Pasca konflik Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum, pemerintah menerapkan kebijakan menaikkan cukai rokok. Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) merespon cepat keputusan pemerintah ini, sementara Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tampak adem-adem saja.
Penulis yakin, Muhammadiyah akan mendukung rencana pemerintah ini. Apalagi salah satu instrument organisasi ini, yaitu fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, telah mengharamkan rokok. Terlepas dari pro dan kontra, penulis tidak ingin terjebak pada aksi dukung atau menolak kebijakan pemerintah.
Lewat artikel ini, penulis hanya ingin menyuguhkan sepenggal narasi historis—yang selalu dipinggirkan—tentang peran tokoh-tokoh kedua organisasi ini dalam membangkitkan perekonomian kaum bumiputra pada zaman kolonial Belanda lewat produk rokok kretek. Kehadiran perusahaan-perusahaan rokok kretek—produk yang telah menjadi heritage Indonesia—yang dimiliki para tokoh Muhammadiyah dan NU secara tidak langsung memberi andil dalam proses kebangkitan nasional.
Kebangkitan (Nasional) Ekonomi
Gerakan kebangkitan nasional pada awal abad ke-20 tidak bisa dipahami berdasarkan pendekatan politik semata. Sebab, kesadaran politik waktu itu memang dipengaruhi oleh kehadiran elit intelektual lulusan sekolah-sekolah Belanda, ditopang dengan menjamurnya media massa, dan kemandirian ekonomi kaum bumiputra. Peran elite intelektual bumiputra memang tidak dapat diabaikan sebagai ekses dari kebijakan politik etis (Robert van Niel, 2009: 102).
Namun demikian, di sinilah kita sering terjebak pada simpulan reduktif bahwa kebijakan politik etis seolah-olah hanya sebatas penyelenggaraan pendidikan bagi kaum bumiputra. Padahal, program kebijakan politik etis meliputi tiga bidang: pengairan (pertanian), pendidikan, dan pemerataan penduduk (transmigrasi). Kebijakan politik yang liberal dari pemerintah kolonial juga melahirkan kebebasan penerbitan media massa pada masanya.
Pertumbuhan media massa pada awal abad ke-20 seperti diungkapkan oleh Tirto Adhi Soerjo bagai “tjendawan jang timboel dari tanah…” (Muhidin M. Dahlan & Iswara N. Raditya (ed.), Tirto Adhi Soerjo: Karya-karya Lengkap. Jakarta, Iboekoe, 2008). Dan bangkitnya kaum pedagang bumiputra lewat organisasi Rekso Roemekso pada 16 Oktober 1905—cikal bakal Sarekat Dagang Islam (SDI)—menjadi bukti akan kemandirian ekonomi (Deliar Noer, 1996: 115 (catatan kaki no. 2).
Beberapa peneliti baik dari dalam maupun luar negeri (Indonesianis) memang telah melakukan kajian mendalam tentang arti penting komoditas tembakau pada zaman kolonial sampai menopang perekonomian kaum bumiputra pada awal abad ke-20. Akan tetapi, narasi-narasi historis tersebut memang kurang mendapat tempat atau memang sengaja dipinggirkan karena kepentingan tertentu. Dalam hal ini kita dapat menyebut beberapa hasil penelitian tentang komoditas tembakau dalam proses sejarah nasional, seperti van der Reijden (1935), Amen Budiman (1987), Karl J. Pelzer (1985), Sugijato Padmo (1999), dan Ali Marsaban, X.S.M. Ondang Nazar, Sagir Prawira Dirdja (1974). Sebagian hasil riset tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tetapi kurang dilirik oleh para peneliti.
Deliar Noer ketika meneliti gerakan-gerakan Islam modernis di tanah air pada awal abad ke-20 memang menyematkan analisis dan perspektif tentang pertumbuhan ekonomi kaum bumiputra lewat produk kain batik. Namun demikian, peneliti ini tidak menyinggung komoditas lain, terutama produk hasil pertanian yang pada waktu itu dikenal sebagai ”emas hijau”, alias tembakau.
Abdurrahman Surjomihardjo (2008) ketika meneliti sejarah sosial Kota Yogyakarta 1880-1930 memang menyebutkan bahwa perubahan sosial di kota ini tidak hanya lewat pertumbuhan sekolah-sekolah ataupun menjamurnya penerbitan surat kabar, tetapi juga lewat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dengan hadirnya produk-produk kain batik (batik handel). Tetapi peneliti ini hanya memfokuskan pada pertumbuhan industri batik di Yogyakarta pada awal abad ke-20 tanpa menjelaskan proses produksi dan distribusi tembakau yang juga telah meramaikan pasar-pasar di Yogyakarta (Surjomihardjo, 2008: 28).
Sebuah penelitian oleh S. Margana dan kawan-kawan (2014) mengangkat topik yang unik, “Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya,” yang diterbitkan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Pusat Studi Kretek Indonesia. Dengan merujuk pada laporan-laporan pemerintah kolonial Belanda, Margana menyebut komoditas tembakau sebagai “emas hijau” yang turut menggerakkan perekonomian kaum Bumiputra seiring dengan masuknya modal dari para perusahaan Belanda di tanah air.
