Saiful Mustofa dalam “Al-Mu’jam Al-Arabi: al-Qamus al-muhith Washafuhu Wa Nasya’atuhu Wa Tathawwaruhu” mengatakan bahwa sejak enam abad lalu, kamus al-Muhith sudah populer di kalangan para ahli bahasa, ahli tafsir, ahli hadis, ahli fikih dan juga para sastrawan Arab sebagai rujukan, namun tidak di kalangan pelajar Indonesia.
Pada tahun 2011 M, ditemukan manuskrip salinan al-Qamus al-Muhith wa al-Qabus al-Wasith Karya Fairuzabadi di Madura oleh Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang (BLAS). Kitab tersebut merupakan koleksi Pondok Pesantren Sumber Anyar, Pamekasan Madura, bersama sekitar 400 teks lain dalam 187 eksemplar naskah.
Kamus al-Muhith sendiri terekam sebagai warisan abad pertengahan yang masih berkelanjutan digunakan sampai saat ini. Kitab itu disusun oleh Fairuzabadi, ulama asal Karzin, Iran yang lahir pada tahun 1329 dan wafat pada tahun 1415 M. Al-muhith muncul pasca al-Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur yang sama-sama disusun dengan sistem qafiyah atau sistem sajak. Yakni disusun berdasarkan huruf akhir, tidak alfabetis atau sesuai urutan huruf dalam makhorijul huruf.
Sistem sajak pertama kali dikenalkan oleh Ismail Bin Ahmad al-Jawhari lewat karyanya kamus al-Shihhah Fi al-Lughah guna mempermudah masyarakat sastra dalam mencari diksi yang berima atau bersajak seiring perkembangan sastra pada masa itu. Al-Muhith sendiri menurut Taufiqurrahman dalam Leksikologi Bahasa Arab muncul dengan melengkapi kekurangan karya al-Jawhari, dan ia tampil dengan teknik khusus dalam performance pemberian rubrikasi (tinta merah) pada materi kata.
Jika diamati, di pesantren para santri memang jarang sekali menggunakan kamus al-muhith ini, sebab kamus itu satu bahasa. Sebab santri lebih banyak menggunakan yang dwibawasa seperti kamus al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir dan semacamnya. Namun jika kita lihat kembali, para akademisi Indonesia dalam menyusun skripsi atau kajian ilmiah lain juga merujuk pada al-Muhith dalam daftar pustakanya. Kemudian dalam hal ini, keberadaan manuskrip ini dapat memberi asumsi bahwa kamus al-Muhith sejatinya sudah digunakan dan eksis sejak dulu di Indonesia.
Demikian ini diperkuat dengan temuan BLAS Semarang yang menaksir usia rata-rata kitab koleksi PP. Sumber Anyar tersebut sekitar 300-400 tahun, yang penyalinannya diperkirakan terjadi di abad 18-16 M berdasarkan bahan naskah dan watermark pada yang ada. Diperkuat keterangan masyarakat, bahwa pada abad 15 pesantren tersebut sudah berdiri.
Dalam Katalog Naskah Madura volume 2 himpunan Umi Mafisah dkk, naskah tersebut berkodekan SA/Bahasa/105/2011 dengan halaman berjumlah 421 rekto verso dan BLAS/PAM/17/IU/22 dengan 307 rekto verso. Kemungkinan besar keduanya adalah satu kesatuan menyesuaikan dengan naskah terbitan dengan jumlah 1500 halaman. Juga dengan koleksi Universitas Toronto, Yaman, India yang berjumlah 500 halaman lebih.
Sementara Mashuri dalam “Menengok Peradaban Pesantren di PP. Sumber Anyar Pamekasan Madura” mengatakan, bahwa manuskrip fisik al-Muhith hanya terdapat beberapa saja di dunia, seperti di Universitas Al Azhar Mesir, dan di Istanbul Turki, dan juga di Madura ini. Sayangnya, belum ada keterangan lebih lanjut tentang sejarah dan susur-galur keberadaan kitab tersebut di Madura.
Demikian sebab kitab ini tidak memiliki keterangan penyalin. Sementara pemilik naskah juga masih belum bisa dipastikan. Hanya saja berkelindan dengan riwayat pendiri pesantren Sumber Anyar yang juga diduga merupakan pendatang dari timur tengah. Namun yang pasti, pada abad 18 M kitab ini telah digunakan di Indonesia, serta kemungkinan besar eskis direntang masa tersebut.