Kita akan memulai tulisan ini dengan kisah yang mengharukan. Sebuah kisah ketika Nabi Muhammad dicaci maki oleh seorang nonmuslim tepat di hadapan istri tercintanya Aisyah ra.
Sungguh sebuah kesabaran yang luar biasa dicontohkan oleh baginda Nabi. Seandainya hal tersebut dialami oleh orang biasa seperti kita mungkin saja kita akan marah besar karena merasa harga dirinya direndahkan di depan umum.
عن عائشة رضي الله عنها قالت كان اليهود يسلمون على النبي صلى الله عليه وسلم يقولون السام عليك ففطنت عائشة إلى قولهم فقالت عليكم السام واللعنة فقال النبي صلى الله عليه وسلم مهلا يا عائشة إن الله يحب الرفق في الأمر كله . فقالت يا نبي الله أولم تسمع ما يقولون ؟ قال أولم تسمعي أني أرد ذلك عليهم فأقول وعليكم
Diceritakan dari sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata “Suatu ketika ada orang-orang yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad Saw, mereka mengatakan “Semoga kehancuran diberikan kepadamu (Muhammad)”. Maka, sayyidah Aisyah menyadari ucapan mereka seraya berkata “Semoga kehancuran dan laknat diberikan kepada kalian”. Kemudian, Nabi Muhammad Saw mengatakan “Jangan tergesa-gesa wahai Aisyah sungguh Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan”. Sayyidah Aisyah mengadu “Wahai Nabi Allah, apakah engkau tidak mendengarkan ucapan mereka?”. Kemudian, Rasulullah bersabda “Apakah engkau tidak mendengar bahwasannya aku telah menjawab ucapan mereka “Semoga (apa yang kalian katakan) diberikan kepada kalian”. (HR. Bukhari)
Dari hadis ini, kita dapat menemukan beberapa hikmah penting, yaitu :
Pertama, nabi Muhammad Saw mengajarkan kita untuk bersikap lembut meskipun terhadap orang yang terang-terangan menghina kita di depan umum. Hal ini tergambar dari teguran nabi kepada sayyidah Aisyah yang membalas cacian orang-orang yahudi tersebut. Kita dapat melihat kelembutan nabi dimana beliau hanya menjawab “Wa’alaikum” tanpa perlu menambahkan kata-kata “al-Laknat (laknat)” ataupun “As-Sam (kehancuran)” sebagaimana yang dilakukan oleh sayyidah ‘Aisyah.
Kedua, doa buruk yang diperbolehkan diucapkan kepada nonmuslim adalah hanya ketika mereka menghina kita terlebih dahulu. Dan ini pun harus tetap memakai kata-kata yang halus bukan dengan balas mencaci kasar kepada mereka. Karena pada dasarnya, islam tidak pernah mengajarkan kita mencaci maki orang-orang kafir zimmi. Kafir zimmi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang kafir yag tunduk kepada pemerintah Islam dengn kewajiban membayar pajak bagi yang mampu dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam. Hal ini sebagaimana komentar al-Hafidz Ibnu Abdil Bar atas hadis di atas
وقال بعض الشيوخ يقول علبكم السلام بكسر السين يعني الحجارة ووهاه ابن عبد البر بأنه لم يشرع لنا سب أهل الذمة ويؤكد بإنكار النبي صلى الله عليه وسلم على عائشة لما سبتهم.
