Perjalanan ini dimulai dari tanggal 26 Januari 2024 pukul 19.20 waktu setempat dimana Bu Alissa Wahid datang ke kota Kairo tercinta bersama Pak Mukhib, aspri yang sangat legend di kalangan GUSDURian.
Rombongan masisir, istilah untuk menyebut mahasiswa indonesia di Mesir tampak berkerumun menunggu datangnya sang putri Gus Dur. Mereka sudah bersiap dengan bunga, cinderamata, dan hadiah yang banyak untuk Bu Alissa Wahid. Waktu yang ditunggu pun tiba, kesempatan bertemu beliau di kota Kairo pun hadir. Sambutan yang sangat meriah yang mungkin akan sangat kontras dengan zaman dulu ayahnya datang ke kota Kairo layaknya pelajar miskin, berbaju lusuh, dan berkantong tipis datang tanpa penyambutan yang mewah.
Mungkin dulu Gus Dur di Kairo disambut juga tetapi dengan sambutan kerasnya kehidupan pelajar miskin dan yatim di ibu kota Kairo yang menyimpan seribu macam cerita.
Memang benar kata para ulama
كن قمرا فمن بعدك نجوم لضوءك
“Jadilah layaknya rembulan niscaya orang setelahmu dianggap layaknya bintang-bintang karena cahayamu”.
Berkah teladan dari Gus Dur bagaikan cahaya rembulan yang dinikmati banyak orang, dan cahaya ini membekas dalam diri anak-anaknya. Sayangnya, malam yang indah itu tak dapat saya nikmati. Memang belum rezekinya bertemu, saya masih tertahan di daerah Dokki, Kairo karena pertemuan penting bersama para anggota KBRI Indonesia untuk negara Mesir.
Esok harinya, bu Alissa Wahid mengisi acara seminar perempuan dengan tema “Pentingnya peran perempuan dalam membangun peradaban”. Beliau hadir ditemani oleh Dr. Nahlah al-Sa’edi, seorang perempuan hebat yang menjabat sebagai penasihat Grand Syeikh Al Azhar. Rupanya hal ini menjadi sebuah awal kedekatan yang baik antara bu Alissa Wahid dengan Dr. Nahlah al-Sa’edi. Kesamaan sebagai sesama tokoh perempuan dengan kiprah internasional di tengah kerumunan tokoh-tokoh laku-laki menjadi salah satu potensi kecocokan keduanya.
Malam itu, Dr. Nahlah rupanya sangat ingin sekali bertemu berdua saja dengan Bu Alissa Wahid. Sayangnya, ada sedikit problem bagi Dr. Nahlah yang membuat beliau tidak bisa hadir esok harinya di acara Haul Gus Dur di Al-Azhar Convention Center distrik Nashr City.
Sepanjang hari, Dr. Nahlah menelpon saya untuk bertanya “Bu Alissa dimana? Kapan kami bisa bertemu? Kamu harus menemukan saya dengan beliau” sontak chat Whats App saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan Dr. Nahlah. Memang benar kata orang, kalau perempuan sukses selalu pantang menyerah sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dengan sedikit diplomasi ringan, Bu Alissa Wahid pun mengiyakan untuk bertemu dengan Dr. Nahlah. Saya yakin saat itu Bu Alissa sangat capek, acara seharian dan padatnya jadwal beliau tentu sangat menguras energinya. Saya berfikir saat itu lebih baik pertemuan di Lobby hotel Hilton Heliopolis tempat Bu Alissa Wahid menginap. Akan tetapi, kelihatannya tidak akan kondusif karena dapat dipastikan Mahasiswa NU akan mengerubungi pertemuan keduanya.
Memang resiko menjadi orang terkenal adalah selalu didatangi banyak orang minimal permintaan foto yang silih-berganti. Akhirnya, disepakati acara diadakan di kantor Dr. Nahlah di Markaz Tathwir.
Perbincangan ini sangat gayeng, diantara cerita Dr. Nahlah yang membekas di pertemuan ini adalah
“Suatu ketika saya pernah ditanyai oleh murid saya seorang pelajar perempuan dari Indonesia, ia mengatakan “Doktor, saya ingin menikah tapi ndak ingin punya anak, saya rasa punya anak itu sebuah masalah, ketika laki-laki sudah menikah dan punya anak maka karirnya menanjak, saat itu juga saya hanya seorang pembantu yang mengurus anak dan suami, apakah pandangan saya ini benar?”.
