Al-Qur’an, diturunkan Allah dengan bahasa Arab, yang sangat fasih dan indah. Pada masa Rasulullah, bangsa Arab adalah bangsa dengan tradisi sastra yang sangat kental. Penyair-penyair dari berbagai suku bangsa di sekitar Jazirah Arab datang setiap tahunnya ke kota Mekkah saat bulan Dzulhijjah.
Mereka datang di saat banyak kabilah Arab melakukan “haji”. Para penyair membawa syair-syair terbaik untuk dipertunjukkan di pasar-pasar kota Mekkah. Setiap penyair akan mendapatkan pengakuan secara luas mana kala syairnya dianggap paling indah dan isinya berkualitas. Tentu hal ini menjadi sangat bergengsi untuk para penyair Arab. Mereka berlomba-lomba menciptakan syair-syair paling indah dan unggul.
Allah telah menempatkan Al-Qur’an sebagai mukjizat tertinggi bagi Nabi Muhammad saw. Di dalamnya tersimpan makna yang sangat luas terbalut dalam bahasa yang sangat fasih. Para penyair Arab pun terkagum-kagum dengan keindahan bahasa Al-Qur’an. Di antara barisan para penyair yang masuk Islam karena keindahan bahasa Al-Qur’an adalah Umar bin Khattab.
Dikisahkan Umar bin Khattab masuk Islam karena mendengar keindahan bahasa Al-Qur’an dalam awal surat Taha di rumah saudara kandungnya yang bernama Fatimah binti Khattab.
Maka sungguh benar Al-Qur’an menjelaskan bagaimana bahasa di dalamnya tertulis dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih.
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, padahal ini (Al-Qur’an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas. Qs. An-Nahl : 103.
Bahkan, Al-Qur’an juga menantang setiap orang yang ingkar untuk membuat sastra tandingan, niscaya hingga hari kiamat datang tak ada yang mampu menandingi keluhuran sastra Al-Qur’an.
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” Qs. Al-Isra’ : 88.
Tak hanya indah dalam bahasa, Al-Qur’an juga diturunkan dengan yang cara baca dan cara pelafazan yang beragam sebagai penyempurna keindahannya. Misalnya saja dalam pelafazan sebuah ayat Al-Qur’an:
(فِی قُلُوبِهِم مَّرَضࣱ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضࣰاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمُۢ بِمَا كَانُوا۟ یَكۡذِبُونَ)
[Surat Al-Baqarah 10]dalam ayat ini, ada sebagian ulama Alquran yang mendapatkan riwayat akhir ayat ini dibaca
یَکذِبُونَ, yakdzibun. Yang artinya, mereka mengucapkan perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebagian ulama Al-Qur’an lainnya mendapatkan riwayat akhir ayat ini dibaca
يُكَذِّبُونَ, yukadzibun. Yang artinya mereka menganggap orang lain telah berbohong.
Dengan adanya dua perbedaan harokat dan bentuk dalam lafaz ini, para ulama tafsir berpendapat bahwa keduanya saling menyempurnakan maknanya. Bila kedua makna perbedaan harokat ini digabungkan maka maknanya Allah menceritakan dalam ayat ini sifat orang kafir yang mendapatkan siksaan yang pedih. Di mana orang-orang kafir mengucapkan perkataan yang tidak sesuai dengan kebenaran yang ada dalam Alquran serta mereka juga menganggap nabi Muhammad telah berbohong dengan risalah kenabiannya.
Perbedaan cara baca dan pelafadzan adalah sebuah mukjizat tersendiri dalam Alquran. Tentu kita tahu, bangsa arab dimasa Rasulullah telah menyebar ke berbagai daerah di Jazirah Arab. Sehingga mereka memiliki dialek pelafazan dan perbendaharaan kosakata yang berbeda-beda. Dan tidak mungkin untuk menyatukan bangsa arab yang beragam kabilahnya untuk menerima satu cara baca ditengah keberagaman mereka.
