Sedang Membaca
Ngaji di Pesantren, Jatuh Hati pada HTI
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Ngaji di Pesantren, Jatuh Hati pada HTI

Akhir-akhir ini, tema tentang radikalisme menjadi perhatian semua pihak dan cukup mendominasi lalu lintas percakapan di media sosial. Bermula ketika presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinet pemerintahan dengan lebih fokus pada perang terhadap radikalisme. Penunjukan Mentri Agama dari kalangan TNI makin menguatkan langkah pemerintah dalam mengikis habis laju gerakan daripada kelompok-kelompok radikal yang mengancam harmoni sosial dan keutuhan negara. 

Niat pemerintah tersebut patut mendapat apresiasi. Namun menjadi tidak populis ketika pendekatan yang diwacanakan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama, kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi. Seperti wacana penertiban pakaian di lingkungan aparatur sipil negara, kontrol terhadap majelis-majelis taklim maupun para pendakwah. Langkah-langkah dimaksud sebenarnya tidak begitu subtantif. Di samping juga terkesan negara telah terlalu jauh ikut campur dan menyempitkan peran daripada civil society.

Dalam hal ini pesantren di pandang sebagai lembaga pendidikan yang dapat menjadi benteng bagi generasi muda bangsa agar tidak terpapar paham radikalisme. Penguasaan akan ilmu keagamaan yang mendalam juga diharap dapat menekan laju kelompok-kelompok radikal yang membingkai gerakan dengan baju agama. Oleh kalangan pesantren, agama dan wacana kebangsaan coba dipadukan, di cari titik temu di antara keduanya, sehingga nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan telah lama menjadi satu tarikan napas. 

Namun demikian, tidak berarti pesantren sepenuhnya bebas dari paparan pemahaman radikal yang mengganggu keutuhan bangsa. Selalu ada celah, satu kelompok akan berusaha untuk menyusupkan ideologi yang diyakini kepada kelompok lain, termasuk pemahaman radikal ke bilik-bilik pesantren. Seperti yang saya alami beberapa tahun silam.

Baca juga:  Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (1): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Seorang teman karib ketika masih duduk di bangku Madrasah Aliyah justru kepincut dengan kelompok yang mengusung khilafah sebagai sistem pemerintahan, yakni HTI. Ceritanya, saban minggu malam, teman karib saya itu keluar pesantren entah ke mana tujuannya. Dari  pengakuanya, ia mengikuti kajian di salah satu rumah yang juga alumni pesantren. Suatu kelompok kajian yang “sangat” islami. Pun demikian dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya, setidaknya demikian kesan yang dirasakan oleh teman karib saya itu.

Apa nama kelompok kajian tersebut? Apa saja tema pembahasan yang dikaji? Ia tak terlalu detail menceritakan perihal kelompok kajian yang sudah sekian pekan diikuti. Pada intinya, kejayaan umat islam menjadi titik fokus perjuangan. Saya pun diajak untuk bergabung. Saya hanya mengiyakan sekenanya. 

Rasa penasaran saya sedikit terjawab ketika ia menyodorkan beberapa lembar buletin al-Islam dan majalah al-Wa’ien. Majalah al-Wa’ei baru pertama kali saya melihat, tapi di dalamnya jelas terterah bahwa majalah itu diterbitkan oleh DPP HTI. Sedangkan untuk bulletin al-Islam, sudah lama saya kenal, karena setiap selesai salat jumat di masjid agung Sumenep, bulletin itu disebar ke jamaah di pintu masuk masjid.

