Imran bin Hitthan adalah seorang ulama yang banyak meriwayatkan hadis dari para Sahabat Nabi. Artinya, ia salah seorang dari Tabi’in, generasi yang bertemua dengan Sahabat Nabi saw. Di antaranya ia meriwayatkan hadis dari Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sayyidah ‘Aisyah, dan masih banyak lagi. Siapakah Imran ini?
Dahulunya, Imran bin Hitthon adalah pembesar ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah di kota Bashrah. Ia sangat masyhur dengan julukan Abu Syihab. Selain itu, Imran bin Hutthan dipandang sebagai seorang penyair yang agung. Keindahan puisi-puisinya kerap sekali disejajarkan dengan keindahan puisi-puisi karya penyair yang sudah terkenal terlebih dahulu, semisal Farozdak dan Jarir.
Imran bin Hitthan memiliki banyak murid yang nantinya akan menjadi rantai sanad hadis darinya. Di antara murid-muridnya adalah Yahya bin Abi Katsir, Qatadah, Maharib bin Ditsar, dan masih banyak lagi.
Sayangnya, separoh hayatnya ia terjerat oleh cinta. Ya, oleh cinta. Bagaimana kisahnya?
Asal mulanya ia jatuh cinta dengan putri pamannya yang bernama Hamnah. Tapi sayang, putri pamannya ini mengikuti aliran Khawarij, sebuah aliran yang sangat menentang pemerintah kala itu. Aliran Khawarij kerap kali mencaci-maki para al-Khulafa ar-Rasyidin, yaitu Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sayangnya, cinta itu buta, seperti yang dikatakan dalam lagu-lagu atau puisi-puisi. Imran bin Hitthan nekat. Ia memperjuangkan cintanya. Imran bin Hitthan berdalih ingin menikahi Hamnah, putri pamannya agar ia mampu mengajaknya kembali ke dalam aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Tidak sia-sia. San perawi hadis dan penyair agung ini pun berhasil menikah dengan pujaan hatinya yang bernama Hamnah itu.
Namun, yang terjadi adalah perubahan dalam diri Imran bin Hutthan. Semenjak menikahi Hamnah, Imran bin Hutthan tak lagi mau duduk bersama ulama yang beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Ia lebih memilih duduk bersama pengikut aliran Khawarij untuk membahas kejelekan pemimpin muslim masa itu. Bahkan, acapkali ia memuji Abdurrahman bin Muljam, seorang pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam syair-syairnya.
Tak pelak, al-Hajjaj penguasa saat itu pun berupaya untuk membunuhnya. Maka Imran bin Hitthan pun melarikan diri ke daerah Yamamah.
Dalam pelarian di daerah Yamamah ini, ia mengajarkan hadis kepada Yahya bin Abi Katsir. Di akhir hayatnya, Imran bin Hitthan lebih memilih mengikuti gerakan Shofariyyah, sebuah gerakan khawarij yang menentang pemerintah tapi tidak menyatakan perang melawan pemerintah saat itu.
Sungguh sangat disayangkan, Imran bin Hitthan berakhir wafat sebagai pengikut aliran Khawarij pada tahun 84 H. Nantinya imam Bukhari meriwayatkan dua hadis yang bersumber dari Imran bin Hutthan dalam kitab “Shahih Bukhari”.
Pertama:
حدثنا معاذ بن فضالة حدثنا هشام عن يحيى بن أبي كثير عن عمران بن حطان أن عائشة حدثته أن النبي لم يكن يترك في بيته شيئا فيه تصاليب إلا نقضه.
Diceritakan dari Mu’adz bin Fadhalah dari Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir dari Imran bin Hitthan, sesungguh sayyidah ‘Aisyah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah menjumpai sesuatu yang di dalamnya tergambar salib kecuali ia akan menghapusnya.
Kedua:
حدثني محمد بن بشار حدثنا عثمان بن عمر حدثنا علي بن المبارك عن يحيى بن أبي كثير عن عمران بن حطان قال سألت عائشة عن الحرير فقالت ائت ابن عباس فسله قال فسألته فقال سل ابن عمر قال فسألت ابن عمر فقال أخبرني عمر بن خطاب أن رسول الله قال إنما يلبس الحرير في الدنيا من لا خلاق له في الآخرة.
Diceritakan dari Muhammad bin Basyar, diceritakan dari Utsman bin Umar, diceritakan dari Ali bin al-Mubarak dari Yahya bin Abi Katsir dari Imran bin Hitthan, ia mengatakan, aku bertanya kepada sayyidah ‘Aisyah tentang hukum memakai sutra (bagi laki-laki), ia pun mengatakan “Datanglah kepada Ibnu Abbas, bertanyalah kepadanya”, maka aku pun bertanya kepadanya, Ibnu Abbas mengatakan “Bertanyalah kepada Ibnu Umar”, maka aku pun bertanya kepada Ibnu Umar, maka ia mengatakan, Aku mendengar Umar bin Khattab mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya seseorang yang memakai sutra di dunia adalah seseorang yang tidak mempunyai bagian di akhirat”.
Dalam hal ini, ada dua alasan yang diutarakan para ulama terkait mengapa Imam Bukhari tetap meriwayatkan hadis yang bersumber dari riwayat Imran bin Hitthan:
Pertama, ada riwayat yang menyatakan bahwa Imran bin Hitthan kembali ke ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah di akhir hayatnya. Sehingga riwayat hadisnya tetap dapat diriwayatkan. Tapi pendapat ini ditentang oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari syarh Shahih Bukhari.
Kedua, Imran bin Hitthan di masanya terkenal periwayat hadis yang terpercaya meskipun ia beraliran Khawarij. Ditambah lagi, Imam Bukhari menemukan riwayat lain yang redaksi hadisnya sama persis dengan redaksi hadis yang bersumber dari riwayat Imran bin Hitthan.
Bahan bacaan:
Fath al-Bari Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani
Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani
Mizan al-‘Itidal karya Syamsuddin adz-Dzahabi