Avatar
Penulis Kolom

Lengkapnya Muhammad Rizky, kelahiran 1993 di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Pernah nyantri di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Sementara ini tinggal di Surabaya sebagai wartawan.

Pengalaman Pertama Sowan Mbah Moen: Hampir Diusir

Hari itu, pagi-pagi sekali, untuk pertama kali saya bersama kawan (lebih tepatnya senior) dari Madura sowan ke ndalem beliau di Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang, Jateng. Saat kami datang, pengajian masih berlangsung. Di ruang tamu, Mbah Moen mendaras kitab. Santri-santri khusuk mendengarkan.

Suara beliau terdengar lantang. Sesekali juga beliau melempar humor. Lalu tertawa lepas bersama santri-santri. Tak tampak bahwa usia Mbah Moen sudah uzur. Semangat mengajari santri mengalahkan kondisi fisik beliau.

Sementara pengajian kitab berlangsung, kendaraan roda dua dan tiga (nama mereknya Kaisar) milik warga hilir mudik di depan kediaman Mbah Moen. Ini pemandangan aneh, setidaknya buat kami berdua yang hidup kental dengan budaya pesantren di Jawa Timur.

“Masa pengajian Mbah Moen, kendaraan warga lewat dengan sesuka hati. Apa warga gak tahu kiai sekaliber Mbah Moen itu. Kiai khos NU. Tokoh nasional. Ulama dunia. Untung tidak di pondokku ini, kalau tidak, sudah….,” saya membatin kesal.

Memang bangunan Pesantren Al-Anwar berada di tengah-tengah pemukiman warga. Sulit membedakan mana rumah warga, mana bangunan pesantren. Tidak ada tembok pemisah.

Tampaknya, kawan Madura saya juga mengerti perasaan aneh saya. Ia lalu mengutarakan betapa kultur pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur berbeda sekali. “Kalau di Madura ini, sikap warga setempat yang lewat depan kediaman kiai lalu tak mematikan kendaraannya, bisa bahaya,” katanya dengan nada datar.

***

Di luar ndalem beliau, para tamu dari pelbagai lapisan –seingat saya ada petani, politisi, pengajar, mahasiswa dan dari daerah lain menunggu Mbah Moen selesai ngaji. Tujuan tamu macam-macam. Ada yang ingin sekedar silaturahim, minta doa , konsultasi masalah, dan lain hal.

Sementara kami sowan untuk keperluan wawancara majalah ALFIKR, majalah kampus di Probolinggo. Kami sowan dengan membawa tema “ihwal relasi ulama dan umaro”.

Pengajian selesai. Perlahan-lahan tamu masuk, termasuk kami berdua. Sebagai santri, saya sedikit paham bagaimana etika sowan ke ndalem kiai. Ya, meskipun santri nakal, minta doa barokah langsung pada kiai pernahlah beberapa kali saya lakukan.

Baca juga:  Mengenang KH A. Wachid Hasjim: Perjalanan Terakhir Menuju Sumedang, 18 April 1953

Satu persatu tamu berjabat tangan. Bergantian mencium tangan Mbah Moen. Beliau yang tidak beranjak dari tempatnya, menanyai para tamu sekedar basa-basi. Intinya nanti setelah tamu duduk manis.

Tiba giliran kami berdua. Saya lebih dulu. Pelan-pelan saya beringut mendekatinya. Dalam sekejap, secepat kilat, mata saya tertumbuk dengan ukiran Pancasila tepat terpampang di dinding dalam ruangan itu. Ah, sungguh kiai nasionalis. Ini saja sudah cukup menguatkan kami berdua bahwa pilihan Mbah Moen sebagai narasumber sudah sangat tepat.

Oke, tinggal mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami. Sampai di hadapan beliau, saya membungkuk, kemudian menjongkok mencium tangannya yang halus. Perasaan campur aduk, dada berdetak tak seperti biasanya. Wajar, ini baru pertama kali sowan langsung ke ndalem beliau.

Ada rasa bangga lantaran sebagai orang nun jauh di Pulau Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bisa menyempatkan diri ngalap berkah kepada kiai alim alamah, KH Maimoen Zubair. Ada juga rasa was-was, sebab berdasarkan cerita dari seorang senior, Mbah Moen biasanya kurang berkenan jika diajak wawancara.

Selebihnya, kharisma Mbah Moen yang begitu kuat membuat seisi ruangan kikuk.

“Dari mana ?”

“Dari Pro…” belum selesai kalimat saya, Mbah Moen dengan lantang bersuara. “Saya tidak ridho, …..sana-sana,” dengan bahasa Indonesia campur bahasa Arab dan bahasa Jawa, Mbah Moen menghujani kami berdua. Sepotong-potong saya mengerti ucapan beliau.

Entah apa yang membuat beliau marah, kami tidak tahu. Sebentar kami mematung di depan beliau. Tamu lain yang sedari tadi dipersilahkan duduk juga mematung. Bumi bergolak dan langit murka, begitulah perasaanku.

Saya menundukkan pandangan, keringat dingin keluar. Untungnya ada habib muda yang duduk bersebelahan dengan Mbah Moen memberi isyarat untuk segera duduk.

