Moh. Rasyid
Penulis Kolom

Pegiat Literasi di Komunitas Ghai' Bintang, Rubaru, Sumenep, Jawa Timur. Aktif menulis di beberapa media nasional maupun regional, seperti Kompas, Jawa Pos, Duta Masyarakat, Tribun Jateng, dan platform-platform online lainnya.

Berkah Ekonomi Syariah (3): Membangun Gaya Hidup Halal

Whatsapp Image 2022 10 04 At 22.22.45

Hari ini ada semacam optimisme Muslim Indoneisa-bahkan dunia-bukan saja untuk berekonomi, tapi justru bergaya hidup secara Islami. Orang-orang biasa menyebut gejala ini sebagai fenomena “Halal Lifestyle”. Banyak orang menulisnya dari sudut pandang yang beragam. Riset-riset ilmiah yang menyuguhkan fenomena-fenomena menarik tentang halal lifestyle yang dilengkapi dengan data-data kuantitatif pun dilahirkan.

Pada bagian ini saya tidak akan mengulang-ulang apa yang sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh orang lain. Tulisan ini lebih sebagai perenungan reflektif-argumentatif atas fenomena halal lifestyle, sekaligus mencoba menawarkan perspektif baru yang dipandang lebih holistik dan progresif, dengan tetap merujuk pada nilai-nilai luhur syariat Islam.

Dari Doktrin Teologis ke “Intervensi” Negara

Ketika mendengar istilah “halal”, mungkin konsentrasi kita langsung tertuju pada barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman. Tapi ketika istilah “halal” disandarkan pada selain barang konsumsi seperti dunia fashion, fasilitas akomodasi, atau pariwisata, itu namanya gaya hidup halal (Hendri H. A. dan Mila Sartika, 2019).

Dalam acara Indoneisa International Halal Lifestyle Expo and Conference tahun 2016, Ma’ruf Amin (Ketum MUI kala itu) memberi sambutan. Ia mengartikan bahwa halal lifestyle adalah pola atau gaya hidup yang tidak melanggar nilai-nilai ajaran Islam. Definisi ini masih sangat abstrak. Karenanya, definisi halal lifestyle tidak akan pernah final dan membuka ruang-ruang interpretasi lain yang dipandang lebih holistik.

Baca juga:  Hijrah sebagai Proses Transformasi

Fenomena halal lifestyle semakin ke sini nampaknya semakin mendapat apresiasi positif khususnya dari kalangan umat Islam. Bentuknya pun semakin beraneka ragam. Produk-produk komoditas seperti makanan-minuman halal, fashion, farmasi, obat-obatan, lembaga keuangan syariah, hotel syariah, dan bahkan pariwisata syariah (kominfo.go.id) belakangan bermunculan menandai semangat mereka untuk hidup halal.

Dalam logika umat Islam, hidup secara halal-dalam segala bentuknya-merupakan tanggung jawab keagamaan dan oleh karena itu wajib dipenuhi. Salah satu dalil normatif yang sering kali dijadikan pijakan untuk hidup halal, ialah surah Al-Baqarah ayat 168. Selain karena menjadi “tuntutan” agamanya, mereka juga mendapat afirmasi dari “intervensi” negara berupa lahirnya sejumlah Undang-undang berikut seperangkat aturan penyelenggaraannya dalam hal produk halal.

Secara singkat, yang menjadi cikal-bakal regulasi produk halal di Indonesia adalah UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang kemudian dirinci dalam PP No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang N. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Penyelenggaraan teknisnya, diatur dalam peraturan turunannya, yaitu PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Konsep Harus Holistik

Kendati sudah banyak regulasi yang mengatur produk halal, fenomena halal lifestyle tidak bisa hanya dilihat menggunakan kacamata legal formal. Ini karena, dalam penelitian saya, tolok ukur “ke-halal-an” yang digunakan legal formal hanya fokus memeriksa proses terjadinya transaksi-industrial (hukmu al-aqad) yang sesuai dengan ketentuan fikih, objek komoditi yang diolah menjadi produk industri harus berasal dari bahan halal, serta proses pengolahannya steril dari benda-benda najis. Karena itu, dibutuhkan pembacaan yang lebih menyeluruh sebagai pendukung legal formal, misalnya kacamata sosiologis.

Baca juga:  Doa yang Menembus Langit

Ekonomi syariah merupakan konsep nilai yang basis epistemologinya disarikan dari sumber-sumber primer hukum Islam, dan “halal” merupakan wujud dari nilai itu. Fikih muamalat mendefinisikan ekonomi syariah sebagai aktivitas ekonomi yang bebas riba, tidak eksploitatif, mengandung penipuan serta ketidakjelasan, dan yang paling pokok bisa menjamin kemaslahatan bagi sebanyak mungkin orang.

Jika semua unsur di atas terpenuhi dalam hal gaya hidup halal, maka absah atau halal menurut syariat Islam. Jika boleh saya rangkum, semua unsur di atas mengerucut pada dua dimensi: vertikal dan horizontal. Keduanya hanya bisa dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan.

Bagi umat Islam, tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang dilarang oleh syariat Islam sudah cukup merepresentasikan gaya hidup halal. Pola hidup yang demikian juga absah dari sisi relasi vertikal, karena mengandung ketaatan personal antar masing-masing individu dan Tuhannya. Namun, membangun gaya hidup halal tidak cukup berhenti di dalam upaya memperbaiki relasi vertikal, melainkan harus berlanjut pada perbaikan relasi horizontal.

Kita tak bisa memungkiri satu fakta: para aktor halal lifestyle khususnya di bidang fashion, atau sektor pariwisata dan industri perhotelan syariah rata-rata terdiri dari golongan kelas menengah ke atas. Mereka boleh saja menikmati perkembangan mode busana Islami, berkunjung ke kawasan wisata indah, dan menggunakan fasilitas-fasilitas akomodasi bergengsi. Tapi mereka tidak bisa serta-merta mengabaikan tanggung jawabnya atas kelompok bawah yang tidak memiliki modal sosial maupun material.

Baca juga:  SARS-CoV-2 sebagai Senjata Biologi?

Dengan terpenuhinya dimensi vertikal dan horizontal sekaligus, gaya hidup halal tidak menyempit ruang geraknya dalam doktrin non-ribawi dan dualisme-biner berupa halal-haram, tapi juga bisa menyatakan fungsi sosialnya yang sangat luhur. Gaya hidup halal yang hanya mementingkan dimensi vertikal dan abai atas dimensi horizontal, hanya akan memperjelas disparitas antara si kaya dan miskin. Pada titik ini, fenomena gaya hidup halal barangkali lebih merupakan nestapa sosial.

Islam adalah basis fundamental gaya hidup halal. Islam, menurut Asghar Ali Engineer (2009), lahir sebagai respon atas suatu kondisi historis dan adanya kebutuhan akan petunjuk hidup yang utuh dalam bidang religio-kultural dan sosio-ekonomi. Islam adalah sistem spiritual sekaligus sosial yang komprehensif, dan responsif terhadap realitas sosial yang sedang berlangsung. Demikianlah pembicaraan tentang gaya hidup halal, harus mampu memberi respon positif atas kebutuhan masyarakat, khsususnya kelompok kecil di akar rumput. Gaya hidup halal harus holistik, membumi, dan memupuk kepedulian pada lingkungan sekitar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top