Sedang Membaca
Kisah Kiai Ahmad Badawi Marah pada Bung Karno
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kisah Kiai Ahmad Badawi Marah pada Bung Karno

Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah digelar di Jakarta pada tahun 1962. Terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah KH Ahmad Badawi untuk periode 1962-1965. Inilah masa-masa sulit bagi Muhammadiyah ketika berhubungan dengan rezim kekuasaan pada waktu itu. Mengapa?

Sebab, tiga tahun sebelumnya, partai Masyumi—yang dilahirkan dari rahim persyarikatan—telah dibubarkan oleh Bung Karno (Penetapan Presiden No. 7/1959). Di sinilah kepemimpinan KH Ahmad Badawi diuji. Siapa sosok Kiai Ahmad Badawi?

Pada mulanya, Ahmad Badawi bukanlah murid ideologis Kiai Ahmad Dahlan, juga bukan aktivis atau simpatisan Muhammadiyah. Namun keduanya memiliki huhungan kekerabatan dekat, Kiai Ahmad Dahlan adalah sang paman. Hubungan inilah yang menyebabkan ia tergerak untuk aktif di organisasi rintisan sang pamannya. Karena itu pula, Badawi sudah aktif sejak Muhammadiyah dirintis. (Jw. Wak).

Konon, ketika KH Ahmad Dahlan sedang sakit, Ahmad Badawi, sang keponakan, menjenguknya. “Mana jang diderita dan semoga lekas sembuh,” doa sang keponakan kepada pamannya.

“Jang kuderita ialah memikirkan Muhammadijah. Kenapa seperti kau belum suka turut dan masuk Muhammadijah?” keluh sang paman kepada keponakannya.

Pada saat itulah, Ahmad Badawi menyatakan sudah masuk dan aktif di Muhammadiyah, tercatat dalam stambook sebagai anggota nomor 8.543. Mendengar kabar tersebut, KH Ahmad Dahlan langsung menunjukkan ekspresi kegirangannya (Yunus Anis, 1971: 25).

Ahmad Badawi lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 5 Februari 1902 (HM Yunus Anis, 1971: 24).

Ia salah satu putra KH Muhammad Fakih—tokoh yang namanya tercantum dalam struktur Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pertama. Dalam besluit rechtpersoon Muhammadiyah 1912 terdapat nama yang tertulis “M. Tjarik M.H. Fakih,” komisaris HB Muhammadiyah pertama. Kiai Fakih menikah dengan Siti Habibah, adik kandung KH Ahmad Dahlan. Dengan demikian, Ahmad Badawi adalah keponakan dekat sang pendiri Muhammadiyah.

Pada tahun 1908-1913, Ahmad Badawi belajar di Pesantren Lerap, Karanganyar, untuk mengenal Ilmu Nahwu dan Sharaf. Dalam catatan Yunus Anis (1971: 27), Ahmad Badawi kecil rupanya pernah mengaji kepada KH Ibrahim, adik ipar KH Ahmad Dahlan yang dikenal mumpuni dalam bidang agama Islam.

Baca juga:  Mengenal Baharthah: Sang Saudagar Kitab

Pada sekitar 1913-1915, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Termas, Pacitan, untuk memperdalam Ilmu Nahwu, Sharaf, dan seni menulis Arab indah (kaligrafi). Dari Pesantren Tremas, Badawi muda melanjutkan pendidikannya di Pesantren Besuk, Wangkal, Pasuruhan pada sekitar 1915-1920.

Terakhir, ia melanjutkan belajar agama di Pesantren Kauman dan Pandean, Semarang pada 1920-1921. Pada masanya, nama-nama institusi pendidikan Islam tempat belajar Ahmad Badawi sangat populer karena kualitasnya.

Karir Ahmad Badawi di Muhammadiyah dimulai sejak 1926, ketika ia masuk Bagian Tabligh HB Muhammadiyah. Sambil berdakwah, ia mengajar di Madrasah Muallimin dan Muallimat (dulu Kweekschool Muhammadiyah dan Kweekschool Isteri), dan aktif menggerakkan literasi lewat Bagian Taman Pustaka. Ia juga aktif di Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Sampai memasuki masa pendudukan Jepang, Ahmad Badawi tercatat sebagai salah seorang milisi yang bergabung dalam Hizbullah.

Terhitung mulai tahun 1942-1945, Kyai Badawi menjadi pembantu Syu-Mu-Ka. Ia juga tercatat sebagai pengurus Asjkar Perang Sabil (APS), angkatan perang yang dibentuk dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan tantara Belanda (Agresi Militer Belanda II).

Memasuki fase Orde Lama, kiprah Ahmad Badawi di Muhammadiyah maupun di pemerintahan sangat strategis. Ia menjabat sebagai Penasehat Kementerian Agama pada tahun 1946-1947.

Dalam Muktamar Setengah Abad di Jakarta (1962), Kiai Badawi mendapat amanat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Setahun menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (1963), ia kemudian diangkat sebagai penasehat pribadi Presiden Soekarno untuk urusan bidang agama.

