Sedang Membaca
Inilah Sejarah Muhammadiyah dalam Keindonesiaan
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Inilah Sejarah Muhammadiyah dalam Keindonesiaan

Sungguh keliru jika menganggap Muhammadiyah tak memiliki sense of nationalism. Muhammadiyah lahir 33 tahun sebelum negeri ini terbentuk. Sejak berdiri (18 November 1912), Muhammadiyah sudah mengusung visi persatuan bagi kaum bumiputra. Selama 33 tahun, jauh sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah sudah turut andil menggagas konsep persatuan bangsa yang merdeka dan bermartabat. Bahkan, sejak tahun 1925, organisasi ini telah mengenalkan istilah “Indonesia” untuk mengganti nama “Hindia-Belanda.”

Tetapi memang di kalangan warga Muhammadiyah sendiri muncul fenomena a-historis terhadap sejarahnya sendiri, sehingga seakan-akan organisasi ini tampak independen, tak bersentuhan langsung dengan proses membangun nasionalisme keindonesiaan.

Persatuan Bumiputra

Sejak Boedi Oetomo berdiri (20 Mei 1908), KH Ahmad Dahlan sudah tergerak untuk membentuk sebuah perkumpulan yang bercita-cita menyatukan umat Islam bumiputra. Boedi Oetomo organisasi bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme, sekalipun ruang lingkupnya masih terbatas (Jawa dan Madura). Atas jasa Mas Djojosoemarto, pendiri Muhammadiyah ini bergabung dalam organisasi intelektual bumiputra pertama yang mengusung nasionalisme.

Di mata KH Ahmad Dahlan, ikhtiar Boedi Oetomo memajukan kaum bumiputra menggunakan jalur pengajaran memang cukup mengesankan. Akan tetapi, pendiri Muhammadiyah ini menghendaki sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih luas, yaitu umat Islam di seantero Hindia-Belanda.

Pada tahun 1911, dalam pertemuan di Langgar Duwur, KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya mendiskusikan rencana pembentukan perkumpulan yang di kemudian hari dikenal dengan nama Muhammadiyah. Nama gerakan ini pertama kali diusulkan oleh Kiyai Sangidu. Pada akhir Desember 1912, perkumpulan ini dideklarasikan di Loodgebow Malioboro (sekarang gedung DPRD DIY).

Dalam artikel ”Tali Pengikat Hidup Manusia” (Album Muhammadiyah Tahun 1923), KH Ahmad Dahlan menyadari akan pentingnya persatuan umat manusia. Menurutnya, latarbelakang persatuan manusia disebabkan oleh dua faktor, yaitu persamaan sebagai keturunan Nabi Adam dan kebersamaan sebagai makhluk yang hidup di dunia. Sebagai keturunan Nabi Adam, sesungguhnya semua manusia sedarah dan sedaging. Sebagai makhluk yang hidup di dunia, sesungguhnya setiap manusia butuh kebersamaan dengan yang lain. Dua faktor fundamental inilah yang mengikat manusia untuk hidup bersatu dalam kebersamaan harmonis.

Baca juga:  Doa Neno Warisman dan Politisasi Nabi

Persatuan manusia, khususnya kaum bumiputra, merupakan gagasan utama KH Ahmad Dahlan dalam upaya meraih hidup merdeka dan bermartabat. Dokumen Soewara Moehammadijah nomor 1 tahun 1922 memuat sebuah artikel penting dengan judul ”Kamardikan.” Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa-Melayu mengulas makna ”kebebasan manusia” ini dimuat beberapa bulan sebelum KH Ahmad Dahlan meninggal dunia (Jum’at 23 Februari 1923).

Gagasan ”kamardikan” (kemerdekaan) di sini memang belum mengisyaratkan arti kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Sebab, gagasan ini memang ditujukan kepada individu-individu (pembaca Soewara Moehammadijah) agar menyadari bahwa kolonialisme Belanda telah merenggut makna kemerdekaan hakiki yang dimiliki setiap orang. Dengan demikian, makna kemerdekaan di sini baru sebatas kebebasan tiap individu untuk hidup mandiri secara bermartabat.

Namun demikian, gagasan ini cukup efektif untuk mempengaruhi kesadaran kolektif kaum bumiputra sebagai kelompok manusia dalam jumlah besar agar dapat hidup merdeka dan bermartabat. Proses ini jelas membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi jika kesadaran ini telah terbentuk, maka kaum bumiputra akan bangkit untuk merebut kembali kehidupan yang merdeka dan bermartabat.

