Bermula dari tahun 2010 sebagai komunitas Nahdliyin yang bermukim di Jerman. Mereka bertemu khususnya untuk melaksanakan tradisi-tradisi di lingkungan NU seperti Yasin-Tahlil dan Maulid. Kini PCINU Jerman telah memperoleh legal formal dalam dua aspek terpentingnya: dari PBNU sejak akhir tahun 2018, dan dari pemerintah Jerman sebagai asosiasi terdaftar sejak awal tahun 2020.
Saat ini, eksistensi PCINU Jerman setidaknya dibutuhkan dalam dua konteks.
Pertama: pemerintah Jerman secara proaktif sedang mencari bentuk interpretasi dan implementasi terbaik dari Islam sebagai agama. Utamanya agar proses integrasi masyarakat muslim di Jerman dapat berjalan dengan baik, dan nilai-nilai Islam dapat hidup berdampingan dengan “Grundgesetz” (konstitusi dasar negara Jerman).
Salah satu upaya terukur, misalnya, ialah inisiatif Kementerian Dalam Negeri Jerman berupa “Deutsche Islam Konferenz” (Konferensi tentang Islam Jerman) yang diadakan sejak tahun 2006. Fungsinya mempromosikan dialog antara pemerintah Jerman dengan berbagai komunitas muslim.
Tidakkah nama konferensi ini, bahkan impian kesesuaian nilai-nilai Islam dengan dasar-dasar negara, analog dengan istilah bahkan fragmen sejarah NKRI yang kita mungkin akrabi? Saya bantu ingatkan: Islam Nusantara dan diskursus Pancasila sebagai asas tunggal.
Sebagian orang mungkin memandang istilah Islam Nusantara memicu kontroversi, tapi mungkin kita bisa sama-sama setuju untuk bertanya: mengapa pemerintah Jerman seperti tidak puas dengan gambaran “Islam” yang selama ini telah hadir sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya?
PCINU Jerman percaya bila metodologi Islam Nusantara, dengan basis ahlussunnah wal jamaah dimana karakter moderat menjadi turunannya, dapat menjadi solusi alternatif. Mungkin saja ini adalah hadiah dari NU untuk Jerman.
Kedua: mayoritas pengurus, anggota, juga simpatisan PCINU Jerman merupakan nahdliyin yang menjadi tenaga ahli maupun pelajar dalam bidang sains dan teknologi. Dalam berbagai jenjang pendidikan: dari vokasi, S1 hingga S3, bahkan profesor. Dalam berbagai profesi: dari bidang teknologi informasi, pesawat terbang, hingga virologi.
Dengan segala kelebihannya, khususnya melimpahnya insentif dari pemerintah maupun industri, Jerman merupakan surga bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang-bidang tersebut. Meski tak dapat dipungkiri pula bila sejarah Jerman yang berjalinkelindan dengan sejarah Islam juga merupakan daya tarik tersendiri bagi kawan-kawan yang mendalami studi Islam.
Lalu, apa yang menahan proses transfer pengetahuan dan keahlian yang dimiliki para nahdliyin ini untuk Indonesia pada umumnya ataupun NU pada khususnya? Tidak ada. Kecuali bila keinginan untuk berkhidmah telah sirna.
Meski tak mudah, PCINU Jerman sedang mengusahakan banyak hal:
Mengaji maqolah Syaikh Ahmad Marzuqi dalam Aqidatul Awam, ataupun Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Nurudh Dholam sembari mendiskusikan tulisan Ian Barbour dalam Religion and Science ataupun Stephen Hawking dalam A Brief History of Time.
Mengkaji fiqih bersuci melalui At-Tadzhib, juga Al-Muqtathafat, sembari mencari berbagai solusi agar Covid-19 tak begitu saja menyebar di berbagai pondok pesantren, hingga agar pembalut wanita Indonesia tak menjadi penyebab banjir sebab dibuang sembarangan di sungai-sungai.
Meneladani akhlak agung Nabi saw dengan pembacaan maulid Simtudduror, tak lupa juga akhlak para salafush sholih, muasis, serta masyayikh dengan pembacaan manaqib dalam peringatan haulnya. Sembari mencari cara mengejawantahkan berbagai teladan mulia tersebut melalui Digital Transformation hingga Sustainable Development Goals.
Dengan segala keterbatasannya, tampaknya PCINU Jerman sedang meniti jalan menanjak untuk menjadi melting pot dua hal yang sering dikesankan bertolakbelakang: tradisionalitas dan modernitas.