Sedang Membaca
NU, UMKM, dan Momentum Merger Bank Syariah

H. Muhammad Syukron Habiby, Vice President di salah satu Bank Syariah di Indonesia. Wakil Bendahara PCNU Kab. Bogor 2020-2025

NU, UMKM, dan Momentum Merger Bank Syariah

Tahun 2020 menghadirkan banyak kejutan, mulai dari pandemic Covid-19 dengan segala eksesnya baik kesehatan, politik, maupun ekonomi. Dinamika politik nasional juga banyak memberi kejutan, dimana tahun 2020 adalah pertama kalinya dilaksanakan Pilkada serentak. Pro dan Kontra terus mengemuka dengan berbagai narasi yang mengikutinya. Publik juga disuguhi drama atas kasus-kasus pelanggaran protokol kesehatan yang melibatkan tokoh dan massa besar. Terakhir, pembubaran dan pelarangan aktifitas maupun penggunaan simbol salah satu ormas menutup kejutan di penghujung tahun ini.

Kejutan yang tidak kalah menarik adalah, aksi korporasi yang dilakukan kementrian BUMN, yakni merger bank syariah, yang dilaksanakan justru di saat kondisi ekonomi nasional tengah mengalami resesi serta belum diketahui kapan berakhirnya pandemic. Meskipun Presiden dan jajaran Kementrian memberikan sugesti bahwa perekonomian nasional masih baik-baik saja, bahkan apabila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Namun demikian, resesi sesungguhnya tengah berlangsung merujuk pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa Gross Domestic Product (GDP) pada kuartal III/2020 mengalami kontraksi 3,49 persen. Pada kuartal sebelumnya pertumbuhan ekonomi nasional juga tercatat minus 5,32 persen secara tahunan.

Beberapa pengamat mencatat faktor utama lesunya ekonomi nasional adalah jatuhnya konsumsi rumah tangga sebesar minus 4,04 persen dan investasi yang minus 6,48 persen, keduanya berkontribusi dominan sebesar 88,43 persen terhadap PDB nasional. Penurunan daya beli menjadi issue utama dan berdampak langsung terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Kondisi pandemic yang belum diketahui kapan berakhirnya ini menyebabkan masyarakat yang selama ini konsumtif menjadi cenderung menahan belanja, tidak terkecuali kalangan menengah, hal ini yang kemudian memberi efek domino terhadap UMKM dan perekonomian nasional.

Merger bank syariah seperti tidak ingin terjebak oleh fenomena pandemic dan resesi ekonomi, justru merger bank syariah seolah menjadi momentum alternatif yang diharapkan menjadi daya dorong bagi perekonomian nasional. Merger tiga bank syariah milik BUMN, Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BRI Syariah (BRIS), Bank BNI Syariah (BNIS), ditandai oleh penandatanganan Akta Penggabungan pada tanggal 16 Desember 2020 yang akan mulai beroperasi 1 Februari 2021. Sehari sebelumnya tanggal 15 Desember 2020 dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), dimana rencana penggabungan telah mendapatkan persetujuan Pemegang Saham, dalam hal ini tiga Himpunan Bank Negara (Himbara), termasuk persetujuan atas susunan Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah serta nama bank hasil penggabungan, yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk.

Kejutan aksi korporasi ini oleh beberapa pengamat ekonomi dan keuangan diramalkan akan berdampak positif, khususnya terhadap perkembangan ekonomi syariah. Entitas baru yang dilahirkan dari merger bank syariah himbara tersebut akan memiliki modal besar untuk bergerak menjadi pendorong alternatif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) ini akan menghasilkan asset sebesar Rp. 214,6 triliun dan modal inti Rp. 20,4 triliun, sehingga menjadikannya masuk ke jajaran 10 bank terbesar di Indonesia dari sisi aset, dan 10 besar dunia dari segi kapitalisasi market. Bahkan dalam perkiraan konservatif, BSI akan mampu menghasilkan aset hingga RP. 390 triliyun dan memiliki potensi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) hingga Rp. 355 triliun serta pembiayaan Rp272 triliun.