Pelan sekali saya melangkah, mengikuti isyarat habib muda itu. Rasanya lebih cepat ulat yang merayap daripada langkah saya. Sebab, Mbah Moen tak henti memarahi kami.

Baca juga:  Berislam di Komunitas Lintas Iman: Tidak Ada Pendangkalan Akidah

Agak lama beliau marah, baru kemudian kami disuguhi segelas teh dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tapi, meski pun hati kadung sempal, tetap kami makan. Terkecuali saya karena lain hal.

Makan selesai, suasana mulai dingin. Beberapa orang hadam membereskan gelas dan piring. “Sampean dari mana,” sekali lagi Mbah Moen bertanya dengan nada yang mulai rendah.

“Dari Probolinggo Mbah,”

“Hahh…”

“Dari Probolinggo Mbah,” sekali lagi saya mecoba mengeluarkan katub suara.

“Hahahaha..” tiba-tiba tawa Mbah Moen terbahak, selantang beliau memarahi kami barusan.

“Oohh…dari Probolinggo. Hahaha…maaf yak saya kira kalian ini santri saya,” dawuh beliau itu membuat saya agak bingung. Tanya yang bersarang dikepala ini kemudian pelan-pelan mulai menemukan jalan terang. “Oo…ternyata Mbah Moen salah paham toh,” saya membatin.

“Salah siapa coba. Siapa suruh kalian pakai songkok hitam dan putih. Di sini ini, santri saya biasa pakai songkok hitam. Yang pakai songkok putih itu, saya kira tamu mau mengajak sowan santri saya,” kali ini Mbah Moen memberikan alasan dengan nada bergurau.

Langit kembali cerah. Bumi lalu ceria. Saya pun mulai sadar maksud Mbah Moen. Beliau marah karena alasan sepele; gegara songkok putih yang saya kenakan, dan songkok hitam yang dipakai kawan Madura ini. Kombinasi yang pas dikatakan sebagai wali santri dan santri.

Tapi, bagi Mbah Moen, ini bukan hal sepele. “Kalau ada santri saya sowan di waktu jam belajar, saya paling tidak suka. Saya larang mereka meskipun sowan ke sini. Mereka itu tanggung jawab saya. Jangan ganggu belajar mereka yah.”

“Kasihan, mereka tidak dapat ijazah. Santri-santri saya ke sini, itu hanya untuk menuntut ilmu. Mereka itu cuma belajar ilmu agama, ilmu Allah,” kata mbah Moen yang membikin hati makin haru.

Baca juga:  Hari Santri, Kita Baca Asal-Usul Pesantren di Jawa

Wejangan-wejangan penuh hikmah dari beliau kemudian mengalir deras.

Sungguh, di tengah kering kerontang tokoh panutan. Mbah Moen konsisten mendaras kitab, membuka pintu berkah untuk para santri. Mendekap santri yang haus hikmah. Memamah ilmu untuk asupan para pengembara. Merapal doa di tengah malam untuk selimut umat.

Obrolan masih terus berlangsung. Tapi kali ini lebih cair, Mbah Moen malah aktif bertanya. Saya ditanyai dari mana asalnya, umur berapa, kuliah di mana, jurusan apa, fakultas apa, kalau lulus mau ke mana dan masih banyak lagi. Kemudian, terakhir tujuan apa ke sini.

Pertanyaan terakhir ini kami jadikan kesempatan. Tapi bahasanya, mau konsultasi bukan wawancara. Sedikiti sekali beliau menjelaskan. Saya mengerti karena mulai tadi beliau mendaras kitab dan melayani sejumlah tamu, tidak mungkin kami melanjutkan. Ya, meskipun begini saya juga termasuk santri. Masa mau memaksa kiai, sangat tidak elok rasanya. Khawatir lagi suasana awal yang bikin dag dig dug itu terulang kembali.

“Sudah yah, mari berdoa sama-sama, semoga….,” ajak Mbah Moen. Kami pun turut mengamini.

Selesai berdoa, kami keluar, termasuk habib muda tadi. ” Waah, bersyukur kalian didoakan Mbah. Kalian termasuk orang beruntung, beliau minta maaf, didoakan lagi,” kata habib muda itu yang kemudian membubarkan diri dari barisan.

Beberapa hari dari peristiwa itu, saya dengar dari teman bahwa kisah saya dimarahi itu menjadi buah bibir di kalangan santri-santri Mbah Moen.

Hari ini, selepas bangun tidur. Saya mendapat pesan singkat dari kawan Madura itu. Isinya, memastikan kabar benar tidaknya Mbah Maemon wafat. Saya buka media online terpercaya, ternyata benar Mbah Moen mangkat di Tanah Suci Mekkah. Di umur 90 tahun, 9 bulan, 9 hari. Hari Selasa.

Pikiran lalu melayang, “Mbah, aku ingin dimarahi seribu kali lagi, bila perlu dengan cambuk.  Jiwa ini kotor Mbah, butuh wejangan lebih banyak lagi, lagi dan lagi.” (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top