Muqsid Mahfudz
Penulis Kolom

Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir di STAI AL-AWAR Sarang Rembang.

Jejak Nuruddin Ar-Raniri dalam Kitab Tarīqat al-‘Ilm

Jejak Nuruddin Ar-Raniri dalam Kitab Tarīqat al-'Ilm

Tasawuf dipercaya sebagai media pertama dalam proses islamisasi Nusantara, yang di Indonesia sudah berkembang sekitar abad 16 M. Kebanyakan sejarawan mengatakan aliran tasawuf pada era itu bercorak falsafi lewat tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan konsep Wahdat al-Wujūd. Terdapat pula konsep Wahdat al-Shuhūd melalui tokoh Nuruddin ar-Raniri dan Yusuf al-Makasari (Septiawadi, 2013, 187) Termasuk dalam falsafi, yakni Syekh Abdullah Arif Aceh, pengarang Baḥr al- Lahūt dalam teks naskah ini.

Sementara kitab Tarīqat al-‘Ilm ini merupakan salah satu judul teks dari sembilan judul Naskah PAM/17/AT/3 Koleksi PP. Sumber Anyar Pamekasan (Umi Mafisah dkk 2016, 217). Naskah ini didominansi dengan teks tasawuf, terutama tasawuf falsafi seperti teks al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby, Martabat lī Syaikh ‘Ibn ‘Arabī dan Aqwal al-Jalīlat bi Sharh al-Wasīlat. Berdasarkan Hasil penelitian, naskah ini dinyatakan masih dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip) dan diperkirakan disalin pada kisaran abad 18 M berdasarkan wattermark CHK dengam pictogram makkota berbingkai bunga pada kertas Eropa yang dipakai (Mashuri 2020, 233). Sayangnya pengarang dan penyalinnya masih belum terdeteksi.

Al-Raniri dan Pergolakan Sufisme di Nusantara

Nuruddin ar-Raniri adalah Mursyid tarekat Rifa’iyah sekaligus Mufti kesultanan Aceh di masanya, beliau lahir di Rander, India pada pertengahan Abad 16 M. Dijelaskan pula oleh Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry, bahwa dalam beliau amat getol mengkritisi aliran Wahdat al-Wujūd lewat karya-karyanya, termasuk dalam  Ma’u  al-Hayat li Ahl al-Mamat. Bahkan saat menjadi Mufti, ada riwayat bawha beliau menetapkan hukuman mati bagi wujudiyyin Aceh jika menolak meninggalkan alirannya.

Baca juga:  Khutbah dan Kisah

Wahdat al-Wujūd atau paham wujudiyah sendiri dalam sejarah peradaban Islam  selalu menempati resepsi yang buruk dan kontroversial. Merupakan istilah yang sebenarnya dipopulerkan oleh para pengikut pemikiran ‘Ibn Arabi, seperti Sadr al-Din al-Qunawi dan Said al-Din Farghani (Ali Usman 19 Mei 2019, Alif.id). Tak luput Ibnu Taimiyah dan al-Raniri jika di Nusantara sebagai oposisi.

Menurut Abdul Hadi, ar-Raniri tidak menolak secara utuh, titik tolaknya berada pada esensi keberadaan makhluk yang nyaris dipahami tidak ada oleh para pengikut wujudiyah (Abdul Hadi WM 2001, 159). Baginya keberadaan makhuk adalah representasi (majazi) dari sifat wujud-Nya (Septiawadi 2013, 193). Terlihat tidak jauh beda dari padanan cermin-bayangan dalam konsep Hamzah Fansuri, dimana alam adalah bayangan-Nya yang hakikatnya tiada (Afif Anshori 2004, 228).

Dari kedekatan ini kecaman kerasnya acap dipandang sebagai motif politik kekuasaan seorang pendatang. Namun bagaimanapun menurut penulis, harmonisasi tasawuf dan tauhid beliau lebih mencolok dari miripnya redaksi, baginya Allah dan makhluk memiliki entitas berbeda. Artinya, majazi disini bukan sekeda bayangan, melaikan perlambangan dari ke Esaan-Nya. Munawir menganggap kedekatan itu sebagai bentuk kompromisasinya antara tauhid dan sufisme.

