adalah kumpulan remaja putri oleh anak-anak perempuan di Kauman. Dibangun tahun 1919 (lihat Taman Nasjiah, no. 3, Th. II, September 1940), dengan kegiatan-kegiatan seperti berpidato, mengaji, berkumpul, berjemaah sembahyang Subuh, serta beberapa kegiatan lain.

Siti Wasilah terpilih sebagai pimpinan pertama SPW. Namun, baru lima bulan menjadi pimpinan SPW, Siti Wasilah kemudian undur diri karena menikah dengan R.H. Hadjid.

Baca juga:  SALAM, Pesantren Tradisional, dan Kehadiran Negara

Setelah Siti Wasilah Hadjid undur diri dari kepemimpinan SPW, Siti Umniyah yang melanjutkan estafet kepemimpinan. Di bawah kepemimpinan Umniyah, markas SPW dipindah dari musala Aisyiyah ke rumahnya, di nDalem Pengulon.

Kegiatan-kegiatan SPW semakin berkembang, bahkan di bawah kepemimpinan Umniyah dibentuk departemen meliputi Thalabussa’adah, Tajmilul Akhlak, dan Dirasatul Banat. Dari divisi Dirasatul Banat inilah, Umniyah dan kawan-kawan menginisiasi program pendidikan untuk anak-anak usia dini—yang kemudian dikenal dengan Bustanul Athfal (Frobel School).

Pada awalnya, Bustanul Athfal bertempat di rumah Siti Umniyah, tepatnya di muka rumahnya, lalu berpindah ke belakang rumah, satu tempat dengan markas SPW. Sekolah Bustanul Athfal yang tadinya berlangsung sore hari, diubah menjadi pagi hari.

Awalnya, Sekolah Bustanul Athfal juga bertempat di rumah Siti Umniyah, tepatnya di muka rumah, lalu berpindah ke belakang rumah, satu tempat dengan markas SPW. Sekolah Bustanul Athfal yang tadinya berlangsung sore hari, diubah menjadi pagi hari.

Cukup lama Umniyah memimpin SPW, baru sekitar tahun 1929, atau hampir 10 tahun dari berdirinya SPW, Zoechrijah menggantikannya menjadi pimpinan SPW.

Mengutip majalah Taman Nasjiah nomor 3 tahun II, September 1940, di bawah kepemimpinan Siti Umniyah, “SPW makin lama makin bertambah maju sehingga mempunyai tambahan gerakan, ialah Tholabussa’adah, Tajmilul Achlaq, dan Dirasatul Banat, kemudian dapat mendirikan pula sekolahan Bustaanul Athfaal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top