Di balik meledaknya bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 yang menewaskan sekitar 350 ribu jiwa, dan kontribusinya dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia tak sampai dua minggu berikutnya, terdapat peran besar seorang Julius Robert Oppenheimer.
Lahir di New York tahun 1904, rantai keilmuan Oppenheimer sebagai fisikawan berjalinkelindan dengan para pemenang hadiah Nobel seperti Ernest Lawrence, Albert Einstein, Carl Anderson, Muray Gell-Mann, hingga Isidor Rabi.
Dari sekian nama besar tersebut, banyak ilmuwan dunia percaya bila ketenaran Oppie, panggilan akrab Oppenheimer, hanya bisa disaingi oleh Einstein.
Namun, agak “sialnya” Oppie sendiri tak pernah memenangkan hadiah Nobel, sebagaimana Lawrence, Einstein, atau Rabi, padahal Oppie tiga kali dinominasikan menang, yakni tahun 1945, 1951, dan 1967. Kenapa demikian?
Penyebabnya, menurut Rabi, ialah ia cenderung cepat “bosan”, tak bisa fokus, sehingga tak pernah “mendiami” suatu bidang penelitian dalam waktu yang lama. Tapi mungkin justru hal inilah yang menyebabkannya memahami banyak hal dalam berbagai bidang meski tak begitu mendalam, termasuk keputusannya mempelajari bahasa Sanskrit pada 1933.
Pada tahun 1942 saat Perang Dunia II berlangsung, Oppie ditawari oleh pemerintah Amerika Serikat untuk memimpin “Manhattan Project”. Kita tahu, proyek ini yang terkenal itu bertujuan untuk mengembangkan senjata nuklir. Ia merasa wajib menjawab panggilan ini, apalagi melihat Prancis telah jatuh ke tangan Nazi Jerman dua tahun sebelumnya. Ia percaya bahwa menghentikan fasisme berarti menyelamatkan peradaban Barat itu sendiri.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 16 Juli 1945, bom atom buatan tim peneliti yang dipimpinnya berhasil diledakkan di New Mexico.
Brigjen Thomas Farrel, yang turut hadir saat uji ledakan berlangsung, mengatakan bahwa Oppie terlihat sangat tegang beberapa detik sebelum tombol detonasi ditekan. Ia bahkan menahan nafas hingga kemudian getaran hebat menerjang disusul dengan gumpalan awan besar berbentuk jamur di atas “ground zero”.
Saat ledakan itu semakin menggunung, Oppie mengutip beberapa kalimat dari Baghavad Gita, skriptur agama Hindu yang menjadi bagian kisah epik Mahabarata: “Bila pancaran seribu matahari diledakkan di langit, ia akan tampak seperti kemegahan Yang Kuasa.”
Tak lain, kutipan itu dilontarkan untuk menggambarkan betapa mengerikannya efek ledakan tersebut. Dalam momen yang sama, diketahui pula Oppie tiba-tiba teringat sebuah kalimat dari kitab yang sama: “Aku menjadi Maut, penghancur dunia.”
Tak sampai satu bulan setelahnya, pihak Sekutu menjatuhkan bom atom pertama di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945, dan bom kedua di Nagasaki, 9 Agustus 1945. Jepang kemudian menyerah kalah pada tanggal 15 Agustus 1945, dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menyesalkah Oppie?
Dua puluh tahun setelahnya, Oppie diwawancarai oleh sebuah televisi terkait ungkapan kalimat yang menurut sebagian orang dipercaya sebagai bentuk penyesalannya sebagai Bapak Bom Atom:
“Kita tahu dunia tak akan pernah sama (pasca ditemukannya bom atom). Beberapa orang tertawa, beberapa orang menangis, dan sebagian besarnya hanya diam. Saya teringat sebuah kalimat dari skriptur Hindu, Bhagavad Gita; Wisnu berusaha meyakinkan sang Pangeran untuk melakukan perannya (menuju medan perang), sehingga ia mengambil wujud berlengan banyak (Vishvarupa) dan berkata padanya ‘Kini aku menjadi Maut, penghancur dunia’. Saya kira kita semua pernah berpikir seperti itu, dengan cara satu atau lainnya.”
Wajahnya yang terekam oleh kamera televisi saat mengucapkan kalimat tersebut memunculkan kesan bila ia memiliki penyesalan yang sangat mendalam. Berkat teknologi, rekaman ini masih bisa diakses melalui media populer seperti YouTube.
