Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang Tafsir dan Ilmu Tafsir, Univesitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Mengajar di beberapa kampus. Sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur.

Sisi lain Milkul Yamin: Budak, Zina, dan Perempuan

“Kesalahan” Syahrur (dalam tanda kutip) adalah dia menyebut kontrak hubungan laki-laki dan perempuan di luar pernikahan lazim (ijab, Kabul, saksi, wali) dan di luar perzinahan dengan sebutan “Milkul Yamin”. Padahal para ulama menyebut dengan “nikah” atau “syibhun nikah”.

Tidak ada perbedaan antara Syahrur dengan mayoritas ulama dalam kasus perjanjian laki-laki dan perempuan bukan mahram dengan disaksikan dua orang saksi, persetujuan wali dan dengan niat untuk selamanya. Dua-duanya menyebut dengan nikah. Sebagaimana tidak ada perbedaan keduanya dalam kasus hubungan seksual laki-laki dan perempuan satu mahram, antara mertua dan menantu, laki-laki dengan perempuan pasangan laki-laki lain dan sebaliknya, laki-laki dengan laki-laki, dan sebagainya. Keduanya sepakat menyebut itu zina.

Yang menjadi perbedaan adalah praktik-praktik di luar itu. Perjanjian laki-laki perempuan untuk menjadi suami-istri dalam waktu tertentu, Syiah menyebut “nikah mut’ah”, Syahrur menyebut “Milkul Yamin”. Ketika dalam perjanjian itu ada syarat si istri bersedia tidak mendapatkan hak penuh sebagai istri. Sebagian ulama menyebut pratik seperti itu dengan “nikah misyar”, sedangkan Syahrur menyebut “Milkul Yamin”.

Ketika perjanjian itu dimaksudkan supaya mantan suami yang mentalak tiga mantan istrinya bisa menikahinya lagi, para ulama menyebut “nikah muhallil”, sedangkan Syahrur menyebut “Milkul Yamin”.

Ketika perjanjian itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan demi mengikat hubungan mereka tapi karena satu dan lain hal tidak menempuh pernikahan yang lazim, ulama menyebutnya “Syibhun Nikah”, sedangkan Syahrur menyebut “Milkul Yamin”.

Meskipun ada perbedaan penyebutan dalam praktik-praktik tersebut antara Syahrur dan ulama, tapi hakikatnya sama. Yakni si perempuan “milik” laki-laki tapi bukan kepemilikan yang diakui oleh negara sebagaimana lazimnya pernikahan resmi. Poin ini penting untuk kita “garisbawahi”.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (6): Kita Semua Tuan Tanah

Dalam agama, tetap dianggap sebagai “Nikah” atau “Syibhun Nikah” yang tidak bisa diterapkan hudud, bahkan dalam kasus musakanah, aqad ihsan, friend, atau hibah. Dalam Qawaid Fiqhiyyah ada kaidah asy-syubhatu tusqitu al-hudud. Atau al-hudud tasquthu bi asy-syubuhat.

As-Suyuthi dalam al-Asybah-nya menyebut beberapa contoh, di antaranya “Nikah Mut’ah”, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, nikah yang dihalalkan oleh suatu kaum, diharamkan oleh kaum yang lain.

Kata dalam Alquran

‘Adam At-Taraduf (tidak ada sinonim kata) dalam Alquran. Teori ini juga saya diadopsi dalam manhaj tafsir Khasa’isi, dengan pertimbangan bahwa setiap kata bahkan huruf dalam Alquran mengandung I’jaz sehingga tidak bisa dihilangkan, ditambahi, atau digantikan dengan huruf atau kata yang lain.

Penggunaan kata sinonim terhadap suatu kata dalam Alquran, baik dari Alquran itu sendiri atau tidak hanyalah sekedar cara untuk memahami yang tentu saja kebenarannya tidak mutlak.

Pemilihan Allah terhadap suatu kata, bahkan huruf dalam Alquran mempunyai rahasia makna yang dalam dan luas. Pembatasan kata “kutiba” misalnya hanya untuk makna diwajibkan adalah tindakan distorsif. Bahwa puasa bulan Ramadan hukumnya wajib adalah satu hal yang memang harus diyakini. Tapi membatasi makna ayat “kutiba ‘alaikumush-shiyamu” sebagai domain fikih semata adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Demikian halnya dengan kalimat “malakat aimanukum” (Milkul Yamin). Di sini Allah memilihnya, bukan kalimat atau kata yang lain.

