WHO sebagai rujukan berbagai badan kesehatan di seluruh dunia per hari Selasa belum juga merilis pernyataan resmi mengenai aerosol sebagai medium penularan Covid-19.
Yang diakui WHO sebagai medium utama penyebaran baru berupa droplet: virus menumpang cipratan atau percikan air atau benda kecil lainnya, berukuran mikrometer. Daya jangkaunya “hanya” sekitar 1-2 meter.
Dari sini kita bisa melihat mengapa muncul anjuran untuk menggunakan masker atau face shield bagi yang sakit saja, dan jaga jarak 1-2 meter.
Padahal, sebanyak 237 ilmuwan dari berbagai latar belakang telah mendesak WHO untuk juga memasukkan aerosol sebagai medium penularan [1]; menempatkan potensi menular Covid-19 seberbahaya TBC, influenza biasa, cacar, dan measles (i.e. airborne disease).
Aerosol mirip seperti droplet, kecuali ukuran partikelnya yang hanya sekitar sub-mikrometer atau nanometer (0,000001 sentimeter), hampir sama dengan ukuran virus Covid-19 sendiri.
Aerosol memiliki tendensi untuk “terbang” bersama udara disekitarnya, sebagaimana asap rokok atau kabut. Daya jangkaunya jelas jauh melebihi droplet. Lalu apa yang berubah dari kebiasaan baru kita? Paradigma bila jaga jarak 1-2 meter dan cuci tangan saja sudah cukup untuk menghindarkan diri dari penularan Covid-19 mesti dirubah.
Sambil mempertahankan protokol yang sudah ada, seperti sering cuci tangan dan jaga jarak untuk mengurangi kemungkinan sampainya droplet, membuka ventilasi ruangan dan membatasi jumlah orang dalam sebuah ruangan tertutup mungkin bisa membantu menurunkan akumulasi virus yang menumpang aerosol.
Yang lebih membantu lagi apabila setiap orang tetap menggunakan masker saat mereka keluar rumah atau saat berada di ruangan tertutup. Sebab masker memiliki beberapa mekanisme penyaringan partikel: secara mekanik maupun elektrik.
Filter dengan proses mekanik ditentukan dengan besaran filter sebagai penyaring partikel. Filter idealnya memiliki lubang-lubang yang lebih kecil ketimbang partikel (droplet atau aerosol) yang ingin disaring.
Filter dengan proses elektrik dilakukan dengan memanfaatkan efek elektrostatik; seperti yang terdapat pada rambut atau potongan kertas kecil yang tertarik/menempel pada penggaris mika setelah digesek-gesek ke permukaan kering.
Masker N95 biasanya mencakup kedua proses filter ini. Masalahnya tipe ini sudah sangat jarang ditemukan di Indonesia, bahkan untuk kalangan Nakes sendiri. Belum lagi harganya yang mungkin masih selangit dan sifatnya yang disposable (sekali-dua kali pakai).
Artikel berikut ini [2] dimaksudkan untuk membantu Nakes maupun masyarakat umum untuk membuat sendiri masker seperti N95 dengan kedua mekanisme filter diatas dari bahan-bahan rumahan.
Dibantu dengan mesin pembuat gula-gula yang dimodifikasi secara sederhana untuk menjadi alat electrospinning berbahan utama polimer/serat plastik yang kemudian dijadikan filter utama dari masker tersebut.
Masker rumahan ini dapat mempertahankan efek elektrostatiknya hanya selama 5 jam. Inipun masih dipengaruhi tingkat kelembaban udara tertentu. Karenanya ia mesti digunakan untuk sekali pakai.
Kalau kemarin rekan-rekan peneliti dari berbagai perguruan tinggi (khususnya teknik) berkontribusi untuk membuat ventilator sendiri, saya berharap mereka juga dapat berkontribusi untuk membantu membuatkan mesin electrospinning-nya, termasuk membantu uji efektivitasnya terhadap aerosol dengan kondisi Indonesia.
[1] https://www.nature.com/articles/d41586-020-02058-1[2] https://groups.oist.jp/nnp/diy-face-mask