“Sebagian para masyayikh mengatakan, diperbolehkan seorang muslim mengatakan (kepada nonmuslim) “Assilam ‘Alaikum (semoga lemparan batu untuk kalian)” dengan membaca kasroh huruf sin (س) yang bermakna batu. Akan tetapi, Al-Hafidz Ibnu Abdil Bar memandang lemah pendapat tersebut karena pada dasarnya islam tidak pernah mengajarkan kita mencaci maki orang-orang kafir zimmi. Beliau (Ibnu Abdil Bar) menguatkan pendapatnya dengan bukti nabi mengingkari atas ucapan sayyidah Aisyah ra ketika ia mencaci mereka (orang-orang yahudi)”. (kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani vol.11 hal.45 cetakan Dar al-Ma’rifah Beirut tahun 1955)
Memang benar, bahwa para ulama berbeda pendapat terkait masalah mengucapkan salam kepada nonmuslim. Sebagian ulama memperbolehkan dan sebagian lagi tidak memperbolehkan. Dalam hal ini, kita harus menghargai perbedaan pendapat diantara para ulama tanpa perlu mencaci maki salah satu pihak sebagaimana yang dilakukan oleh al-Auza’I
وعن الأوزاعي إن سلمت فقد سلم الصالحون وإن تركت فقد تركوا
Diriwayatkan dari al-Auza’I, beliau berkata “Apabila kalian mengucapkan salam (kepada nonmuslim), maka hal tersebut telah dicontohkan oleh para orang-orang saleh. Dan apabila kalian meninggalkan (mengucapkan salam kepada nonmuslim), maka hal tersebut telah dicontohkan oleh para orang-orang saleh”. (kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani vol.11 hal.45 cetakan Dar al-Ma’rifah Beirut tahun 1955)
Dalam memilih pendapat ulama, tentu kita harus memilih pendapat yang paling relevan bagi kehidupan kita saat ini. Dan bagi saya, memilih pendapat yang membolehkan kita menjawab salam nonmuslim sebagaimana kita menjawab salam seorang muslim adalah yang terbaik. Mengingat kita sekarang berada di negara yang menjunjung tinggi kesamaan hak dan kewajiban diantara muslim dan nonmuslim serta toleransi antar umat beragama.
وذهب جماعة من السلف إلى أنه يجوز أن يقال عليهم عليكم السلام كما يرد على المسلم واحتج بعضهم بقوله تعالى فاصفح عنهم وقل سلام وحكاه الماوردي وجها عن بعض الشافعية.
“Dan segolongan ulama salaf berpendapat diperbolehan menjawab salam mereka (nonmuslim) dengan ucapan “Wa’alaikum as-Salam” sebagaimana menjawab salam dari seorang muslim. Dan sebagian mereka mengambil hujjah atas pendapat tersebut dengan ayat suci Al-Qur’an “Maka berpalinglah dari mereka dan katakanlah, “Salam…”(Qs. Az-Zukhruf : 89). Imam al-Mawardi menyebutkan pendapat tersebut sebagai salah satu pendapat dari sebagian ulama madzhab Syafi’i. (kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani vol.11 hal.45 cetakan Dar al-Ma’rifah Beirut tahun 1955)
Bahkan, banyak ulama yang mewajibkan kita untuk menjawab salam nonmuslim. Diantara mereka adalah Ibnu Qayyim al-Jauzi
واختلفوا في وجوب الرد عليهم فالجمهور على وجوبه وهو الصواب وقالت طائفة لا يجب الرد عليهم كما لا يجب على أهل البدع وأولى والصواب الأول والفرق أنا مأمورون بهجر أهل البدع تعزيرا لهم وتحذيرا لهم بخلاف أهل الذمة.
“Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban menjawab salam nonmuslim. Maka, mayoritas ulama mewajibkan dan ini adalah pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Dan segolongan ulama menyatakan tidak wajib menjawab salam nonmuslim sebagaimana tidak wajib menjawab salam orang-orang ahli bid’ah. Akan tetapi, pendapat paling tepat adalah pendapat pertama (wajib menjawab salam nonmuslim). Dan perbedaan hukumnya disini adalah kita diperintahan untuk tidak menyapa orang-orang ahli bid’ah sebagai hukuman serta peringatan bagi mereka berbeda hukumnya kepada orang-orang kafir zimmi” (kitab Zad al-Ma’ad karya Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qayyim al-Jauzi vol.2 hal.389 cetakan Muassasah ar-Risalah Beirut tahun 1994)