Merger bank syariah akan menjadi momentum penting bagi kebangkitan industri keuangan dan perekonomian syariah di Indonesia, mengingat visi yang disetujui dalam RUPSLB adalah untuk “Menjadi 10 Bank Syariah Terbesar di Dunia”. BSI diharapkan mampu menciptakan bank syariah berskala besar guna meningkatkan penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.

Baca juga:  Menikmati Foto Gus Dur Zaman Dulu

Kelahiran BSI menjadi sebuah harapan baru sebagai terobosan alternatif di tengah resesi ekonomi dimana potensi yang ditawarkannya tampak menjanjikan. Terlebih Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia hingga saat ini masih belum memiliki entitas keuangan syariah yang memadai. Bahkan di skala nasional market share bank-bank syariah masih di kisaran 6 persen, angka yang terlalu kecil dan paradoks bagi negeri berpenduduk mayoritas muslim.

NU, UMKM, Bank Syariah Indonesia; Sebuah Irisan Strategis

Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 adalah salah satu organisasi keagamaan tertua dan terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota tidak kurang dari 100 juta jamaah. Menurut survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Denny JA yang dilaksanakan tanggal 18-25 Januari 2019, menempatkan NU pada posisi teratas dengan jumlah persentase jauh diatas sebesar 49,5 persen, disusul Muhammadiyah pada peringkat kedua sebesar 4,3 persen, diurutan ketiga diduduki oleh gabungan ormas Islam lain yang berjumlah 1,3 persen, kemudian Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) yang berjumlah 0,7 persen dan diikuti ormas FPI berjumlah 0,4 persen yang telah resmi dibubarkan Pemerintah serta menjadi organisasi terlarang.

Survei LSI ini membuktikan bahwa, saat ini NU bukan hanya sebagai ormas terbesar dalam skala nasional saja, namun juga membuktikan bahwa NU adalah ormas terbesar di dunia. Jika saat ini total seluruh penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta penduduk dengan jumlah penduduk muslim yang berkisar 87%, maka NU dengan persentase 49,5% yang dimiliki, memiliki jamaah yang berjumlah kurang lebih 108 juta orang.

Indonesia merupakan tiga irisan penting dari Islam, Budaya, dan Demografi. Keragaman etnik dengan segala kearifan lokal yang dimiliki Indonesia telah menempatkan Islam lebih dari sekedar ritualitas agama, namun juga nilai-nilai luhur yang menjadi rujukan tata nilai budaya masyarakatnya. Tipologi keislaman di Indonesia yang adaptif dengan budaya lokal, menempatkan NU sebagai ormas yang lebih mudah diterima. Hal ini tercermin di dalam kaidah yang dijadikan pedoman NU, “Al muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”, yakni memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru demi kemaslahatan. Kaidah tersebut menempatkan budaya yang tidak dipertentangkan dengan agama, namun saling mengisi dalam rangka menciptakan harmoni kehidupan. NU selalu melihat budaya sebagai sebuah kearifan lokal yang nilai-nilai baiknya memperkuat spiritualitas keagamaan bagi individu-individu dalam membentuk tata nilai sosial di masyarakat. Terlebih dalam relasi sosial, NU mengedepankan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan I’tidal (tegak lurus).

Akar NU adalah pesantren, dengan jumlah lebih dari 23 ribu atau 82 persen dari total pesantren di Indonesia, dengan lebih dari 5 juta santri yang mukim (tinggal) di dalamnya dan puluhan juta santri kalong (tidak menginap). Dengan kekhasannya, pesantren mendekatkan budaya lokal dalam menginterpretasikan nilai-nilai keislaman dengan suatu metodologi, yang mengedepankan pendidikan karakter dan kemandirian serta berorientasi kepada masyarakat. Lulusan-lulusan pesantren dipersiapkan untuk mengabdi di masyarakat dengan bekal pengetahuan keislaman yang mendalam.

NU besar di kalangan masyarakat tradisionalis yang jumlahnya mayoritas dan berada di pinggiran. Sebagian besar dari warga NU adalah pelaku UMKM, Petani, dan Nelayan. Wajar bila beberapa pengamat menyebutkan bahwa pelaku UMKM yang jumlahnya lebih dari 65 juta itu sebagian besar adalah warga NU. Mereka tersebar dan menjadi wali-wali santri (orang tua) yang menopang perekonomian pesantren sebagai tempat anak-anak mereka dididik.