Paling tidak, ada tiga jenis tembakau yang menjadi komoditas penting pada zaman kolonial Belanda, yaitu tembakau rajangan (bahan kretek), tembakau krosok (bahan cerutu), dan tembakau virgin (komoditas ekspor). Margana mengidentifikasi beberapa istilah produk dengan bahan baku tembakau, seperti strojes, sigaret, dan tabak. Strojes adalah produk berbahan baku tembakau yang dibungkus pakai kulit jagung (klobot). Sigaret atau papiersigaretten adalah produk rokok kretek. Sedangkan tabak sering disebut rolling cigarette (rokok lintingan) dengan bahan pembungkusnya daun tembakau (Margana, 2014: 40-43).
Industri rokok kretek tumbuh sumbur sebagai ekses dari kebijakan politik tanam paksa (pertanian) dan kebijakan politik etis di bidang pengairan (pertanian) pada awal abad ke-20 sehingga perusahaan-perusahaan perkebunan tembakau tumbuh di mana-mana. Di luar pulau Jawa, perusahaan perkebunan tembakau yang sukses adalah Deli Maatschappij. Di pulau Jawa sendiri, perusahaan perkebunan tembakau yang cukup besar berada di wilayah vorstenlanden (wilayah kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta), meliputi daerah Besuki, Blitar, Jember, Temanggung, dan Bondowoso.
Tokoh Muhammadiyah-NU Pengusaha Rokok Kretek
Dengan merebaknya lahan pertanian tembakau, ditambah lagi dengan meningkatnya nilai jual komoditas ini, para pengusaha bumiputra tumbuh sebagai aktor-aktor penguasa pasar domestik maupun nasional, menggeser peran para pengusaha kolonial. Apalagi, penemuan jenis rokok kretek berasal dari kalangan umat Islam yang pada mulanya diinisiasi sebagai sebuah formula obat sesak nafas (penyakit asma). Penemuan rokok kretek tidak bisa lepas dari kisah Haji Jamhari dari Kudus yang konon mengidap penyakit asma. Jamhari kemudian bereksperimen meracik obat sendiri menggunakan bahan baku tembakau yang harganya mahal pada waktu itu.
Dengan cara menggulung daun tembakau yang dicampur racikan cengkih, Jamhari menghisap rokok yang kemudian dikenal dengan sebutan kretek. Konon, setelah beberapa waktu mengkonsumsi kretek racikannya sendiri, Jamhari merasa sakit sesak di dadanya semakin reda.
Di sinilah kita perlu menggarisbawahi bahwa pertama kali rokok kretek dibuat bertujuan untuk mengobati penyakit nafas. Artinya, rokok kretek pada mulanya dinilai sebagai obat. Tetapi kini makna rokok kretek sudah bergeser. Kalau ada orang zaman sekarang yang bilang bahwa rokok kretek adalah obat, maka pasti akan ditertawakan orang. Tetapi memang begitulah fakta historis rokok kretek hasil racikan Haji Jamhari. Setelah Jamhari merasa yakin bahwa sakit asmanya reda karena mengkonsumsi rokok kretek, maka ia pun mulai memproduksi rokok kretek dalam jumlah yang banyak untuk dipasarkan di toko-toko obat di Kudus (S. Margana, 2014: 49).
Produk rokok kretek adalah hasil kreasi kaum bumiputra, khususnya dari kalangan umat Islam. Karena keyakinan bahwa rokok kretek dapat menjadi obat sakit asma, maka tidak sedikit tokoh-tokoh lokal maupun nasional yang terjun sebagai pengusaha rokok kretek. Sumber Margana mencatat beberapa tokoh nasional penting yang berprofesi sebagai pengusaha rokok kretek.
Sampai memasuki akhir tahun 1930-an, menggunakan sumber laporan perjalanan Parada Harahap, Margana menjelaskan kehadiran pengusaha-pengusaha rokok kretek dari kalangan bumiputra, terutama dari kalangan umat Islam, telah merajai pasar nasional. Beberapa pengusaha nasional yang dikenal dengan julukan “Raja Kretek” seperti Niti Semito, H.M. Muslich, H.Md. Noorchamid, M. Nadirun, H. Ashadie, dan H. Asikin. Tokoh yang terakhir disebut, menurut sumber Margana, adalah salah seorang aktivis Muhammadiyah Kudus yang berstatus sebagai pengusaha rokok kretek nasional.
Selain pengusaha-pengusaha rokok kretek nasional, pengusaha-pengusaha lokal yang turut menggerakkan perekonomian lewat komoditas tembakau hasil racikan karya Haji Jamhari ini berhasil menopang gerakan-gerakan nasional. Mengutip sumber Lance Castles (1982), Margana (2014: 49) menyebut beberapa tokoh perintis gerakan keagamaan yang berlatarbelakang pengusaha rokok kretek. Mereka adalah H.M. Abdul Kadir, pengusaha rokok kretek di Kudus, adalah salah satu pendiri Muhammadiyah setempat. K.H. Asnawie, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, adalah pengusaha rokok kretek. Begitu juga Haji Djoevri, pemimpin Sarekat Islam lokal adalah pengusaha rokok kretek.
Di Yogyakarta, tepatnya di Kampung Kauman, pada awal abad ke-20 telah berdiri sebuah pabrik rokok kretek di bawah holding company “Kaumansche Drukkerij” (perusahaan percetakan) milik Haji Fachrodin. Merk rokok kretek produksi Kauman adalah “Tjap Merak” dengan harga bandrol 5 cent berisi 15 batang (lihat iklan rokok kretek “Tjap Merak” di surat kabar Islam-Bergerak, 10 Juni 1917, h. 2).