Pada tahun 1913, tiga gadis yang mengawali tradisi baru di kampung Kauman dengan cara melanjutkan studi ke sekolah netral ialah Siti Bariyah, Siti Wadingah, dan Siti Dawimah. Keberhasilan tiga gadis Kauman ini dalam menuntut ilmu di sekolah umum kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya, yaitu Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Hayinah, dan Siti Badilah (Ahmad Adaby Darban, 2000: 47).
Empat tahun kemudian (1917), gadis-gadis Kauman yang telah mendapat pendidikan umum tergugah kesadaran mereka untuk merintis pergerakan perempuan Islam.
Dalam sebuah pertemuan dengan jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah yang diselenggarakan pada tahun 1917, para gadis Kauman tersebut mengajukan usul pembentukan organisasi perempuan.
Mereka mendiskusikan dengan para tokoh Muhammadiyah dalam rangka pembentukan sebuah organisasi yang mewadahi aspirasi kaum perempuan di Muhammadiyah (Baca “Tarich Moehammadijah dan ‘Aisjijah.” Soeara ‘Aisjijah no. 10 Tahun XV/Oktober 1940). Di antara para gadis Kauman yang hadir dalam pertemuan penting tersebut adalah Siti Badilah.
Siti Badilah
Siti Badilah lahir di Yogyakarta pada tahun 1904. Dia termasuk salah satu dari 6 murid perempuan Kiai Ahmad Dahlan yang disiapkan sebagai kader-kader pimpinan perempuan Islam.
Mereka inilah murid-murid lulusan Sekolah Netral yang pada sore harinya dikumpulkan oleh Kiai Dahlan untuk digembleng dengan pelajaraan keagamaan lewat kursus singkat. Kursus singkat membaca Alquran inilah yang kemudian berkembang menjadi perkumpulan Sapa Tresna.
Selain mengasai ilmu-ilmu agama, ternyata Kiai Ahmad Dahlan seorang pendidik yang humanis. Di rumahnya disediakan berbagai macam alat permainan untuk anak-anak. Selama belajar dan mengaji di rumah Kiai Dahlan, anak-anak dipersilahkan menyalurkan bakat dan hobi masing-masing, misalnya menyanyi, bermain musik, mengarang, dan menggambar.
Namun, Kiai Dahlan berpesan, jika waktu salat tiba, seluruh kegiatan bermain harus dihentikan.
Karakter Kiai Ahmad Dahlan sebagai seorang guru yang humanis juga tampak dalam proses pengaji atau belajar. Beliau sangat memperhatikan anak-anak muda, terutama mereka yang memiliki karakter ngeyelan (kritis).
Menurutnya, karakter ngeyel dipandang sebagai potensi kejiwaan yang positif. Dalam suasana pengajian yang kritis didampingi oleh seorang guru atau kiai yang humanis seperti itulah Siti Badilah mendapatkan pelajaran agama.
Selain pendidikan di “sekolah netral”, Siti Badilah mendapat pendidikan di MULO. Dalam wawancara dengan Suara Muhammadiyah no. 13 tahun ke-59/1979, Siti Badilah mengaku bahwa di samping mendapat didikan langsung dari Kiai Ahmad Dahlan, beliau juga mendapat didikan dari guru-guru di MULO yang dikenal progresif.
”Guru-guru pada masa itu betul-betul ahli sehingga segala pelajaran yang diberikan benar-benar terikat di otak para pelajar”, kata Badilah Zubair. “Hingga sekarang, semua pelajaran yang diberikan ketika saya mula-mula sekali masuk MULO masih terbayang jelas dan melekat di ingatan saya,” kesannya.
Selama belajar di MULO, Badilah dikenal sebagai siswi pemberani. Menurut penuturannya, semasa masih sekolah di MULO, pernah Badilah mendapat nilai jelek. Mengapa?
Karena setiap murid diajarkan bagaimana mendapatkan hak-haknya selama belajar, Badilah memberanikan diri menanyakan perihal nilai raportnya yang jelek.
Badilah merasa aktif mengikuti proses belajar dan dalam setiap ulangan selalu mendapat nilai bagus. Setelah sang guru memeriksa kembali catatan-catatan nilai Badilah, ternyata benar bahwa telah terjadi kekeliruan dalam penulisan nilai di raportnya.