Baca juga:  Pemimpin Agama, Virus Corona, dan Tanggung Jawab Kemanusiaan Kita

Dalam konteks demografi, jumlah penduduk Indonesia semakin bertambah, terutama usia produktif. Bahkan Indonesia telah bersiap menerima bonus demografi, dimana pada tahun 2030 jumlah penduduk millennials, dengan rentang usia 15-64 tahun, akan mendominasi hingga 70 persen dari total penduduk. Tentu mayoritas dari mereka adalah warga NU yang tersebar di berbagai profesi dan entitas produktif, termasuk UMKM. Besarnya jumlah penduduk usia produktif penting bagi perekonomian suatu negara. Dalam suatu teori pertumbuhan ekonomi klasik, sebagaimana diutarakan Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus, dan John Stuart Mill, jumlah penduduk menjadi sandaran penting sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Ekonomi Indonesia dibangun oleh fondasi produktifitas penduduk yang di-proxy-kan oleh UMKM. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan Produk Domestik Buro (PDB) nasional yang didominasi oleh sektor UMKM sebesar 60.34 persen. UMKM yang mewakili ekonomi umat (mass market) memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. UMKM telah menyerap hingga 97 persen dari total tenaga kerja, menyediakan hingga 99 persen dari total lapangan kerja, menyumbang 14,17 persen dari total ekspor dan 58,18 persen dari total investasi.

Besarnya jumlah UMKM yang mayoritas merupakan warga NU menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Bank Syariah Indonesia (BSI) hasil merger ini. BSI sebagai entitas syariah selayaknya menjadikan NU sebagai mitra strategis dalam mewujudkan visi misi korporasinya. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya, pertama NU sebagai organisasi keagamaan Islam dibutuhkan dukungannya dalam mengawal BSI sebagai bank pilihan umat Islam. NU memiliki perangkat penghasil fatwa atas hukum-hukum syariah dalam suatu lembaga otonom yang bernama Lembaga Bahtsul Masa’il Nahlatul Ulama (LBM NU). LBM NU bisa memperkuat positioning BSI dalam konteks relasi kesyariah-an dalam mengembangkan produk-produk perbankan yang akan diterima oleh umat. NU bahkan akan menjadi penopang BSI kala menghadapi gerakan kelompok yang men-degradasi bank syariah, yang menempatkan bank syariah sebagai bagian dari riba. NU telah melahirkan ulama-ulama besar yang diakui dunia dengan kemampuan keagamaan yang mumpuni.

Kedua, NU telah teruji komitmen kebangsaanya. NU lahir jauh sebelum masa kemerdekaan republik Indonesia. NU bahkan turut berjuang melawan penjajah yang melahirkan resolusi jihad sebagai cikal bakal peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, yang kini diperingati sebagai hari Santri setiap tanggal 22 Oktober. Komitmen kebangsaan penting dalam mensukseskan visi Bank Syariah Indonesia, “Menjadi 10 Bank Syariah Terbesar di Dunia”.

Ketiga, NU memiliki basis jamaah yang sangat besar dan mayoritas pelaku UMKM. Jumlah warga NU yang mencapai lebih dari 100 juta adalah market yang potensial bagi BSI, baik dalam konteks Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun mitra bisnis dalam bentuk skema pembiayaan (PYDS). Sebanyak 23 ribu Pesantren di bawah naungan NU tersebut, di dalamnya terdapat aktifitas-aktifitas ekonomi, seperti kebutuhan pokok para santri dalam bentuk fast moving consumer goods (FMCG), Koperasi Syariah, Baitul Maal wat-Tamwil (BMT), Lembaga Amil Zakat, dan sebagainya.