Baca juga:  Menyimak Gaduhnya Wacana Sains dalam Islam

Bahwa para ulama juga umat Islam memahami kebolehan menyalurkan hasrat seksual kepada istri-istri dan budak (kata ima’  adalah jamak dari amatun) –sebagai penafsiran terhadap malakat aimanukum (QS Al-Mu’minun : 5-6) itu adalah suatu pemahaman yang telah disepakati dan diyakini. Tapi membatasi makna malakat aimanukum dengan ima’ patut ditinjau kembali, dalam kontek pemahaman atau tafsir.

Kalimat “malakat aimanukum” yang secara bahasa mempunyai arti apa yang kamu miliki sendiri dengan kepemilikan penuh, tampaknya tidak berlebihan kalau diterapkan pada hubungan laki-laki perempuan yang terikat dalam suatu perjanjian yang levelnya di bawah pernikahan (‘alaqah zaujiyyah) di mana laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang ideal dalam hubungan internal mereka, dalam rumah tangga, masyarakat, dan negara.

Perempuan adalah pasangan (zauj), yang menggenapi, melengkapi laki-laki. Dalam “Milkul Yamin”, pihak laki-laki cenderung lebih dominan. Laki-laki memiliki (malaka) perempuan. Ini, pada jaman dahulu, diperbolehkan dalam Islam sebagai alternatif di luar pernikahan yang ideal (dalam bentuk budak yang dimiliki). Sekarang?

Sekarang, digunakan Syahrur tapi dalam bentuk ikatan di mana laki-laki memilki perempuan tapi tidak dalam bentuk pernikahan, sebagaimana diterangkan di atas.

Sampai di sini, barangkali bisa diduga bahwa suatu ikatan bisa dinamakan pernikahan –menurut Syahrur– apabila itu bersifat resmi dan ideal. Sementara yang tidak demikian, cukup disebut “Milkul Yamin”, meski para ulama tetap menyebut “Nikah” atau “Syibh Nikah”.

Perbudakan

Banyak yang mengatakan bahwa terhapusnya perbudakan adalah cita-cita Islam. Tanpa disadari, ungkapan ini mengindikasikan bahwa misi Nabi Muhammad saw selama hidupnya belum selesai dan harus dilengkapi, disempurnakan oleh orang sesudahnya.

Baca juga:  Energi Nur Rofiah Mendakwahkan Keadilan Gender Islam

Kalau kita baca buku-buku sejarah atau hadis-hadis tentang sikap dan pengajaran Nabi kepada para Sahabat dalam hal perbudakan, Tampak bahwa misi Islam sudah selesai. Budak tidak boleh disakiti, makanan, dan minuman yang diberikan harus sama dengan makanan dan minuman tuannya. Budak mempunyai posisi yang terhormat dalam keagamaan, masyarakat, bahkan negara (lihat Dinasti Mamalik).

Ahmad Syafiq dalam Ar-Riq fil Islam menyebutkan bahwa mafhum budak dalam Islam sama sekali berbeda dengan pemahaman Eropa, Barat apalagi Romawi, Persia dan negara-negara lain, bahkan agama lain. Tidak ada kekerasan, pengekangan berekspresi dalam perbudakan Islam. Yang ada hanyalah bahwa si budak milik orang lain, yang ditanggung hidup dan kehidupannya.

Sebagai contoh, budak Umar bin Khattab lebih memilih tetap menjadi budak daripada menjadi merdeka. Maghza ajaran Islam tentang perbudakan adalah yang mampu membantu, melindungi, menghidupi yang tidak mampu. Apakah sistem perbudakan itu masih ada atau tidak ada?

Islam tidak mementingkan nama, simbol. Apa artinya penyebutan dunia bebas dari perbudakan tapi dalam praktiknya masih ada. Dengan demikian bisa dipahami pendapat Syekh Sholih al-Fawzan yang tidak menafikan perbudakan. Bukan dalam pengertian beliau menyetujui pengekangan hak, boleh menyiksa, menyakiti, dan seterusnya. Karena memang ajaran Islam terhadap perbudakan sama sekali jauh dari hal itu. Tapi dalam pemahaman itu ada dalam ajaran Islam dan Islam telah menunjukkan ajaran dan perlakuannya dengan ideal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top