Sedang Membaca
Muslim dan Dunia Sains (3): Ibnu Haitsam dan Renaissance di Eropa

Sedang menyelesaikan studi di bidang Optik, Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman. Aktif di PCI NU Jerman.

Muslim dan Dunia Sains (3): Ibnu Haitsam dan Renaissance di Eropa

Whatsapp Image 2020 06 23 At 5.55.07 Pm (1)

Kebesaran Abu Ali al-Hasan ibnu al-Hasan ibnu al-Haitsam (965-1040 M), lebih dikenal sebagai Alhazen di Barat, tak dapat dielakkan lagi. Tak berlebihan bila ia dideskripsikan sebagai fisikawan terbesar di antara masa Archimedes dan Newton [1]. Newton yang dimaksud di sini tak lain adalah raksasa besar dalam bidang “Fisika Klasik” itu.

Ibnu Haitsam yang lahir di Irak ini adalah orang pertama yang mengikuti metode sains, melakukan pengamatan yang sistematis atas berbagai fenomena fisis atau bukti-bukti empirik dan menghubungkannya dengan teori. Ketertarikannya pada sains berawal dari munculnya berbagai konflik sebagai akibat kemunculan berbagai aliran atau pandangan dalam agama Islam.

Saat diminta oleh khalifah al-Hakim dari dinasti Fatimiyah untuk mengatur aliran sungai Nil di Mesir saat masa banjir, Ibnu Haitsam berpendapat bila hal ini tak mungkin dilakukan. Untuk menghindari hukuman mati sang khalifah, ia kemudian siasa yang luar biasa, yaitu berpura-pura gila [2].

Sifat Kritis Ibnu Haitsam dan Camera Obscura

Kekritisan Ibnu Haitsam membantunya mematahkan teori Euclid, Hero, dan Ptolemy yang mengatakan bahwa fenomena penglihatan mata manusia diakibatkan oleh dipancarkannya sinar yang berasal dari mata tersebut kepada objek yang dilihatnya. Tak tanggung-tanggung, ia menggunakan sebuah eksperimen sederhana untuk mematahkan teori yang telah lama menjadi pijakan itu.

Eksperimen Ibnu Haitsam ini menggunakan sebuah kamar gelap dan dua buah lentera yang ia letakkan di luar kamar tersebut. Cahaya kedua lentera yang diletakkan dengan ketinggian berbeda itu dapat masuk ke ruang gelap melalui sebuah lubang kecil. Dua titik terang di tembok kamar gelap yang terletak berlawanan dengan lubang tersebut menunjukkan bila cahaya dari dua lentera tersebut tidak dihalangi oleh apapun. Baru kemudian saat ia menutup satu lentera, dua titik terang tersebut menjadi hanya satu; menunjukkan bila cahaya yang masuk ke mata tidaklah berasal dari mata itu sendiri, melainkan berasal dari benda itu sendiri.

Baca juga:  Sajian Khusus: Jalan Tobat Pemuda Tersesat

Tak dinanya, eksperimen ini kemudian membuatnya menemukan prinsip dasar kamera pertama yang kemudian digunakan Kepler (1571-1630) untuk membuat camera obscura (secara harfiah berarti kamar atau ruang gelap) pertamanya. Tak cukup hanya dengan mematahkan teori Euclid, Ibnu Haitsam juga menjelaskan mengapa objek dalam kamar gelap tersebut terlihat terbalik dari objek aslinya. Ia jugalah yang membuktikan bahwa persepsi penglihatan atas sebuah benda sesungguhnya tidak terjadi mata melainkan di otak, serta lokasi pembentukan image di mata manusia juga ditentukan oleh berbagai faktor fisis.

Lebih jauh lagi, sebelum ditemukannya teleskop, Ibnu Haitsam telah lama menyatakan bahwa lensa dapat digunakan sebagai kaca pembesar. Ia nyatakan bila hal ini diakibatkan adanya pembelokan atau pembiasan cahaya pada permukaan lensa.

