M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Mengenal Sultan Murad IV, Raja Termuda Kedua Sepanjang Sejarah 

1 A Murad Iv

Sultan Murad IV adalah sultan ke-17 dari dinasti kerajaan Turki Utsmani. Sultan Murad IV adalah putra dari pasangan raja Ahmad I dan ratu Kösem, terlahir di kota Istanbul pada tahun 27 Juli 1612 M.

Murad IV diangkat menjadi sultan pada tanggal 10 September 1623 M di usia 11 tahun untuk menggantikan pamannya yang bernama Musthofa I. Awalnya ia cukup kesulitan memerintah kerajaan. Hal ini, disebabkan usianya yang masih sangat muda dan banyaknya pemberontakan di Turki Utara. Dalam catatan saya, ia adalah raja yang termuda kedua sepanjang peradaban umat manusia. Yang nomor satu Sultan Muhammad IV. Beberapa raja yang muda lainnya adalah Sultan Ahmad I naik tahta umur 14 tahun, Sultan utsman II naik tahta umur 14 tahun, Sultan murad II naik tahta umur 17 tahun.

Kepemimpinan Murad IV juga mengalami banyak pergolakan dan pemberontakan. Di tahun kedua pemerintahannya, Murad IV telah dihadapkan dengan pemberontakan panglima Abaze Mehmed Pasha di daerah Anadhol Timur yang akhirnya dapat ia padamkan. Demonstrasi terbesar di zaman Murad IV terjadi pada tahun 1632 M dibawah komando panglima Topal Reçep Pasha yang menuntut pengunduran diri Hafidz Ahmad Pasha dari jabatan perdana menteri Turki Utsmani.

Waktu akan mengubah semuanya menjadi lebih baik. Falsafah ini pun terjadi dalam diri Murad IV. Seiring dengan berjalannya waktu, Murad IV menemukan jati dirinya sebagai seorang raja yang cerdas dan bijaksana. Ia memulai membenahi kerajaannya dengan baik, mengusir pejabat-pejabat yang korupsi dan kurang memuaskan kinerjanya. Tak hanya itu, Murad IV juga membatasi gerak pegawai dan pelayan istana agar ia lebih berkonsentrasi mengurus kerajaan.

Baca juga:  Menyudahi Dendam Kesumat: Kisah Muawiyah dengan Az-Zurqa binti Uday

Tidak ada gading yang tak retak. Seperti itulah kiasan untuk Murad IV. Meskipun, ia diakui sebagai seorang raja yang gagah berani memimpin penakhlukkan kota Baghdad di Iraq pada tahun 1638 M. Sultan Murad IV juga tercatat sebagai seorang raja yang tak segan untuk menghukum rakyatnya.

Tercatat, ia memiliki kebencian mendalam terhadap rokok, alkohol dan kopi. Hal ini, disebabkan desas-desus yang dihembuskan pejabat-pejabat kerajaan yang menyatakan bahwa kopi, rokok tembakau dan alkohol adalah simbol pemberontakan dan kebebasan.

1 A Murad
Sultan Murad IV dalam ilustrasi (Sumber: Al-Arabiyah)

Tersiar kabar, di warung-warung kopi para pemberontak menjadikannya ajang untuk menggelorakan pemberontakan terhadap kerajaan Turki Utsmani. Tentu, desas-desus ini membuat khawatir Sultan Murad IV. Selain itu, para pejabat kerajaan juga memberikan kabar bahwa kopi, rokok tembakau dan alkohol tidak baik bagi kesehatan rakyatnya.

Sultan Murad IV pun menetapkan keputusan melarang peredaran kopi, rokok tembakau dan alkohol untuk seluruh rakyatnya. Ia berkeliling ke segenap penjuru kota Istanbul di tengah gelapnya malam hanya untuk memastikan peraturannya dipatuhi oleh rakyat. Terkadang ia akan menyamar menjadi rakyat biasa untuk mengawasi gerak-gerik penduduk kota Istanbul.

Tak jarang, Sultan Murad IV akan memenggal kepala peminum kopi ataupun perokok tembakau di manapun tempat ia menemukannya. Tercatat dalam sejarah, Sultan Murad IV telah memenggal kepala lebih dari 10 ribu peminum kopi di masa kepemimpinannya.