Seakan tak bisa berkata-kata, Dr. Nahlah bingung menjawab pertanyaan ini. Dengan sedikit mengambil nafas, Dr. Nahlah menjawab “Wahai anakku, jangan kamu berfikir begitu. Kamu punya tugas yang sangat besar sebagai pencetak kader pemimpin yang hebat yang tidak bisa ditanggung oleh laki-laki. Memang benar laki-laki ditugaskan sebagai pemimpin, tetapi kalian sebagai perempuan punya tanggung jawab lebih besar untuk mencetak laki-laki yang dapat memimpin keluarganya, masyarakatnya juga rakyatnya. Kegagalan kalian mencetak laki-laki sebagai figur pemimpin akan berimbas dengan kemunduran bangsa dan negara. Jadilah ibu yang baik, setelah itu kalian berhak untuk meraih pendidikan, jabatan dan karir setinggi-tingginya karena kalian punya hak yang sama dengan laki-laki”.
Bu Alissa Wahid mendengar dengan seksama. Kemudian beliau menceritakan
“Dahulu, nenek saya yang bernama ibunyai Khairiyyah Hasyim adalah seorang intelektual muslim perempuan yang sangat terpandang di zamannya. Beliau mendirikan sekolah perempuan dan majlis taklim khusus perempuan di Makkah bahkan beliau juga mengajar di depan murid-murid laki-laki tanpa canggung. Ini menjadi salah satu contoh peran perempuan untuk peradaban sudah sejak lama sejajar dengan laki-laki” ujar Bu Alissa Wahid.
Pertemuan ini sedikit membuatku berfikir, memang beda putri Gus Dur yang satu ini. Saya sangat suka dengan penjelasan Bu Alissa Wahid yang santai, perlahan, dan detail. Beliau ini memiliki penalaran yang baik dengan keadaan orang yang beliau ajak berbicara. Kelihatannya ilmu psikologi yang beliau dapatkan di jenjang kuliah diterapkan dengan baik.
Malam pun menunjukkan tirainya. Tak terasa dua jam kita berbincang bersama Dr. Nahlah. Tiba waktunya untuk berpamitan, saya melihat saat itu Bu Alissa Wahid sedikit terharu ketika dipeluk oleh Dr. Nahlah.
Malamnya sebenarnya kita ingin ngopi bareng beliau di cafe Adams Lounge di Nozha, Heliopolis. Akan tetapi, Bu Alissa Wahid terlihat capek. Acara pun batal dan kami beranjak pulang ke asrama. Malam itu berjalan sangat lama dan melelahkan. Kami pun tidur lebih awal karena besok ada acara yang lebih menarik.
Besok harinya, saya bersama dewan harian PCINU Mesir menemani bu Alissa Wahid. Menimbang saat itu, kami juga mengawal bu Riri Fariroh dan bapak Qohari Khalil dari anggota eksekutif LAZIZNU PBNU. Maka, diputuskan kami berangkat lebih awal untuk bertemu dengan Dr. Sahar Nashir, direktur Bait Zakat dan Sedekah (BZS) Mesir untuk membahas bantuan donasi 5 ambulan untuk Gaza Palestina.
Dr. Ahmad El-Thayyeb selaku Grand Syeikh Al Azhar menyambut Bu Alissa Wahid dengan sangat hangat.
“Kami sangat bersyukur bertemu dengan putri Gus Dur, salah satu pejuang nilai kemanusiaan yang lahir dari rahim Al Azhar Al Syarif. Kami juga mengucapkan selamat atas terpilihnya organisasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi terbaik dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan tahun ini” ujar Grand Syeikh Ahmad El-Thayyeb.
Acara ini berjalan sangat indah. Kami bertukar pikiran mengenai langkah Al Azhar dan Nahdlatul Ulama dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan.
“Saya mendengar Gus Dur pernah mengatakan suatu saat nanti kejayaan islam akan lahir dari peran dua organisasi terbesar dunia yaitu Al Azhar Al Syarif sebagai representasi keislaman di timur tengah dan benua afrika dan Nahdlatul Ulama sebagai representasi keislaman di asia tenggara dan benua asia” ujar Bu Alissa Wahid.
Selain itu, acara ini juga diisi oleh kerjasama yang produktif dalam menyebarkan pemikiran ulama Al-Azhar Al Syarif. Diantaranya adalah proyek besar penerjemahan karya ulama Al-Azhar Al Syarif dalam bahasa Indonesia yang akan dilaksanakan oleh kader PCINU Mesir.
“Ini pasti berkahnya Gus Dur, saya baru kali ini menemui acara ngobrol yang sangat panjang dengan Grand Syeikh lebih dari satu jam” ujar Pak Adon, salah satu pengurus KBRI Mesir yang hadir saat itu. Acara pun ditutup dengan foto sesi bersama antara Bu Alissa Wahid dan Grand Syeikh Al Azhar Ahmad El-Thayyeb.