1 Al Hazen
Gambar sampul “Book of Optics” Ibnu Haitsam. Dikutip oleh Muhammad Rodlin Billah dari https://gallica.bnf.fr/ark:/12148/bpt6k312873d.r=Haytham?rk=407727;2]

Karya yang Bertahan Selama Tujuh Abad

Dari sekitar 200 karyanya dalam berbagai bidang, hanya sekitar 50 yang selamat hingga masa kini. Magnum opus-nya bernama Kitāb al-Manāẓir (Buku Optika) yang ia selesaikan sekitar tahun 1027 M. Buku yang terdiri dari tujuh bagian ini merupakan karya pertama yang membahas berbagai fenomena optika dengan sangat menyeluruh. Terdapat bagian-bagian yang menjelaskan sifat-sifat cahaya, perawatan mata secara fisiologis, serta pembelokan dan pemfokusan cahaya oleh berbagai jenis lensa dan kaca.

Baca juga:  Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (5): Fase Padri yang Terlupakan 

Buku ini sangat berpengaruh dalam menerjemahkan perkembangan awal bidang optika dari Yunani menuju masa Renaissance (masa ini dimulai abad ke-14. Artinya tiga abad setelah Ibnu Haytsam!) di Eropa. Terbukti dari banyak terbitnya terjemahan buku ini dalam bahasa latin dengan judul De Aspectibus yang terus terkenal dan baru tergantikan dengan diterbitkannya Opticks karya Newton pada tahun 1704. Praktis, buku De Aspectibus milik Alhazen ini sukses bertahan selama hampir 7 abad!

Selama itu pula pemikiran-pemikiran Ibnu Haitsam telah teruji dengan baik. Dari deretan nama besar yang turut dipengaruhi buku ini di antaranya Roger Bacon [3], Giambattista della Porta [4], Leonardo Da Vinci [5], Galileo Galilei, Christiaan Huygens, Rene Descartes, dan Johannes Kepler [6]. Sementara di dunia Islam, pemikiran-pemikiran Ibnu Haitsam dalam keilmuan optika memengaruhi Ibnu Rusyd dan Kamaluddin al-Farisi [1].

Besarnya jasa Ibnu Haitsam ini membuat UNESCO dan beberapa ilmuwan lainnya menjulukinya sebagai bapak ilmu optika modern sekaligus orang pertama yang menjadi ilmuwan sesungguhnya [7,8]. Demikian pula dengan penamaan Alhazen untuk sebuah kawah di bulan dan asteroid [9,10].

Muncul pertanyaan yang sebagai penutup tulisan ketiga ini: mampukah umat Islam memunculkan kembali para ilmuwan sekaliber al-Kindi, Ibnu Sahal, dan Ibnu Haitsam? Mungkin tulisan seri terakhir mengenai siapa Abdus Salam bisa memberikan petunjuk.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (1): Lika-liku Sutradara dari Negeri Para Mullah

Referensi:

  1. MD Al-Amri, Optics in our time (Swiss, 2016)
  2. A Tbakhi, SS Amri, Ibn Al-Haytham: Father of Modern Optics (DOI: 10.5144/0256-4947.2007.464)
  3. Lindberg, David C. (1996), Roger Bacon and the Origins of Perspectiva in the Middle Ages, Clarendon Press
  4. Magill, Frank Northen; Aves, Alison (1998), “The Middles Ages: Alhazen”, Dictionary of World Biography, 2, Routledge, ISBN 9781579580414
  5. Zewail, Ahmed H.; Thomas, John Meurig (2010), 4D Electron Microscopy: Imaging in Space and Time, World Scientific, ISBN 9781848163904
  6. El-Bizri, Nader (2010). “Classical Optics and the Perspectiva Traditions Leading to the Renaissance”. In Hendrix, John Shannon; Carman, Charles H. (eds.). Renaissance Theories of Vision (Visual Culture in Early Modernity). Farnham, Surrey: Ashgate. pp. 11–30. ISBN 978-1-409400-24-0.
  7. https://en.unesco.org/news/international-year-light-ibn-al-haytham-pioneer-modern-optics-celebrated-unesco
  8. http://news.bbc.co.uk/2/hi/7810846.stm
  9. Chong, S.M.; Lim, A.C.H.; Ang, P.S (2002), Photographic Atlas of the Moon, ISBN 9780521813921
  10. NASA (22 March 2006), “59239 Alhazen (1999 CR2)”, JPL Small-Body Database Browser, NASA Jet Propulsion Laboratory, retrieved 20 September 2008
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top