Sedang Membaca
Keistimewaan Siti Bariyah, Ketua ‘Aisyiyah Pertama (2, Bagian Akhir)
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Keistimewaan Siti Bariyah, Ketua ‘Aisyiyah Pertama (2, Bagian Akhir)

Sebab, temuan terbaru berdasarkan penelusuran dokumentasi Soewara Moehammadijah tahun 1923, justru pemikiran ideologis pertama di Muhammadiyah digagas oleh seorang intelektual perempuan bernama Siti Bariyah.

Ia telah mendapat otoritas untuk memberikan tafsiran terhadap rechtpersoon Muhammadiyah pada masa kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1933). Berdasarkan hasil analisis terhadap dokumen Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923 pada artikel “Tafsir Maksoed Moehammadijah” yang ditulis Siti Bariyah telah ditemukan gugus pemikiran ideologis jauh sebelum Mas Mansur melahirkan buah pemikiran Tafsir Langkah Muhammadiyah.

Apa yang ditulis Bariyah lebih dari sekedar gagasan pribadi, tetapi sebuah upaya memaknai konsep-konsep umum sebagaimana tertuang dalam rechtpersoon (badan hukum) Muhammadiyah yang terdiri atas ’artikel-artikel’ (pasal-pasal) yang membutuhkan penjelasan lebih rinci.

Biasanya kewenangan untuk menafsirkan maksud dari pasal-pasal dalam anggaran dasar diberikan kepada sebuah tim khusus atau seseorang yang memang telah diakui kapasitas intelektualnya.

Pada masa kepemimpinan KH Ibrahim banyak intelektual di HB Muhammadiyah, tetapi sosok Bariyah justru yang dipercaya untuk memberikan tafsiran ideologis atas tujuan persyarikatan.

Pemikiran ideologis Bariyah tampak ketika ia memberikan tafsiran terhadap tujuan Muhammadiyah. Dalam rechtpersoon Muhammadiyah (artikel 2) disebutkan: ”Hadjat perserikatan itoe: a. Memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama Islam di seloeroeh Hindia-Nederland.”

Di sinilah pemikiran subjektif Bariyah mulai tampak ketika memberikan penafsiran atas konsep ”memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran agama.

Menurutnya, tujuan didirikan persyarikatan Muhammadiyah untuk mengatur, membesarkan, dan memajukan pengajaran agama Islam di Hindia-Belanda dengan sistem modern atau ”berkemadjoean.” Karena istilah ”kemadjoean” sering diiringi dengan penjelasan ”setjara jaman sekarang.”

Baca juga:  Wasiat Terakhir Gus Sholah untuk NU

Dalam pandangan Muhammadiyah, di kalangan umat Islam di Hindia-Belanda belum ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam menggunakan sistem dan metode yang sesuai zaman berkemajuan.

”…pada saat ini, beloemlah ada kaoem Islam jang bekerdja kepada agama Islam dan pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean,” tulis Bariyah.

Menurut Bariyah, umat Islam terbelakang dan bodoh karena sistem dan metode pengajaran agama yang tidak menyesuaikan kondisi zaman. Akibatnya, umat Islam sering menjadi hinaan dan ejekan bangsa lain, terutama bangsa pendatang. Dengan demikian, dibutuhkan upaya besar mengubah sistem dan metode pengajaran agama yang kemudian menjadi tujuan persyarikatan Muhammadiyah.

Apa yang dimaksud pengajaran agama Islam sesuai peraturan dan ”tjara menoeroet zaman kemadjoean” dalam pandangan Bariyah adalah sistem sekolah, bukan model pondok pesantren. Karena di pondok pesantren, orang hanya belajar agama tanpa menguasai ilmu pengetahuan umum yang berguna bagi kehidupan masyarakat.

Sebaliknya, di sekolahan orang hanya belajar ilmu pengetahuan umum tanpa mengasai ilmu agama yang berguna bagi kehidupan akhirat. Atas dasar inilah Bariyah menulis, ”Moehammadijah mengadjarkan agama dengan memakai tjara sekolah.”

Kita memang tidak bisa membaca pikiran Bariyah secara menyeluruh, tetapi apa yang telah diartikulasikan dalam bentuk tulisan tersebut dapat mewakili sebagian isi pikirannya. Dengan konsep mengajarkan agama Islam dengan sistem sekolah berarti ia menghendaki integrasi kurikulum yang sekaligus dapat menepis dikotomi pendidikan pada waktu itu.