Misalnya saja
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِ فَتَبَیَّنُوا۟ وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَنۡ أَلۡقَىٰۤ إِلَیۡكُمُ ٱلسَّلَـٰمَ لَسۡتَ مُؤۡمِنࣰا تَبۡتَغُونَ عَرَضَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا فَعِندَ ٱللَّهِ مَغَانِمُ كَثِیرَةࣱۚ كَذَ ٰلِكَ كُنتُم مِّن قَبۡلُ فَمَنَّ ٱللَّهُ عَلَیۡكُمۡ فَتَبَیَّنُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِیرࣰا)
[Surat An-Nisa’ 94]
sebagian ulama Alquran mendapatkan riwayat bacaan ayat ini dengan lafadz فتثبتوا menempati lafadz فتبینوا. Sebagian kabilah arab tidak mengenal kosakata lafadz تبین tabayyana tetapi mereka mengenal kosakata lafadz تثبت tatsabbata meskipun begitu kedua lafadz ini punya makna yang tidak berbeda jauh. Hal ini terjadi sebagai sebuah keringanan bagi banyak suku arab yang berbeda-beda kosakatanya.
Seperti halnya di jawa, orang jawa yang tinggal di kota Malang mengenal gorengan yang terbuat dari tepung dengan nama weci. Sedangkan orang jawa yang tinggal di kota Kediri menyebutnya dengan ote-ote. Tentu, akan menjadi sulit bila orang jawa diseluruh tanah air harus sepakat dalam menyebut sebuah benda dengan nama yang sama yang tidak pernah dikenal di daerah masing-masing.
Misalnya saja
(ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَ ٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِیمَ)
[Surat Al-Fatihah 6]Dalam ayat ini, sebagian ulama Al-Qur’an mendapatkan riwayat bacaan سراط menempati lafaz صراط. Hal ini menjadi sebuah keringanan bagi suku-suku Arab. Kita membanya banyak literatur dan menyaksikan pelafalan harian bahwa beberapa suku arab Arab membaca lafadz صراط dengan pengucapan huruf sin (س) menempati huruf shod (ص). Seperti halnya orang jawa di Malang yang menyebut kata kamu dengan ucapan riko (kamu). Sedangkan orang jawa di Banyumas membaca dengan rika (kamu). Tentu akan sangat sulit bagi seluruh orang jawa untuk sepakat dalam pelafazan berbahasa Jawa mereka di daerah masing-masing.
Dan inilah rahasia mukjizat yang dengannya menjadikan kita terkagum-kagum dengan Alquran. Tidak ada sedikitpun perbedaan cara baca Al-Qur’an yang bersanad sampai Rasulullah saw yang memiliki pertentangan secara makna. Seluruh perbedaan tersebut justru saling menyempurnakan dan menambah harum keindahan Al-Qur’an. Sebagai mana Al-Qur’anmenyatakan:
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (Qs. An-Nisa: 82.)
Dan lebih mengagumkannya lagi, seluruh ulama Al-Qur’an memiliki standar yang sangat ketat dalam mengajarkan Al-Qur’an beserta seluruh carabacanya yang beragam. Hingga kini kita mengenalnya dengab qiroah sab’ah al-masyhurah al-mutawattir (tujuh qiroah yang masyhur lagi bersambung sanadnya kepada Rasulullah secara mutawattir).
Setidaknya kita harus mengangan-angan kembali beberapa cerita tentang begitu ketatnya para ulama Al-Qur’an dalam menjaga bacaan Al-Qur’an yang diwariskan dari Rasulullah melalui para sahabatnya.
Diriwayatkan dari Jabalah bin Suhaim, beliau mengatakan aku mengaji Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin Umar Ra. Maka suatu ketika, Abdullah bin Umar sampai pada lafadz (للفقراء والمساکین, lil fuqarai wal masakin), beliau membacakan kepadaku dengan membaca panjang huruf ro’ (ر) pada lafadz tersebut. Kemudian beliau berkata: “Aku membaca ayat tersebut kepada Rasulullah saw seperi halnya kamu membacakan kepadaku, maka Rasulullah membacakan seperti halnya aku membacakan kepadamu.”
Diceritakan dari Zer bin Hubaisy bahwasannya seorang laki-laki membaca kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud ayat (طه) dengan membaca fathah kedua hurufnya, maka sahabat Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Bacalah (طه) dengan harokat kasroh pada kedua hurufnya, seperti itulah Rasulullah membacakannya kepadaku.” (RM)
Referensi:
Salasil adz-Dzahabiyyah adz-Dzahabiyyah bil Asanid an-Nasyriyyah karya Dr. Aiman Rusydi Suwaid