Marah kepada Bung Karno
Kiai Badawi menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sekitar tiga tahun pasca pembubaran Partai Masyumi. Perubahan peta politik di parlemen dan kebijakan politik NASAKOM menyebabkan kekuatan umat Islam semakin lemah. Proses pelemahan kekuatan politik umat Islam justru dilakukan secara struktural-politik dengan cara membungkam ormas-ormas Islam yang kritis. Puncaknya ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno.

Baca juga:  Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Ulama Muhammadiyah Wafat di Usia 63 Tahun

Hubungan antara Muhammadiyah dengan Partai Masyumi sangat dekat. Sebab, partai ini memang lahir dari rahim Persyarikatan Muhammadiyah.

Ketika Partai Masyumi berhasil dibubarkan, muncul desakan kuat agar Muhammadiyah juga dibubarkan. Organisasi kemahasiswaan kritis pada waktu itu tidak luput dari bidikan rezim NASAKOM.

Pada November 1965, PP Muhammadiyah melayangkan surat kepada Bung Karno yang berisi permohonan agar Muhammadiyah diberi wewenang membentuk partai politik baru pasca pembubaran Partai Masyumi. Namun Bung Karno berdalih selalu sibuk, tidak sempat membaca surat PP Muhammadiyah.

Kiai Badawi selaku Penasehat Presiden terus mengawal surat tersebut sampai pada titik akhir batas kesabarannya, ia bersikap tegas.

“Bacalah Bung! Tidak akan makan waktu lebih dari lima menit!” kata Kiai Badawi kepada Bung Karno dengan keras.

Akhirnya, sang presiden pun membaca surat PP Muhammadiyah sampai selesai (Djarnawi Hadikusuma, 1971: 40).

Selain memperjuangkan Muhammadiyah dan ormas-ormas lain supaya tidak dibubarkan oleh pemerintah, Kiai Badawi juga sangat getol menyelamatkan organisasi Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang diambil alih oleh kelompok sosialis dan komunis lewat Kementerian Transmigrasi dan Koperasi (Transkop) pada waktu itu.

HA Djoenaidi, Ketua GKBI pada waktu itu, memberikan kesaksian ketika Kiai Badawi tanpa pamrih memperjuangkan organisasi umat Islam dari serangan kelompok kiri ini.

“Umat Islam Indonesia tidak meragukan lagi, bahwa Bapak KHA Badawi selama hajatnja dikenal sebagai seorang tokoh dan pedjuang di dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, bai di bidang organisasi jang dipimpin beliau maupun di lapangan sosial dan ekonomi, termasuk lapangan usaha jang mendjadi sendi kehidupan dan perekonomian bangsa Indonesia dengan wadah KOPERASI…,” tulisnya (1971: 8).

Djoenaidi mengisahkan konflik antara GKBI dengan kelompok sosialis dan komunis, “Bagi GKBI sedjak mulai berdirinja sampai sekarang pun tetap menganut prinsip2 dan landasan koperasi jang wadjar, jakni non politik dan non religious. Kalaupun GKBI banjak mengeluarkan dana2 dan zakat hal ini adalah sesuai dengan Anggaran Dasarnja dan sebagian besar anggota2nja terdiri dari orang2 atau pengusaha2 pembatikan jang beragama Islam, sehingga aktipitas di bidang usaha dan sosialnja pun dilandasi pada adjaran Islam. Oleh karena prinsip2 jang dianut oleh GKBI inilah, akibatnja pengusaha Orde Lama PKI beserta antek2nja mengobrak abrik GKBI jang pada bulan September 1965 ex.”

Baca juga:  Mewaspadai Gerakan Delegitimasi Konstitusi

Kiai Badawi mengawal kasus GKBI agar sampai didengar oleh Bung Karno. Maka pada hari Kamis pukul 12.00 di istana negara, Bung Karno, Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Achadi), HA Djoenaidi (perwakilan pengurus GKBI), Kiai Badawi, disaksikan Dasa’ad (anggota DPA), bertemu membahas masa depan GKBI. Bung Karno menjanjikan penyelesaian kasus GKBI selesai dalam seminggu. Setelah pertemuan membahas kasus GKBI ini, pada malamnya meletus G30 S/PKI (HA Djoenaidi, 1971: 9).

Itulah sekelumit jalan dakwah Kiai Badawi. Setelah purna tugas dari pemerintahan (jabatan terakhir sebagai anggota DPA RI), Kiai Badawi kembali ke Muhammadiyah. Sekalipun sering sakit-sakitan di akhir hayatnya, tetapi Kiai Badawi masih tetap melanjutkan tugas berdakwah. Posisi terakhir Kiai Badawi di PP Muhammadiyah ketika ia menjabat sebagai Penasehat.

Pada hari Jumat tanggal 25 April 1969, tepatnya pukul 09.25 WIB, Kiai Badawi meninggal dunia di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam usia 67 tahun.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top