Baca juga:  Penanganan Korban Kekerasan Seksual (3): Keterbatasan Psikolog dan Dokter, Siapkah Daerah Menangani Kekerasan Seksual?

Pada artikel 2 poin b ditegaskan bahwa Muhammadiyah ”memadjoekan dan menggembirakan tjara kehidupan sepanjang kemaoean agama Islam kepada lid-lidnja.” Bariyah menggunakan interpretasi subjektifnya ketika memahami pasal ini.

Menurutnya, tujuan Muhammadiyah adalah menuntun dan mengajar para anggotanya agar hidup sejalan dengan prinsip-prinsip dalam agama Islam. ”…maksoed persarikatan Moehammadijah hendak mengatoer dan membesarkan atau menoendjoekan kebaikan kehidoepan lid-lidnja menoeroet sepandjang kemaoean agama Islam,” tulis Bariyah.

Akan tetapi, Bariyah menegaskan bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melewati proses bimbingan dan belajar berdasarkan tuntunan Islam agar dapat berinteraksi antara sesama anggota maupun antara sesama manusia.

Di sini tampak jelas bahwa visi kemanusiaan universal dalam pikiran Bariyah sudah melampaui zamannya. Bahwa menjadi anggota Muhammadiyah adalah melalui proses bimbingan dan belajar agar menjadi muslim kafah.

Muslim kafah bukan hanya dapat berinteraksi antara sesama muslim, tetapi seluruh umat manusia tanpa mengenal latar belakang kelompok, etnis, dan agama.

Pengusaha Batik

Siti Bariyah menikah dengan Muhammad Wasim, seorang anggota atau keturunan dari masyarakat Kauman. Salah satu karakteristik masyarakat Kauman adalah masyarakat endogami, masyarakat yang terbentuk lewat perkawinan antarkeluarga atau klan (Darban, 2000: 1-6).

Sebagai anggota masyarakat Kauman, Siti Bariyah juga menikah dengan seorang keturunan anggota masyarakat Kauman. Dalam catatan silsilah Bani Hasyim, Siti Bariyah diketahui menikah dengan Muhammad Wasim bin K.H. Ibrahim (President HB Muhammadiyah 1923-1932). KH. Ibrahim putra Penghulu KH. Muhammad Fadhil. Dia saudara kandung Siti Walidah atau adik ipar Kiai Ahmad Dahlan (Suratmin, 2005: 13).

Baca juga:  Bab Fikih Pergundikan: Dikaji tapi Disepelekan Pesantren

Setelah menikah, KH. Ibrahim menetap di kampung Ngadiwinatan dan menekuni profesi sebagai juragan batik. Dengan demikian, anak-anak KH. Ibrahim termasuk keturunan warga Kauman.

Sumber-sumber yang menyebutkan tentang profesi Bariyah sebagai pengusaha batik memang masih perlu diverifikasi kembali. Kauman, pada awal abad ke 20, memang menjadi sentra kerajinan batik. Namun demikian, tidak semua kategori pengusaha batik adalah pembuat batik.

Jika K.H. Ibrahim adalah pengusaha batik dalam arti yang sesungguhnya, yakni pengusaha yang membuka pabrik pembuatan batik, maka Bariyah dan suaminya hanya menyediakan jasa mengetel atau menghaluskan kain dengan kanji sebelum diproses menjadi batik (Wawancara dengan Wasingah Syarbini, 10 Oktober 2010). Rumah Siti Bariyah yang menyediakan jasa pengetelan terletak di Jalan Gerjen.

Pernikahan Bariyah dengan Muhammad Wasim menurunkan tiga anak: Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad. Siti Bariyah meninggal dunia setelah melahirkan Fuad, anak ketiganya.

Setelah meninggal dunia, anak-anak Bariyah yang masih kecil diasuh oleh Siti Munjiyah, kakak kandungnya. Dalam asuhan Munjiyah inilah anak-anak Bariyah tumbuh dewasa.

Bariyah memang meninggal dunia dalam usia relatif muda, tetapi namanya telah tercatat dengan tinta emas bahwa dialah president (ketua) pertama ‘Aisyiyah dan perempuan pertama yang menjadi penafsir ideologi Muhammadiyah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top