Keyakinan teman karib saya itu sepertinya makin mantap dengan HTI. Sehingga ia bisa mengajak beberapa santri turut bergabung. Pada awalnya teman-teman santri yang lain dan pengurus pesantren tidak terlalu menanggapi serius. Sampai kemudian salah seorang daripada keluarga pesantren juga ikut termakan oleh wacana yang dihembuskan HTI. Karenanya langkah cepat dan tegas segera diambil para pengurus pesantren.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (10): Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan Presiden Soeharto

Kini, teman karib saya itu dan beberapa teman santri yang dulu tergoda dengan mimpi-mimpi yang ditawarkan HTI sudah purnah dari pesantren. Apakah dengan demikian pemikiran untuk membangun kejayaan umat Islam dengan sistem khilafah juga ikut surut? Saya tak sepenuhnya yakin. Karena dua-tiga tahun setelah kami menjadi alumni, pemikiran teman karib saya itu seperti dulu jika berbincang persoalan kebangsaan, meski samar-samar dan tidak sesanter ketika masih di pesantren. 

Apa jualan HTI untuk menjaring para anggotanya? Mengapa santri dengan mudah jatuh hati pada wacana yang mereka tawarkan, seperti pada kasus teman karib saya itu?

Adalah pelbagai persoalan bangsa dijadikan sebagai umpan oleh HTI untuk merekrut anggota baru. Seperti korupsi, maraknya kemaksiatan, kesenjangan ekonomi, dan lain sebagainya. Salosi yang ditawarkan hanya satu; merubah sistem pemerintahan dengan penegakan khilafah. Ini tampak dari diskusi-diskusi di kala seorang guru berhalangan mengajar. Teman-teman santri yang sudah kepincut dengan wacana HTI, argumentasi yang dilontarkan itu-itu saja, yaitu penegakan khilafah. 

Bagaimana memupuk rasa cinta terhadap bangsa jika rakyat terus-menerus dijadikan tumbal serta menanggung beban daripada tidak adilnya pengelolaan negeri ini? 

Bagi saya, ada beberapa hal yang melatar belakangi kenapa kemudian santri justru jatuh hati pada HTI. Pertama, waktu itu pesantren berasa berada di atas angin sehingga ideologi-ideologi sempalan tidak begitu dikhawatirkan bisa masuk ke pesantren. Baru setelah kecolongan, materi aswaja, ke-NU-an, kajian sejarah, sebagai penguatan akan pemahaman islam dan kebangsaan kencang dilakukan. Termasuk memasang gambar tokoh-tokoh NU di setiap ruang kelas dan cat tembok sesuai dengan warna bendera NU. 

Baca juga:  Kiai Amir Idris dari Simbang Kulon, Pekalongan

Kedua, usia remaja, seperti teman karib saya itu, masa mencari jati diri yang mudah goyah. Ditambah pengalaman serta penguasaan akan kebangsaan dan keagamaan secara utuh tidak terlalu mendalam. Masa remaja barangkali ibarat daun kering yang berisik, susah diikat, dan mudah terbakar. Pemahaman keagamaan yang moderat menjadi penting dilakukan sejak dini pada lembaga-lembaga pendidikan.

Ketiga, pentingnya seorang figur. Kasus yang saya alami beberapa tahun silam menunjukkan bahwa teman-teman santri yang gandrung dengan khilafah yang dihembuskan HTI, bukan karena ajakan teman karib saya itu. Tapi karena seorang putra kiai yang juga terbius pada HTI. Hal ini menurut saya menjadi faktor paling dominan, apalagi di Madura. Partai politik pun akan cepat laku jika memasang seorang kiai sebagai ketua umumnya. 

Apa yang saya alami di atas tentu sangat subjektif dan bersifat lokal. Tapi setidaknya dapat menjadi sinyal bagi pesantren pada umumnya untuk terus-menerus melakukan langkah strategis menangkal paham radikal. Apalagi pada era teknologi seperti saat ini, di mana akses untuk penyebaran paham radikal begitu mudah.

Karena itu, terpaparnya seseorang oleh paham radikalisme begitu kompleks. Sehingga penyelesaiannya pun tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi penyelesaiaan yang ditempuh hanya menyentuh kulit luar belaka, seperti soal celana cingkrang, cadar, jenggot dan semacamnya. Dan akan tambah rumit jika radikalisme menjadi mainan politik demi menggapai kekuasaan.  Wallahu ‘alam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top