Baca juga:  Dakwah Wali Songo (4): Pengaruh Para Wali dalam Membentuk Wajah Islam Nusantara

Meskipun begitu, Sultan Murad IV adalah seorang penyair handal. Tercatat, ia menulis syair-syairnya dalam bahasa arab dan bahasa persia. Karya syairnya sering dinyanyikan oleh grub “Mahtar” sebuah grub musik kerajaan yang ditugaskan untuk mendendangkan syair-syair penyemangat bagi segenap prajurit militer di kala perang.

Diantara syairnya yang terkenal berjudul “Istaiqadzi ya ‘Aini”. Uniknya, syair “Istaiqadzi ya ‘Aini” yang ia susun sebagai sebuah penyesalan setelah ia telat bangun untuk sholat shubuh alias bangkong (bangun kesiangan) menurut orang jawa. Walhasil, saking menyesalnya ia ketinggalan berjamaah sholat shubuh, Sultan Murad IV membuat syair ini.

Lirik syair “Istaiqadzi ya ‘Aini” adalah sebagai berikut

Istaiqidzi ya ‘Aini min al-Ghaflah
Bangunlah wahai mataku dari kelalaian
Istaiqidzi ya ‘Aini min Sibatika al-Amiq
Bangunlah wahai mataku dari tidur panjang
Malak al-Maut min Ruh Qarib li Yaqum bi Wadzifatihi
Malaikat maut dekat dengan ruh agar segera melakukan tugasnya

Waqta Sahari Jami’ut Thuyur Mustaiqidzah
Di waktu sahur, segenap burung-burung telah bangun
Kullu Hasab Bada’a bi Tasbih
Segenap makhluk memulai (paginya) dengan bertasbih

Al-Jibal wa Shukhur wa Asyjar Tawahhad Lillah
Gunung-gunung, batu-batu cadas, dan pohon-pohon mengakui ke-Esaan Allah
Wa Anta ya ‘Aini, Istaiqidzi min Ghoflatik
Dan engkau wahai mataku, bangunlah dari kelalaian

Abwab Samawat Maftuhah
Pintu-pintu langit terbuka
Tanzil ar-Rahmah ala Mukminin
Turunlah rahmat kepada orang-orang beriman
Wa Man Yabqa Waqta Sahari Layusyhid Yahsud Dzalika
Dan siapa yang bangun di waktu sahur, ia akan menyaksikan dan menemukan hal tersebut

Baca juga:  Kliping Keagamaan (4): AR Baswedan Mengatakan Perpustakaan Itu Amal Jariah

Hadzihi ad-Dunya Faniyah Fatsbiti wa La Tamassaki Biha
Dunia ini semu, maka bertahanlah dan jangan berpegang teguh dengan dunia
La Tanghari bi Taj wal Jah Fahiya lan Tadum
Jangan tertipu dengan mahkota dan jabatan, sungguh ia tak akan abadi

La Ta’tamidi ala Mamalik wal Aqalim as-Sab’ah al-Mumtadah
Jangan bergantung dengan kerajaan Mamalik dan tujuh provinsi yang luas

Ana Abdul Faqir Murad, Ighfirli Dzanbi
Aku hamba yang fakir bernama Murad, Ampunilah dosaku
As’aluka an Tatajawaz ‘Anni Khotho’i
Aku meminta kepada-Mu agar Engkau mengampuni segala kesalahanku
Aqifu ala Qadami bi Hasratin ala Babik
Aku bersimpuh dengan kedua kakiku bersama segenap penyesalan di depan pintu rahmat-Mu.

Tak dinyana setelah sekitar 17 tahun menjabat sebagai sultan dinasti Turki Utsmani. Murad IV wafat pada usia sangat muda di umur 27 tahun pada tahun 1640 M. Sang raja wafat akibat penyakit sirosis yang saat itu belum ditemukan obat yang efektif untuk menyembuhkannya. Murad IV dikebumikan di komplek pemakaman ayahnya, sultan Ahmad I.

Meskipun begitu, ia meninggalkan warisan kerajaan yang sangat luas. Murad IV memiliki lima anak laki-laki, yaitu Sulaiman, Muhammad, ‘Alauddin, Ahmad dan Mahmud dan tiga anak perempuan yakti Kaya Ismahan Sultan, Ruqoyyah Sultan, dan Hafidzah Sultan. (Sumber bacaan: buku Salathin ad-Daulah al-Utsmaniyyah karya Shalih Kawulan)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
3
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top