Usia Siti Badilah terpaut satu tahun lebih muda dibanding Siti Aisyah, putri Kiai Dahlan. Sejak muda hingga memasuki usia senja, Badilah tetap gemar membaca dan berdakwah. Berbeda dengan Siti Aisyah, Badilah memiliki mata yang awas, sehingga tidak memakai kaca mata minus hingga usia senja, meskipun memiliki hobi membaca.
Setamat dari MULO, Siti Badilah sering mendapat tugas dari Kiai Ahmad Dahlan untuk bertabligh di kalangan kaum terpelajar. Siti Badilah sering ditugasi bertablig di Kweekschool, baik di Yogyakarta maupun di luar kota.
Konon, sebelum bertablig, Badilah selalu mempersiapkan materi pengajian dengan membaca buku dan ensiklopedi, baik yang menggunakan bahasa Belanda maupun bahasa Inggris.
Peran di Aisyiyah
Siti Badilah termasuk salah satu di antara gadis-gadis Kauman yang menghadiri pertemuan sewaktu HB Muhammadiyah membentuk bahagian ’Asiyiyah pada 1917. Bahkan, dalam pembentukan struktur HB Aisyiyah pertama, Siti Badilah tercatat sebagai penulis (secretaris) (Soeara ’Aisjijah, no. 6/7 Ag/Sept 1953 Dz. Hidj/Muharam 1372 Th. XVIII).
Adapun ketuanya dipercayakan kepada Siti Bariyah. Pada tahun 1926, ketika HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah memutuskan untuk menerbitkan majalah Soeara ’Aisjijah, Siti Badilah termasuk di antara empat jajaran redaksi pertama bersama Siti Juhainah (pimred), Siti Aisjah, dan Siti Jalalah (baca “Riwajat Soeara ‘Aisjijah.” Soeara ‘Aisjijah no. 10 tahun 1940).
Dalam kongres perempuan pertama di Mataram (Yogyakarta) pada tahun 1928, Badilah memang tidak masuk dalam struktur panitia penyelenggara. Akan tetapi, dia bersama utusan HB Aisyiyah ikut sebagai undangan atau anggota kongres. Sekalipun tidak terlibat dalam turut dalam kepanitian kongres perempuan pertama kali di tanah air ini, tetapi Badilah dan jajaran HB Aisyiyah turut menyukseskan kongres yang dinilai sukses oleh pemerintah kolonial pada waktu itu.
Siti Badilah berkali-kali terlibat dalam struktur Aisyiyah, bahkan sejak kepemimpinan Siti Bariyah (1917-1920) pun dia sudah terlibat aktif dalam jajaran HB Muhammadiyah bahagian Aisyiyah.
Dalam kongres Muhammadiyah ke-29 di Yogyakarta (1941), Badilah mendapat amanat sebagai ketua Majelis Aisyiyah untuk periode 1941-1943 (Soeara Moehammadijah no. 5 Th ke XXIII/Dj. Awal 1360 (Juni 1941).“Keputusan Muktamar Muhammadijah ke-31 di Yogyakarta tahun 1951 memilih dan menetapkan Siti Badilah sebagai ketua Aisyiyah untuk periode 1951-1953. Muktamar Muhammadiyah di Purwokerto pada tahun 1953 kembali memilih Siti Badilah sebagai ketua Aisyiyah.
Sekalipun sudah tidak menjabat sebagai pimpinan di Aisyiyah, Badilah tetap semangat berjuang di Muhammadiyah. Semangatnya terinspirasi dari para tokoh perintis Muhammadiyah yang berani mengorbankan segala-galanya.
”Orang-orang Muhammadiyah tidak hanya merelakan harta benda dan waktunya untuk muhammadiyah, tetapi dirinya juga direlakan. Seorang bapak mengorbankan seluruh waktunya untuk Muhammadiyah dan si ibu berjuang memenuhi keperluan hidup rumah tangga. Sebaliknya, bila ibu yang berdakwah untuk Muhammadiyah, maka si bapak yang mencukupi segala keperluan rumah tangga, ” kata Badilah Zubair bersemangat.
Suami Siti Badilah, H. Zubair, adalah misan dari Kiai Ahmad Dahlan. Anak-anak Siti Badilah Zubair empat orang: Zahanah, Baroidah (meninggal dunia dalam usia delapan belas bulan), Wusthon (pensiunan ABRI dengan pangkat Mayor yang aktif sejak masa PETA), dan Arshan yang gugur ketika pendudukan Belanda di Yogyakarta.