Ahmad Daudy menggolongkan pemikirannya sebagai paham tasawuf akhlaqi atas paham ahlus sunnah wal jama’ahnya. Ini didukung oleh dominannya karya beliau yang membahas Akidah dan syariat, misalnya kitab Darul Fawaid Fi Syarah al-‘Aqaid dan Aqaid al-Shufiyah al-Muwahidah (Daudy 2004, 228). Hal terpenting dalam ajaran al-Raniry ialah mendahukan syari’at dari pada hakikat lewat tauhid atau Wahdat al-Shuhūd. Pemikiran ini tentu dipengaruhi guru-guru beliau, seperti Abu Hafs Umar bin Abdullah Basayban al-Hadrami (Azyumardi Azra, 2004, 206). Pengabadian nama beliau pada Universitas Islam Negeri Aceh menandakan buah pikirnya lebih berkesan bagi Masyarakat Aceh.

Baca juga:  100 Tahun Subagio Sastrowardoyo (1924-2024): Puisi itu Kematian

Hemat penulis, Wahdat al-Shuhūd atau persaksian tunggal manusia pada ke-Esaan Allah dengan mengenali Dzat, sifat dan makhluk-Nya hingga takwa tanpa lalai dan berharap apapun dari-Nya. Sebab Tauhid  adalah keimanan yang menentukan amaliah kita, lantas baimana kita akan menerapkan islam dan ihsan tanpa iman?

Nuruddin al-Raniri dalam Kitab Tarīqat al-‘Ilm

Kitab Tariqat al-‘Ilm berisi uraian ketuhanan berbingkai tasawuf. Sebab kitab ini diawali dengan redaksi hubungan kausal antara alam dan Tuhan, bahwa jalan (tarekat) pertama menuju Allah yakni dengan mengenali Dzat, Sifat, Makhluk-Nya, termasuk yang tercipta pertama (Nur Muhammad). Dilanjutkan dengan pembahasan Ma’ul Hayat dengan landasanya (hadis). Dijelaskan Ma’ul Hayat disini adalah ruh yang berawal dari Kalam Allah yang menjadi sebab diciptakannya semesta (Ruh Muhammad) dari cahaya, yang akan menjadi pelita bagi manusia. Sesiapa meminumnya (mengenali), maka senantiasa hidup ruhnya.

Pembahasan selanjutnya berisi tentang keterangan sifat-sifat Allah yang terbagi menjadi  sifat Af’al, Salb, dan Thubut Allah berlandaskan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama Thubut, yakni Alah Hidup, Mengetahui, Kekal, Kuasa, Mendengar dan Melihat. Kedua Salb, yakni Allah Agung, Mukhalatu Lihawadits, Tidak Berjisim, Bertempat atau Berarah, tidak Esisial dan Aksiden. Terkhir Af’al, yakni perintah dalam menciptakan sesuatu. Kedua pembahasan diatas dipaparkan dengan model tanya-jawab. Teks ini ditutup dengan deretan premis yang berkaitan dengan Akidah dan tempatnya. Seperti asal syariat di lisan, tarekat di hati, hakikat di ruh, ma’rifat di akal, iman di hati, dan islam di zahir. Serta beberapa tempat dari lima macam ruh (nabati, hewani, jasmani, ruhani dan rohmani).

Baca juga:  Mengenang Kiai Hasan Abdul Wafie: Sosok Macan Bahtsul Masail

Dari sini konsep Waḥdat as-Syuhud ar-Raniri dapat dicocokkan dengan isi teks kitab ini, yakni pemahaman Akidah sebagai jalan menuju ma’rifat dengan mengenali Allah dari Dzat, Sifat dan Ciptaannya. Selain itu, metode penulisan dengan tanya jawab juga banyak dilakukan oleh al-Raniri, terutama yang memuat kritik terhadap wujudiyah, seperti dalam Hil al-Zhil  dan Nubdzah fi Da’wa al-Zhil Ma’a Shahibih ( Shadikin 2009, 99).

Kemudian berdasarkan kemiripan tema-tema yang sama juga dalam karya karya-karya beliau, terutama dalam antara pembahasan tentang Ma’ul dengan kitab beliau berjudul Ma’ul-Hayat li Ahl al-Mamat. Kutipan “awwalu ma khalaqa allahu ta’ala ruhi” juga termuat dalam kitab Asrar al-Insan Fi Ma’rifa al-Ruh wa al-Rahman, konten tentang penciptaan alam dari Nur Muhammad pun demikian. Begitu juga dalam kitab Bad’u al-Khalqi al-Samawati wa al-Ardh (Saiful Bahri dkk. 2013, 124, 309).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top