Sejak awal tahun 2017, komunitas NU Jerman memiliki tujuan utama untuk bertransformasi menjadi organisasi resmi dari dua sudut pandang: (1) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai jam’iyah induk, dan (2) pemerintah Jerman mengingat negara Jerman merupakan basis utama khidmah para pengurusnya.
Tujuan pertama telah dicapai pada bulan Agustus 2018: Komunitas NU Jerman resmi diakui sebagai Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Jerman oleh PBNU melalui SK PBNU nomer 259/A.II.04.d/08/2018. Hal ini merupakan sebuah pencapaian besar, mengingat pengakuan dari PBNU ini dapat dilihat sebagai restu dari para masyayikh, baik yang saat ini masih hidup dan aktif menjabat maupun yang telah meninggal. Demikian pula hal ini dapat dilihat sebagai ketersambungan “sanad” kepada jam’iyah besar warisan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari ini.
Setelah melalui perjalanan cukup panjang, tujuan kedua akhirnya dicapai pula per 4 Februari 2020: PCI NU Jerman secara resmi juga telah diakui eksistensinya oleh pemerintah Jerman melalui Pengadilan Distrik Charlottenburg, Berlin, sebagai eingetragener Verein atau asosiasi teregistrasi. Nama asosiasi yang digunakan dalam akte resmi tersebut ialah “Nahdlatul Ulama Jerman (NUJ) e.V.” dengan alamat kantor Landsberger Allee 394, Büro 721-723, 12681 Berlin.
Dengan demikian, PCI NU Jerman dapat bergerak secara legal formal di seluruh Jerman untuk mencapai tujuan organisasi, antara lain, turut menyebarluaskan prinsip-prinsip Islam ahlussunnah wal jama’ah dengan karakter rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, pengembalian pajak dapat diperoleh bagi para donatur PCI NU Jerman setiap kali melakukan pelaporan pajak tahunan.
Hal ini dapat terwujud atas inisiatif dan kerja keras dari habib M. Husein Al-Kaff (Wakil Ketua Tanfidziyah), didukung penuh oleh KH. Syaeful Fatah (Rais Syuriyah), Dr. Wahyu W. Hadiwikarta, Prof. Hendro Wicaksono, dan gus Zacky K. Umam (Syuriyah), serta pak Bram Fernandin, pak Vembra Trigerya Vidjaja, dan pak Yudi Ardianto (Mustasyar) bersama-sama dengan para pengurus PCI NU Jerman lainnya.
Kendati dua tujuan sangat penting ini telah tercapai, perjalanan PCI NU Jerman sesungguhnya masih panjang. Berawal dari sebuah komunitas yang didirikan pada bulan April 2010 atas inisiatif Dr. Syafiq Hasyim (Universitas Freie Berlin), Dr. Suratno (Universitas Frankfurt), Prof. Asfa Widiyanto (Universitas Bonn), Dr. Jaenal Effendi (Universitas Göttingen), dan Dr. Arli Parikesit (Universitas Leipzig), kini PCI NU Jerman menjadi rumah bagi sekitar 150 nahdliyin – dan jumlah ini insya Allah akan terus meningkat – yang tinggal di berbagai kota di Jerman.
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi beberapa tantangan utama yang dihadapi PCI NU Jerman dalam rangka memasuki abad kedua Nahdlatul Ulama yang sudah berada di depan pintu. Terlebih lagi momentum penting ini juga berbarengan dengan berlangsungnya revolusi industri 4.0.
1. Proses Kaderisasi yang Berkesinambungan
Sebagian besar warga nahdliyin di Jerman telah bekerja secara permanen dalam berbagai bidang, khususnya sains dan teknologi. Bidang-bidang keahlian yang didalami diantaranya ialah rancang bangun pesawat, manajemen industri dan logistik untuk menyokong revolusi industri 4.0, data mining serta pengolahan big data untuk pencegahan penyakit kanker, telekomunikasi serat optik berkecepatan tinggi, serta bidang-bidang cutting edge lainnya. Jalannya roda organisasi PCI NU Jerman juga tak dapat dilepaskan dari peran serta nahdliyin yang telah menjadi mukimin. Mereka memiliki motivasi yang sangat tinggi untuk berkhidmah ditengah kesibukan pekerjaan sehari-hari.
Berkebalikan dengan badan/organisasi berbasis NU di Indonesia yang biasanya didominasi alumni pesantren, latar belakang nahdliyin di Jerman justru didominasi alumni non-pesantren, meskipun sebagiannya dibesarkan dalam kultur NU. Ini adalah tantangan pertama dari internal PCI NU Jerman: untuk segera menyiapkan proses kaderisasi internal yang kontinyu dan menyeluruh. Hal ini dapat dicapai antara lain melalui diadakannya Madrasah Kader Penggerak NU (MKPNU) atas bimbingan PBNU/organisasi/badan terkait, serta program-progam rutin (darat maupun online) da’i/da‘iyah NU secara rutin untuk mengkaji kitab-kitab dasar yang biasa diajarkan di pesantren, serta program-program ke-NU-an lainnya.
