Masih banyak dari kalangan laki-laki, khususnya para suami menganggap bahwa memukul istri merupakan ajaran Islam dalam rangka mengembalikan sang istri tatkala melakukan sebuah penyelewengan dalam agama, seperti: nusuz (tidak memenuhi kewajibannya). Dalil yang menjadi pijakan untuk melegalkan perbuatan itu adalah Surat An-nisa’ Ayat 34:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء/34[
Artinya: “Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.” (Surat An-Nisa’ ayat 34).
Pertanyaannya apakah benar demikian, Islam melegalkan pemukulan terhadap istri dengan dalih di atas dan merupakan ajaran Islam?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu bagaimana relasi suami istri dalam rumah tangga, karena masih ada anggapan bahwa yang berkuasa di dalam rumah tangga adalah suami, kepala rumah tangga berhak melakukan apa saja dalam mengatur rumah tangganya tersebut. Ekstraksi ini berangkat dari kesalahan dalam memahami ayat al-Qur’an tentang hak qiwamah dalam rumah tangga sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 34.
Menyitir sebuah postingan dari Ust. Imam Nakha’i bahwa ulama tafsir kontemporer Imam Asy-Sya’rawi memaknai qiwamah dalam magnum opusnya bukan sebagai kepemimpinan atau kekuasaan melainkan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap istri:
والقوامة مسئولية وليست تسلطاً، والذي يأخذ القوامة فرصة للتسلط والتحكم فهو يخرج بها عن غرضها؛ فالأصل في القوامة أنها مسئولية لتنظيم الحركة في الحياة. ولا غضاضة على الرجل أن يأتمر بأمر المرأة فيما يتعلق برسالتها كامرأة وفي مجالات خدمتها، أي في الشئون النسائية ، فكما أن للرجل مجاله، فللمرأة مجالها أيضاً.
Artinya: “Qiwamah itu adalah pertanggungjawaban bukan “penguasaan”. Suami yang menjadikan qiwamah sebagai kesempatan untuk menguasai dan menghakimi, berarti ia telah mengeluarkan dari genuinnya—tidak ada aib apapun baginya untuk mengajak musyawarah sang istri dalam peran-peran yang berkaitan dengan risalah perempuan dan sebaliknya ” (Tafsir asy-Sya’rawi hal. 617).
Lagi pula hak qiwamah –sebagaimana makna di atas- bagi suami disebabkan karena dua hal: laki-laki diberi kelebihan daripada perempuan dan suami menafkahi sang istri. Bukankah sekarang sudah banyak perempuan yang setara dengan laki-laki, baik dalam ranah intelektual ataupun spiritual dan banyak pula istri yang menjadi tulang punggung rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya bersama suami dan anak-anaknya.
Lantas, apakah hak qiwamah itu akan berpindah kepada sang istri? Hal ini yang dijelaskan dalam salah satu tafsir bahwa hak qiwamah akan menjadi hilang ketika suami lalai dan enggan untuk menunaikan kewajibannya, seperti: menafkahi sang istri. (at-Tafsir al-Hadist hal. 106, j. 8)
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa tidak ada kepemimpinan atau kekuasaan dalam rumah tangga –sesuai tafsir di atas- yang ada justru tanggung jawab. Baik suami ataupun istri sama-sama memiliki potensi untuk bertanggung jawab dalam hal-hal ke-rumahtangga-an. Meminjam diksi yang disuguhkan ust. Nakha’i bahwa keluarga ideal adalah keluarga yang dibangun atas dasar kesetaraan, kemitraan, keseimbangan dan kesalingan dalam segala hal.
Karena dalam rumah tangga tak ada kepemimpinan atau kekuasaan, maka bagi suami tak boleh sewenang-wenang dalam mengatur sang istri, tak boleh sembarangan dalam menghukum pasangannya tersebut sekalipun ia telah nusuz (tidak melaksanakan kewajibannya), memang dilegalkan oleh Islam untuk menghukum sang Istri, namun harus hukuman yang edukatif. Menasehati dan meninggalkan istri di tempat tidur (tidak menyetubuhinya) itu bersifat edukasi namun tidak dengan memukul sang istri.
Penulis beranggapan bahwa memukul istri bukan termasuk ajaran Islam. Mungkin sudah ada beberapa yang membahas tema ini, namun kebanyakan tidak bersifat komprehensif, terpisah-pisah dan cenderung menggunakan satu-dua perspektif. Oleh karena itu, tulisan ini (mencoba) mencari suatu hal yang bisa menjadi distingsi dari tulisan lain dengan mengolaborasikan beberapa perspektif, sekurangnya ada tiga perspektif yang penulis gunakan, diantaranya: Fiqh, Tafsir dan Hadist, agar kajian ini lebih komprehensif.
Dalam ranah fiqh dijelaskan bahwa memukul istri harus bersifat edukasi, tak boleh mencederai dan itupun sebagai langkah terakhir ketika sang istri masih tetap membangkang setelah dinasehati dan ditinggal di tempat tidurnya, karena bisa saja istri tak lagi membangkang dengan dinasehati tanpa ada pemukulan. (Hasyiyah Bujairimi, hal. 182, j. 3) Bahkan yang dimaksud memukul tanpa menceredai, ulama’ fiqh mencontohkan dengan menggunakan sapu tangan dan alat bersiwak, ini saking tidak dianjurkannya memukul terhadap istri, karena esensi dari memukul tersebut tak lain untuk mendidik bukan menghardik. Penulis beranggapan bahwa kebanyakan dari suami yang memukul istri cenderung mencederai tak ada sifat edukasi, terlebih jika dikuasai rasa amarah.
Para mufassir sepakat bahwa memukul istri itu berbahaya dan memiliki aturan yang sangat ketat dalam merealisasikannya, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu ‘Asyur dalam master piecenya, kesarjanaan Muslim asal Tunisia tersebut secara tegas menyatakan bahwa di samping memukul merupakan hal yang membahayakan dan sangat sulit membatasinya karena hal itu dilegalkan dalam keadaan mendesak dan dengan aturan-aturan yang ketat. Jika pemukulan itu dilegalkan secara umum, para suami cenderung melakukannya didasari dengan emosi tinggi, sedikit sekali seseorang menghukum sesuai kadar kesalahan.
Bahkan jika sudah menyeluruh kekerasan suami terhadap istri di sebuah negara, bagi pemerintah boleh (bahkan mungkin wajib) memberikan aturan-aturan khusus terkait ke-rumahtangga-an yang sesuai dengan syariat. (at-Tahrir wa at-Tanwir, hal. 410, j. 3)
Rasulullah menegur para suami yang suka memukuli istrinya, hal itu tercatat rapi dalam beberapa sabdanya yang sudah terbukukan, sebagaimana beliau bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istri layaknya memukul hamba sahaya, padahal ia (para suami) menggauli (istri)-nya di ujung hari” (Shahih Bukhari, Hal. 32, J. 7). Rasulullah juga melarang suami untuk memukul istrinya, sebagaimana beliau bersabda: “Jangan memukul hamba Allah perempuan/istri” (Sunan Abi Dawud, Hal. 211, j. 2).
Lalu dengan dalih apa bahwa memukul istri merupakan ajaran Islam?, Rasulullah yang telah menjadi teladan utama dalam agama Islam saja tak melalukan hal itu, sebagaimana pengakuan Sayyidah Aisyah: “Rasulullah tidak pernah memukul apapun dengan tangannya, tidak memukul wanita dan pembantu” (Shahih Muslim, Hal. 1814, j. 4).