Kebanyakan dari kita mengenal bahwa wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diberikan hanya kepada para nabi dan rasul. Kepahaman ini bersumber dari definisi wahyu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menyatakan bahwa wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya. Benarkah, wahyu didefinisikan sesempit itu? Lantas bagaimana dengan petunjuk Allah kepada ibu Nabi Musa untuk menghanyutkan anaknya di sungai Nil, apakah ini juga berarti ibu Nabi Musa adalah seorang nabi dan rasul?
Setelah teliti kembali, ternyata definisi wahyu yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ini sesuai dengan penafsiran beberapa mufasir ternama seperti al-Baidhowi, Ibnu Katsir, dan Qatadah. Para mufasir berpendapat bahwa petunjuk Allah yang diberikan kepada selain nabi dan rosul tidaklah disebut dengan wahyu akan tetapi disebut dengan ilham. Karena wahyu menurut mereka hanya pantas diberikan kepada para nabi dan rasul.
Penafsiran ini tentu menimbulkan kritik dari beberapa mufassir kenaman seperti al-Alusi dan al-Qurthubi yang menyatakan bahwa segenap petunjuk Allah kepada hambanya sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah wahyu meskipun mereka tidak mendapatkan tugas menjadi nabi dan rasul. Menurut banyak mufasir wahyu bermakna sangat luas sebagaimana yang juga diutarakan oleh Ibnu Faris dalam kitab “Mu’jam Maqayis al-Lughah” bahwa wahyu secara bahasa adalah pemberitahuan dengan cara yang samar.
Nyatanya, Al-Qur’an menyebut kalimat “wahyu” untuk banyak makna yang dapat kita simpulkan dengan beberapa garis besar, yaitu :
Pertama, wahyu bermakna petunjuk yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Hal ini sebagaimana contoh ketika Allah memberikan petunjuk kepada nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya yang seketika itu berubah menjadi ular yang sangat besar dihadapan Fir’aun.
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ (117)
“Dan Kami wahyukan kepada Musa ”Lemparkanlah tongkatmu!” Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka (Qs. Al-A’raf ayat 117)
Kedua, wahyu bermakna petunjuk yang diberikan Allah kepada hewan-hewan untuk mengatur hidup mereka. Hal ini sebagaimana contoh ketika Allah memberikan petunjuk kepada lebah untuk memilih pegunungan, batang pepohonan, dan sejenisnya sebagai tempat bersarang dan Allah juga memilihkan jenis makanan untuk lebah agar manusia dapat mengambil manfaat dari madu-madu yang mereka hasilkan.
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا(69)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)….” (Qs. An-Nahl ayat 69)
Ketiga, wahyu bermakna isyarat yang halus. Hal ini sebagaimana contoh isyarat yang ditunjukkan oleh Nabi Zakaria kepada umatnya untuk selalu bertasbih kepada Allah di waktu pagi dan malam.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا (11)
“Maka dia (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberikan wahyu (isyarat) kepada mereka agar; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang” (Qs. Maryam ayat 11)
Keempat, wahyu bermakna bisikan setan. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat Al-Qur’an bahwa setan dari golongan jin dan manusia saling berbisik untuk melakukan tipu-daya diantara mereka.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا …..(112)
“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan….” (Qs. Al-An’am ayat 112)
Kelima, wahyu bermakna perintah Allah kepada para malaikat. Hal ini sebagaimana contoh perintah Allah dalam Al-Qur’an kepada para malaikat agar meneguhkan hari orang-orang beriman di perang Badar.
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا….(12)
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”….. (Qs. Al-Anfal ayat 12)
Keenam, wahyu bermakna pengaturan Allah terhadap alam semesta. Hal ini sebagaimana contoh dalam Al-Qur’an ketika menceritakan penciptaan langit.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا….(12)
“Lalu Allah menciptakan tujuh langit dalam dua masa dan Allah mewahyukan (mengatur) urusan masing-masing……” (Qs. Fushilat ayat 12)
Adapun dalam praktek turunnya wahyu Allah kepada para nabi dan rasul memiliki tiga bentuk yaitu:
Pertama, diwahyukan secara langung dalam bentuk mimpi ataupun sejenisnya. Hal ini sebagaimana Al-Qur’an membenarkan mimpi Nabi Muhammad saw bahwa ia akan masuk ke dalam kota Mekkah bersama para shahabat dengan aman.
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ….(27)
“Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya (Muhammad) tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram jika Allah menghendaki dengan aman…” (Qs. Al-Fath ayat 27)
Kedua, diwahyukan dari balik hijab (penutup). Hal ini sebagaimana ketika Nabi Musa mendengar Allah berfirman langsung kepadanya akan tetapi nabi Musa tidak dapat melihat dzat Allah secara kasatmata.
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ ….(143)
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah ditentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya….” (Qs. Al-A’raf ayat 143)
Ketiga, diwahyukan melalui perantara utusan bernama malaikat Jibril. Hal ini sebagaimana ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui perantara malaikat Jibril:
نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (193-194)
“Dan (Al-Qur’an) diturunkan melalui ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan” (Qs. Asy-Syu’ara ayat 193-194)
Ketiga bentuk turunnya wahyu inilah yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)
“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Alla akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantara wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha tinggi, Maha bijaksana” (Qs. Asy-Syura ayat 51).