2. NU sebagai Wajah Islam Moderat untuk Jerman, Eropa, dan Dunia
Dari sudut pandang eksternal jam’iyah, PCI NU Jerman juga memiliki tantangan kedua: dengan maraknya kasus terorisme/radikalisme atas nama agama dan kasus kekerasan yang terkait dengan imigran dari berbagai daerah konflik, pemerintah Jerman bersama berbagai organisasi muslim diketahui sedang merumuskan konsep “Islam alternatif” yang dapat terintegrasi dengan baik ditengah-tengah masyarakat Jerman. Alternatif sebab sejauh ini kata “Islam” banyak diasosiasikan dengan negara-negara Timur Tengah yang sebagiannya sedang mengalami konflik ataupun dianggap memiliki masalah HAM. Berbeda dengan Indonesia; hal ini menjadi peluang besar bagi NU untuk menawarkan konsep serupa “Islam Nusantara“, namun untuk konteks negara dan masyarakat Jerman.
Melalui hal semacam inilah NU diharapkan dapat menjadi model penerapan prinsip-prinsip “Islam Moderat/Wasathiyah” tidak hanya bagi Jerman, namun juga Eropa dan bahkan dunia. Pada gilirannya, gerakan islamophobia yang akhir-akhir ini kembali menguat di Barat dapat tergerus dengan sendirinya.
3. Peningkatan Kualitas SDM Nahdliyin
Selain itu, Jerman sebagai negara yang memprakarsai bidang revolusi industri 4.0, telah cukup lama mempersiapkan infrastruktur maupun SDM-nya untuk menghadapi era disruptif ini. Hal ini terlihat dari banyaknya insentif baik dari pemerintah dan industri, baik tingkat lokal, nasional, hingga Uni Eropa, kepada perguruan tinggi untuk bersama-sama menjalankan proyek-proyek penelitian dalam bidang-bidang terkait. Selain itu, disebabkan pertumbuhan demografi yang negatif (rerata per keluarga Jerman memiliki hanya seorang anak), Jerman memiliki kebutuhan tinggi akan tenaga kerja.
Mahasiswa asing juga banyak mewarnai universitas-universitas terbaik Jerman dengan harapan mereka yang menyelesaikan pendidikan tinggi di Jerman untuk kemudian bekerja di perusahaan-perusahaan Jerman. Hal ini seyogyanya dipandang sebagai kesempatan baik bagi santriwan-santriwati maupun mahasiswa-mahasiswi dari universitas-universitas NU untuk meneruskan jenjang pendidikan tinggi/pekerjaannya ke Jerman. PCI NU Jerman tentu diharapkan dapat menjadi jembatan antar berbagai pihak dari masing-masing negara untuk saling mengisi.
4. Kolaborasi Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Selebihnya, berkembang pesatnya beberapa organisasi/gerakan diaspora Indonesia maupun diaspora dari negara lainnya di Jerman yang – meminjam istilah KH. Dian Nafi‘ – atmosfernya menjadi menggumpal mengeras sebagai tantangan kepada visi dan misi NU, juga turut menjadi tantangan tersendiri bagi PCI NU Jerman: bagaimana komunikasi serta kolaborasi dalam mencapai kalimat sawāʾ (common ground) antar organisasi dapat terus berlangsung meski, misalnya, terdapat perbedaan ideologi. Di saat yang sama PCI NU Jerman juga dituntut melebarkan sayap kolaborasinya dengan berbagai stiftung (yayasan) dan lembaga, pemerintah maupun non-pemerintah, profesional maupun politik, yang berasal dari Jerman maupun Eropa.
Ya, perjalanan PCI NU Jerman masih panjang. Ia memiliki tantangan untuk “memasarkan” potensi uniknya, yang belum tentu dimiliki PCI lainnya, yang perlu segera dimanfaatkan: banyaknya nahdliyin di Jerman yang memiliki expertise maupun first hand experience dalam berbagai bidang sains dan teknologi, yang dengan senang hati berkhidmah dalam rangka menyambut abad kedua NU, khususnya melalui “tarekat“ transformasi digital menyambut revolusi industri 4.0. Potensi SDM ini akan lebih terarah bila didukung dengan proses kaderisasi yang berkesinambungan.
Selain itu, PCI NU Jerman juga diharapkan menjadi jembatan antarberbagai pihak dari Jerman maupun Indonesia untuk saling mengisi, khususnya dalam peningkatan kualitas SDM nahdliyin di Indonesia serta peran aktif NU dalam mengkontribusikan model Islam Nusantara untuk konteks negara Jerman. Yang tak kalah pentingnya, PCI NU Jerman juga dituntut untuk terus berkomunikasi dan berkolaborasi dengan baik bersama organisasi-organisasi lainnya. Hal ini penting mengingat survival rate dalam menghadapi revolusi industri 4.0 bergatung pada kolaborasi dengan berbagai pihak.