Gagasan Nasionalisme

Dalam proses menuju kemerdekaan, sebuah bangsa akan terus melakukan proses identifikasi diri. Sebuah dokumen penting cukup menyadarkan warga Muhammadiyah, bahwa sejak awal tahun 1925, pada cover Soeara Moehammadijah (bandingkan dengan ejaan dokumen tahun 1922) nomor 1 tahun 1925 telah menggunakan istilah ”Indonesia” untuk mengganti nama ”Hindia-Belanda.” Tokoh yang memiliki andil besar dalam penggunaan istilah baru ini adalah Soemodirdjo, kepala redaksi (hoofdredacteur) Soeara Moehammadijah pasca kepemimpinan Haji Fachrodin (1922-1924).

Baca juga:  Priayisasi Sejarah: Catatan atas Problematik Pelajaran Sejarah

Soemodirdjo memang telah mengenalkan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda. Dia juga telah menulis sebuah artikel penting dengan judul, ”Anak Indonesia, Awas” (no. 1 tahun 1925). Tetapi penggunaan istilah baru ini memang belum konsisten dalam penerbitan Soeara Moehammadijah tahun 1925. Mengapa?

Sebab, beberapa artikel di dalam majalah ini masih sering menggunakan istilah Hindia-Belanda atau Hindia-Nederland. Tetapi Soemodirdjo telah mengawali proses identifikasi bangsa ini dengan menggunakan nama yang kemudian dikukuhkan dalam momentum Sumpah Pemuda pada 1928.

Memasuki periode kepemimpinan KH Mas Mansur (1938–1940), Muhammadiyah melakukan langkah-langkah strategis yang cukup mendukung bagi proses pembentukan nasionalisme keindonesiaan. KH Mas Mansur tegas menentang kebijakan Ordonasi Guru dan pencatatan perkawinan oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1937, lewat congres XXVI, Muhammadiyah mencanangkan program perbaikan ekonomi bagi kaum bumiputra. Lewat kebijakan ini, KH Mas Mansur menghendaki agar bangsa Indonesia kuat dan mandiri secara ekonomi.

Di bawah kepemimpinan KH Mas Mansur pula, Muhammadiyah menentang kebijakan Ordonansi Sidang dan mengganti semua istilah Hindia-Belanda dengan bahasa Indonesia (Melayu). Pada congres XXVIII di Medan (1939), sekitar 11 tahun pasca peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Muhammadiyah mendukung gerakan kebangkitan nasional yang dipelopori oleh kaum muda di tanah air dalam menggunakan bahasa nasional.

Baca juga:  Polemik Ulama dan Khalifah (3): Imam Abu Hanifah dan Khalifah Abu Ja'far al-Manshur

Menjelang kemerdekaan (1942), Muhammadiyah kembali memainkan peran aktif dalam politik kebangsaan, khususnya pada periode kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo, adik kandung Haji Fachrodin (pahlawan nasional). Peran Ki Bagus Hadikusuma dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) cukup besar ketika merumuskan Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar (UUD).

Pada mulanya, Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat getol memperjuangkan Islam dalam konstitusi negara. Menurut HS. Prodjokusumo (1983), peran Mr. Kasman Singodimejo, juga tokoh Muhammadiyah, sangat besar dalam membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi persatuan bangsa.

Sejak tahun 1908 atau sekitar 37 tahun sebelum bangsa ini mengenal konsep nasionalisme keindonesiaan, KH Ahmad Dahlan telah menggagas perkumpulan yang akan menyatukan umat Islam setelah dia bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo. Sejak tahun 1925 atau sekitar 85 tahun sebelum bangsa ini mengidentifikasi dirinya, Muhammadiyah sudah menggunakan istilah Indonesia untuk mengganti nama Hindia-Belanda.

Secara resmi, berdasarkan keputusan congres XXVIII di Medan (1939), Muhammadiyah telah mendukung gerakan kebangkitan nasional. Bahkan, dalam proses kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah telah melibatkan dua tokohnya memperjuangkan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia.

Sampai sejauh ini, jika masih ada pendapat bahwa Muhammadiyah tidak turut andil dalam proses membangun nasionalisme keindonesiaan, maka itu suatu penilaian yang a-historis! Jika warga Muhammadiyah sendiri tak memiliki sense of nationalism, maka itu suatu gejala amnesia sejarah!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top