Setelah sang hamba diajarkan agar meminta pertolongan hanya kepada Allah. Lantas, pertolongan apakah paling pantas diminta oleh sang hamba? Maka al-Qur’an pun memberikan jawabannya pada ayat keenam surah al-Fatihah
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus” (Qs. Al-Fatihah ayat 6)
Dalam ayat ini, kita diajarkan untuk meminta pertolongan agar ditunjukkan jalan yang lurus menuju ridho Allah. Makna redaksi “Tunjukilah Kami jalan yang lurus” adalah “Tetapkanlah kami pada jalan yang mudah dan lurus bukan jalan yang bengkok lagi sulit”. Hal ini berdasarkan penafsiran shahabat Ibnu Abbas:
عن عبد الله بن عباس، قال: قال جبريل لمحمد صلى الله عليه : ” قل، يا محمد، اهدنا الصراط المستقيمَ “. يقول: ألهمنا الطريق الهادي وهو دين الله الذي لا عوج له
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas bahwa malaikat Jibril mengatakan kepada nabi Muhammad “Wahai Muhammad, katakanlah “Tunjukilah Kami jalan yang lurus”. Ibnu ‘Abbas mengatakan “(Maksudnya adalah) ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan yang menunjukkan (kepada-Mu) yaitu agama Allah yang tidak ada kebengkokan di dalamnya.” (Tafsir Jami’ al-Bayan karya Ibnu Jarir ath-Thabari hal. 173 vol. 1 karya cetakan Dar Hijra Kairo tahun 2001).
Lafal hidayah sendiri memiliki dua makna penting dalam al-Qur’an, yaitu: Pertama, hidayah yang bermakna pertolongan serta petunjuk agar dapat berjalan pada jalan yang benar. Ini adalah bentuk hidayah yang kita mintakan kepada Allah dalam surah al-Fatihah. Dengan hidayah ini kita dijauhkan dari segala kesesatan dan kedurhakaan kepada Allah.
Hidayah ini hanya milik Allah semata. Tidak ada hambanya yang dapat memberikan hidayah ini kepada siapapun. Bahkan, al-Qur’an mengingatkan bahwa nabi Muhammad pun juga tidak dapat memberikan hidayah ini kepada siapapun tanpa seizin Allah. Sebagaimana dalam al-Qur’an:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk” (Qs. Al-Qashash ayat 56).
Kedua, hidayah yang bermakna petunjuk kepada kebaikan dan kebenaran serta ajakan menuju kebahagiaan dan keselamatan di akhirat. Ini adalah bentuk hidayah yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebagaimana dalam al-Qur’an:
….وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (52)
“…Dan sungguh engkau (Muhammad) benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus” (Qs. Asy-Syura ayat 52).
Dalam ayat ini, petunjuk yang kita mintakan kepada Allah adalah ilmu yang mengantarkan kita menuju kebahagian di akhirat. Hal ini mencakup ilmu akidah, fiqh, adab, dan seluruh syariat agama. Petunjuk dalam ayat ini diserupakan dengan jalan yang lurus agar kita memahami bahwa petunjuk yang diberikan Allah memiliki tujuan akhir yaitu keridhoan Allah sebagaimana jalan yang kita lalui dalam perjalanan selalu memiliki arah tujuan. (Tafsir al-Maraghi karya syeikh Ahmad bin Musthofa al-Maraghi hal. 37 vol. 1 cetakan Maktabah Musthofa al-Halabi Kairo tahun 1946).
Lantas, mengapa kita diperintahkan meminta hidayah kepada Allah? Bukankah setiap yang beriman berarti telah berada pada jalan yang benar. Abu Mudzoffar as-Sam’ani mengatakan “Maksud dari kita meminta petunjuk kepada Allah adalah meminta tambahan ilmu yang mendekatkan kita kepada Allah. Selain itu, kita juga berharap agar dikuatkan iman kita agar tak berpaling dari agama islam. Sebagaimana kebiasaan bangsa arab mengatakan kepada orang yang berdiri “Berdirilah hingga aku duduk di dekatmu” maksudnya adalah tetaplah berdiri hingga aku datang kepadamu.” (Tafsir al-Qur’an karya Abu Mudzoffar as-Sam’ani hal. 38 vol. 1 cetakan Dar al-Wathan Riyadh tahun 1997).
Lafal “Shirat” dalam bahasa arab berasal dari lafal “Istirath at-Tha’am” yang bermakna menelan makanan. Karena pada dasarnya mengikuti sebuah petunjuk berarti menggunakan seluruh hidupnya untuk mengikuti ajaran yang lurus dan tidak berpaling darinya. Hal ini disamakan sebagaimana makanan yang telah tertelan yang tidak mungkin dimuntahkan lagi atau keluar dari mulut.
Dalam cara bacanya, penduduk tanah Hijaz membaca lafal “Shirat” dengan huruf shod (ص) sebagaimana mayoritas bacaan para ulama qiroah sab’ah. Akan tetapi mayoritas bangsa arab mengganti huruf shod (ص) pada lafadz “Shirat” dengan huruf sin (س) sebagaimana qiroah imam Ibnu Katsir. Sedangkan suku ‘Adzrah, suku Kalb dan suku al-Qain mengganti huruf shod (ص) pada lafadz “Shirat” dengan huruf za’ (ز). (Tafsir Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi hal.128 vol.1 cetakan Dar ar-Rayyan li Turats Kairo 2001).
Lafal “al-Mustaqim” dipakai bangsa arab untuk menunjukan suatu tempat yang rata serta tidak bergelombang. Sedangkan, yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah jalan yang benar menuju rida Allah. Ada juga yang berpendapat maksud Lafal “al-Mustaqim” dalam ayat ini adalah agama islam. (Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil karya Nashiruddin al-Baidhawi hal. 30 vol. 1 cetakan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi Kairo tahun 1998).
Walhasil, kita diajarkan oleh surah al-Fatihah agar selalu meminta kepada Allah diberikan ilmu yang menuntun kita kepada-Nya. Selain itu, kita juga berharap dikuatkan imannya agar wafat dalam keadaan husnul khatimah.