Abad pertama dan abad kedua hijriah adalah masa yang sangat berpengaruh dalam penyebaran qiraah sab’ah. Tercatat pada dua abad ini, akulturasi budaya dan peradaban berkembang sangat pesat. Pengajaran Al-Qur’an pun telah menyebar merata di berbagai wilayah umat Islam.
Tentu fenomena ini menjadi sebuah tantangan baru bagi para Ulama. Sebab pada masa sahabat, Al-Qur’an diajarkan dengan musyafahah yaitu guru membacakan kepada murid kemudian murid mengulangi bacaannya di depan guru. Seiring berjalannya waktu, para ulama melihat harus ada sebuah penulisan baku tentang cara baca Al-Qur’an yang telah diajarkan oleh para guru mereka.
Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya cakupan wilayah umat Islam. Di mana banyak orang-orang dari berbagai suku bangsa dari luar negeri Timur Tengah yang mulai belajar agama Islam. Sehingga mereka juga mulai belajar cara baca Al-Qur’an.
Rasulullah Saw menyuruh umatnya untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana cara baca yang dipakai oleh bangsa Arab khususnya dalam makharijul huruf agar bacaan Al-Qur’an tetap terjaga walaupun para pemeluk Islam di berbagai penjuru. Bukan hanya orang Arab.
Maka para murid dari tujuh pendiri qiraah sab’ah mulai membukukan bacaan Al-Qur’an guru mereka. Di antara yang pertama memulai menulis di periode pembukuan ilmu qiraat adalah Khalaf bin Hisyam yang membukukan qiraah imam Hamzah yang ia dapatkan dari Sulaim bin Isa. Abdullah bin Dzakwan yang membukukan qiraah imam Ibnu Amir yang ia dapatkan dari Ayyub bin Tamim. Hafsh bin Umar ad Duri yang membukukan qiraah imam Abu Amr al Bashri yang ia dapatkan dari Yahya al Yazidi. Ahmad al Bazi yang membukukan qiraah imam Ibnu Katsir yang ia dapatkan dari Wahb bin Wadhih. Muhammad bin Abdurrahman al Ashbihani yang membukukan qiraah imam Nafi’ yang ia dapatkan dari murid-murid imam Warsy. Dan masih banyak lagi.
Dalam periode ini, para ulama generasi penerus qiraah tujuh telah memakai buku pedoman sebagai salah satu patokan dalam mengajarkan ilmu qiraah sab’ah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari lahn/kesalahan dalam membaca baik murid maupun guru. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang hanya mengandalkan metode musyafahah antara guru dan murid.
Pada abad ketiga, semangat para pelajar dari berbagai negara begitu tinggi untuk belajar lebih dari satu qiraah Al-Qur’an saja. Para pelajar dari berbagai wilayah berlomba-lomba untuk mengembara ke berbagai pusat pengajaran Al-Qur’an. Selain itu, mereka juga mengumpulkan banyak buku pedoman yang dibukukan oleh para penerus pendiri qiraah sab’ah di masa sebelumnya.
Di abad ketiga inilah, muncul semangat untuk membukukan cara baca qiraah yang berbeda-beda dari berbagai wilayah saat itu. Diantara yang pertama membukukan bermacam-macam qiraah tersebut adalah imam Abu Bakar ibnu Mujahid (Wafat tahun 324 H). Ia meneliti berbagai qiraah yang ada di berbagai daerah yang ia temui.
Metode yang dipakai Abu Bakar ibnu Mujahid adalah mengambil tujuh qiraah yang paling masyhur di antara seluruh qiraah-qiraah yang bersanad di masanya. Abu Bakar ibnu Mujahid pada awalnya mencantumkan qiraah Imam Ya’qub al-Hadrami sebagai salah satu qiraah tujuh. Tetapi kemudian, ia menggantinya dengan qiraah Ali al-Kisai. Di masa-masa selanjutnya, kitab As-Sab’ah karya Abu Bakar Ibnu Mujahid banyak dipakai pedoman oleh para pelajar dari berbagai daerah.
Metode yang dipakai di abad ketiga di dalam mengajarkan qiraah sab’ah diawali oleh para murid yang diminta untuk memahami kitab As-Sab’ah karya Abu Bakar ibnu Mujahid dengan baik. Pengajaran kitab As-Sab’ah ini diampu oleh para ulama yang telah mencapai derajat sangat baik dalam bidang ilmu qiraah. Setelah itu, para murid diminta untuk menyetorkan hafalan Al-Qur’an dengan setiap qiraah yang telah ia pelajari kepada guru yang berkompeten di bidang ilmu qiraah.
Setoran hafalan ini akan menyita waktu sangat lama. Karena setiap qiraah yang para murid hafalkan harus mereka baca dihadapan guru mereka mulai dari awal surat Al-Qur’an hingga akhir surat dalam Al-Qur’an. Dan kemudian mereka akan menyetorkan qiraah yang lain dengan metode yang sama hingga sempurna tujuh qiraah mereka baca dihadapan guru mereka.
Setelah masa Abu Bakar ibnu Mujahid tampillah Abu Amr ad Dani sebagai ulama yang sangat getol menyebarkan qiraah sab’ah. Abu Amr ad Dani menulis kitab At-Taisir fi Qiraat as-Sab’ah sebagai pelengkap kitab As-Sab’ah karya Abu Bakar ibnu Mujahid. Disusul di masa setelahnya, tampillah al-Qasim bin Fairuh yang lebih dikenal dengan julukan asy Syathibi sebagai generasi penerus ulama qiraah sab’ah. Asy-Syathibi meringkas qiraah sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir fi Qiroat as-Sab’ah dalam nadzamnya yang berjudul Hirzul Amani wa Wajhu at-Tihani.
Pada akhirnya, tampillah Ibnu Jazari yang menyempurnakan karya Hirzul Amani wa Wajhu at-Tihani milik asy-Syathibi dengan karyanya yang berjudul Thayyibah an Nasyr. Ibnu Jazari menyisipkan sebuah pujian kepada imam asy-Syathibi dalam karya Thayyibah an Nasyr.
ولا أقول أنها قد فضلت
حرز الأماني بل به قد كملت
Aku tidak mengatakan Thayyibah Nasyr telah melampaui Hirzul Amani (karya asy-Syathibi)
Justru dengan sebab kitab Hirzul Amani lah kitab ini (Thayyibah an Nasyr) menjadi sempurna.
Dari sini kita melihat upaya yang sangat besar diantara ulama Al-Qur’an dari zaman ke zaman dalam menyempurnakan ilmu qiraah Al-Qur’an. Tentu menjadi sebuah motivasi bagi kita semua untuk terus melanjutkan estafet keilmuan yang telah diwariskan dan disempurnakan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. (RM)
Referensi:
Salasil adz-Dzahabiyyah bil Asanid an-Nasyriyyah karya Dr. Aiman Rusydi Suwaid