Dalam kesempatan yang lain, Lansing Lamont dalam bukunya “Day of Trinity” mengungkapkan perasaan Oppie tentang bom atom yang diciptakannya, “Oh Tuhan, urusan-urusan (yang terkait dengan bom atom) ini sungguhlah tak berbelas kasih pada hatiku.”
Dilema Oppie
Rasanya mayoritas orang setuju bila Oppie, meski belakangan ia menyesal, pada awalnya memiliki keyakinan yang besar bahwa bom atomnya diperlukan untuk mengakhiri Perang Dunia II, khususnya untuk menyelamatkan dunia (Barat) dari fasisme. Tak sedikit orang yang menyaksikan kebahagiaan Oppie saat eksperimennya di New Mexico berhasil, bahkan hingga bom atom pertama meluluhlantakkan Hiroshima.
Pendapat orang-orang mulai terbagi saat Nagasaki juga turut luluh lantak. Pendapat pertama percaya bila Oppie menganggap masih perlu bom kedua hingga kekuatan fasis benar-benar menyerah. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa Oppie sangat sedih begitu tahu bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Ia menganggap bila Sekutu, khususnya Amerika Serikat, telah berlebihan dalam menggunakan senjata barunya.
Oppie diketahui melayangkan protes kepada Presiden AS Harry S. Truman sekitar Oktober 1945 dengan mengatakan “ada darah pada kedua tanganku”.
Truman menjadi sangat berang hingga ia memerintahkan sekretarisnya untuk melarang Oppie menginjakkan kakinya kembali di Gedung Putih. Sejak saat itu keterlibatan Oppie dalam banyak proyek strategis pemerintah banyak dikurangi.
Masih ada pendapat ketiga: pergulatan internal Oppie (bila ini bisa dikategorikan sebagai penyesalan) sesungguhnya telah dimulai sejak ia mulai memimpin proyek Manhattan. Ia bukan orang yang hanya bisa mengira-ngira secara teori seberapa besar ledakan bom atomnya serta dampak fisik yang dihasilkannya. Lebih dari itu, ia telah memiliki kesadaran sejak awal bahwa ia akan “menghadiahi” umat manusia sebuah kemungkinan untuk memusnahkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, ia takut eksperimennya akan gagal meski di saat yang sama ia juga takut eksperimennya akan berhasil.
Kekhawatiran Oppie terbukti, Perang Dunia II berganti dengan Perang Dingin yang justru memopulerkan penggunaan nuklir sebagai senjata ketimbang sebagai pembangkit listrik.
Bhagavad Gita versi Oppie
James A. Hijiya, seorang profesor sejarah Universitas Massachusetts Dartmouth, dalam bukunya “The Gita of J. Robert Oppenheimer” (perhatikan artikel “The” sebelum “Gita” untuk menunjukkan kata benda yang spesifik) mempercayai bahwa Oppie, meski memiliki dilema sedemikian besar, tetap berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin proyek Manhattan dengan keberhasilannya menghasilkan bom atom dalam kurun waktu yang cepat. Penyebabnya ialah interpretasi individu Oppie atas Bhagavad Gita yang terkristalisasi dalam tiga kata: peranan, takdir, dan iman.
Hijiya menulis bahwa Oppie percaya ia memiliki sebuah peranan untuk dijalani, dan ia mesti menjalani peranan ini sebab memang sudah menjadi takdirnya. Ia melakukannya bukan untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Bagi Oppie, menjalani proses adalah pengejawantahan tujuan itu sendiri. Ujungnya, Oppie percaya bahwa dengan mengikuti prinsip-prinsip ini ia akan mencapai ketenangan batin dan ketidakjelasan eksistensi dirinya akan sirna.
Tanpa inspirasi dari Bhagavad Gita, Oppie tidak akan bisa, atau setidaknya tak akan bersedia, untuk memimpin proyek Manhattan hingga ditemukannya bom atom. Oppie, meski dibesarkan dalam keluarga Yahudi, telah menjadikan Bhagavad Gita sebagai prinsip hidupnya. Menariknya, Oppie tak pernah memperlihatkan dirinya sebagai seorang Hindu yang taat, yang rutin beribadah atau rajin mendatangi kuil-kuil.