Selain peluang, NU dan BSI juga sama-sama menghadapi tantangan di tengah modernitas dan teknologi digital yang volatile, uncertain, complex, dan ambiguous (VUCA). Era digital sebagai buah dari revolusi industri 4.0 telah memaksa seluruh lapisan untuk berubah mengikuti alur baru, tidak terkecuali bank syariah dan NU. Bank syariah relatif lebih cepat survive dalam mengikuti alur era digital dengan lahirnya produk-produk dan layanan digital. Namun kondisi berbeda mungkin akan dialami NU dengan basis jamaah tradisionalis dan pesantren yang dipersepsikan belum adaptif kala menghadapi derasnya arus digital. Beberapa data menunjukkan literasi digital yang masih rendah, dimana baru sebesar 18 persen UMKM yang mampu go digital dengan memanfaatkan media online dalam menjalankan bisnis, serta baru 10 persen pesantren yang melek digital.

Baca juga:  Syi’ah, Ahlul Bait, dan Sikap Kaum Muslim yang Sewajarnya

NU belakangan tampak mulai membiasakan diri dengan dunia digital. NU Online (www.nu.or.id) menjadi salah satu media dengan konten-konten menarik, milik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang banyak dikunjungi. Kini NU mulai serius menggarap teknologi digital dalam gerakan dakwah dan ekonomi, membangun teknologi informasi berbasis Big Data. Selain itu, pengembangan NuCare.id yang merupakan aplikasi digital Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU). Sinergi BSI dan NU dalam mengelola serta mengembangkan CSR dan ZIS akan menjadi relasi yang saling menguatkan.

Bank Syariah Indonesia (BSI) sendiri menargetkan porsi pembiayaan UMKM mencapai 23% dari total pembiayaan pada Desember 2021. Proyeksi dana yang disalurkan kepada UMKM akan mencapai Rp53,83 triliun. Hal ini tentu peluang baik bagi pelaku UMKM di tengah masalah minimnya akses finansial. NU dengan mayoritas warga yang merupakan pelaku UMKM merupakan pasar yang tepat bagi industri keuangan syariah. BSI memiliki potensi besar menjadi penggerak kebangkitan ekonomi umat.

Selaras dengan itu, Indonesia dengan kekuatan UMKM juga berpotensi menjadi sentral ekonomi syariah dunia. Dunia tengah melirik industri halal di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar. Selain besarnya jumlah UMKM yang dimiliki, Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, pertumbuhan masyarakat  golongan berpendapatan menengah di Indonesia akan mendominasi perekonomian sampai dengan 2040. Jumlahnya diprediksi sebesar 75,5 persen dari total populasi, dimana sebagian besar mereka adalah umat Islam. Masyarakat golongan berpendapatan menengah bisa menjadi market maupun pelaku ekonomi syariah. Dengan bertambahnya kelas menengah muslim, pangsa pasar ekonomi syariah tentu akan semakin meningkat.

Bank Syariah Indonesia (BSI) akan menjadi daya dorong efektif bagi upaya konsolidasi sektor keuangan syariah. Dengan modal yang kuat serta SDM unggul akan menjadikan BSI sebagai entitas yang lincah dan kompetitif di industri keuangan. Dalam jangka panjang, nilai yang diciptakan dari hasil konsolidasi tiga bank syariah akan jauh lebih tinggi serta efisien dari saat ini. Kondisi tersebut tentunya menguntungkan baik bagi masyarakat, investor, serta pengusaha termasuk pelaku UMKM yang akan semakin terbantu mendapat akses pembiayaan murah.

Sinergi BSI dan NU akan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah. BSI selain memiliki modal kuat serta aset yang besar, juga memiliki jaringan dan kekhasan dari tiga bank legacy yakni BSM, BNIS, BRIS. Sedangkan NU memiliki jaringan struktural yang kuat dan luas mulai dari Pengurus Besar (PB), Pimpinan Wilayah (PW), Pimpinan Cabang (PC), Majelis Wakil Cabang (MWC), hingga Ranting yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan Luar Negeri (PCINU).

Ada sebuah harapan besar atas aksi korporasi dalam bentuk merger tiga bank syariah ini, hingga pada saatnya Bank Syariah Indonesia (BSI) akan menjadi bank syariah terbesar di dunia, yang akan menjadi penggerak kebangkitan ekonomi umat, serta menjadi kebanggaan yang dipersembahkan oleh Indonesia untuk dunia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top