Apabila Anda berkesempatan menjelajah pulau Madura dari ujung barat kabupaten Bangkalan hingga kabupaten Sumenep di ujung timur, Anda akan jarang menjumpai masjid yang tak layak huni, atau bahkan tidak ada. Beberapa masjid kini telah berdiri mentereng serta dilengkapi dengan sekian fasilitas yang menambah kenyamanan bagi jamaah untuk beribadah: ruangan penuh kipas angin atau ber-AC, sajadah empuk, beberapa ornamen yang menambah keindahan terpasang rapi, kamar mandi dan tempat wudhu’ fuul airnya dan tak lupa halaman parkirnya luas dan seterusnya.
Tetapi, dengan fasilitas yang berkecukupan tersebut jangan ditanya berapa jumlah orang yang salat berjamaah, apalagi saat salat subuh. Sungguh ironi, mengingat begitu semangatnya membangun masjid mewah dengan pelbagai fasilitas yang lengkap. Tidak adanya dana bukan soal tapi semakin memompa semangat, memutar otak, melakukan strategi-strategi, untuk membangun masjid yang -meminjam bahasa sekarang- wow. Ibarat sudah bersusah payah memasak tapi setelah siap dihidangkan tak ada yang makan.
Sedikitnya orang-orang yang mengisi saf-saf di dalam masjid pada dasarnya merupakan tamparan, karena orang-orang luar memandang orang Madura begitu kental dengan nilai-nilai religi. Namun, kondisi demikian sepertinya juga terjadi di banyak tempat lain. Sampai muncul kelakar bahwa masjid sekarang sudah kalah pamor dengan tempat-tempat wisata, cafe, mall, masjid hanya cocok bagi mereka yang sudah lanjut usia dan menjelma meseum yaitu, sama-sama ramai pada waktu-waktu tertentu.
Masjid sekarang, menurut Kuntowijoyo dalam Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, tak ubahnya seperti stanplat bus. Orang-orang yang datang ke masjid cukup ambil wudhu’, salat, duduk sebentar, selesailah urusan lalu pulang. Hasrat untuk berbicara dengan orang yang berada di sampingnya tidak ada, apalagi sampai mengenal lebih jauh, bertukar pikiran tentang nasib hidup yang dialami. Padahal bila menengok awal mula berdirinya masjid Nabawi -sebagai masjid pertama yang dibangun Rasulullah- menjadi pusat perbincangan dari pelbagai persoalan dimensi kehidupan; ekonomi, politik, dan tidak melulu tentang wawasan atau nilai-nilai keagamaan.
“Sebagai langkah pertama pembangunan masyarakat Islam, Nabi bukannya mendirikan istana, tetapi masjif. Istanah adalah lambang dari sebuah birokrasi yang mengurus masalah-masalah masyarakat disandarkan atas kekuasaan duniawi dari penguasa. Sedangkan masjid adalah lambang organisasi sosial yang disandarkan atas kekuasaan Allah,” tulis Kutowijoyo.
Dalam perjalanan sejarah Kuntowijoyo melihat masjid mengalami sekian pergeseran hingga berfungsing sebagai tempat ibadah an sich. Di masa kerajaan-kerajaan di Timur Tengah dan Afrika Utara misalnya, masjid-masjid megah tetap dibangun, tapi mereka juga membangun istana yang indah. Pada akhirnya, dengan meningkatnya jumlah umat waktu itu, pemisahan masjid dan istanah perlahan-lahan mulai dilakukan. Istanah mengurusi persoalan-persoalan yang berkenaan dengan duniawi sementara masjid dipersempit fungsinya untuk menangani urusan iman, ibadah, dan akhirat.
Demikian juga dengan kerajaan-kerajaan yang ada di bumi Nusantara, masjid dan istanah mulai dipisahkan. Hal ini dapat kita lihat dari tata letak kota kerajaan Islam masa lalu atau jauh sebelumnya. Di Sumenep, Masjid Agung yang dibangun pada masa Panembahan Somala tahun 1779 terletak di sisi Barat Keraton. Di zaman Majapahit, tempat pemujaan dan istanah juga dipisahkan, bangunan istanah kerajaan berada di tengah sebagai pusat sedang pemujaan bagi agama Syiwa dan Budha terletak di muka kanan dan kiri.
Kini, dengan segala kecanggihan teknologi dan mudahnya akses internet, untuk menarik minat seseorang ke atau mengembalikan masjid sebagai pusat pemberdayaan umat tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab untuk menambah wawasan keagamaan tak lagi hanya dapat diperoleh dengan cara-cara konvensional; pergi ke masjid, pesantren, kiai atau ustad. Mesin percari google atau youtube banyak menampung bahan-bahan materi keagamaan yang disampaikan oleh pelbagai pemuka agama. Dan, sepertinya masyarakat yang bermental instan lebih tertarik untuk belajar atau menambah wawasan keagamaannya melalui dunia virtual, karena lebih praktis.
Demikian pula dengan anak-anak muda generasi milenial yang kehidupan sehari-harinya seperti tak bisa lepas dengan gadget. Selain itu, seperti diurai Kuntowijoyo dalam Muslin Tanpa Masjid, lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan sendiri makin menjauhkan mereka dari kegiatan keagamaan yang dilakukan di kampungnya (masjid).
Masjid, bagi Kuntowijoyo dapat menjadi (seharusnya) pusat gerakan perubahan sosial yang memberdayakan masyarakat atau umat. Dalam hal ini yang harus dilakukan adalah membangun solidaritas yang lebih mengakar, yaitu solidaritas sosial dan solidaritas ekonomi. Misalnya, ada jamaah di lingkungan masjid yang tidak mampu secara ekonomi menyekolahkan anaknya. Maka jamaah masjid yang lain harus terlibat membantu, tidak melulu berupa materi. Bisa saja dicarikan lembaga-lembaga sosial yang bisa memberi bea siswa dan lain semacamnya.
Selanjutnya yang perlu dilakukan, menurut Kuntowijoyo adalah menerapkan konsepsi Islam tentang musyarakah. Suatu ketentuan bahwa orang-orang yang secara sosial-ekonomis lemah tetap memiliki hak untuk mengambil bagian dalam proses distribusi barang dan jasa tanpa harus memberikan gantinya. Dasar dari ketentuan dimaksud adalah keikhlasan dan persaaudaraan bahwa harta yang dimiliki merupakan pemberian dari Allah SWT dan orang lain mempunyai hak atas harta tersebut sebagaimana diatur dalam al-Quran dan Hadits.
Lebih jauh Kuntowijoyo menjelaskan bahwa “Musyarakah bukan semacam komune yang membagj alat-alat produksi kerja, dan distribusi; tetapi sebuah keluarga yang membagi pendapatan yang bersifat kesejahteraan. Jika sebuah satuan kolektif dalam sistem Marxis merupakan manifestasi dari masyarakat kontraktual dengan masyarakat primitif sebagai model, musyarakah mengambil model masyarakat di zaman Nabi. Di zaman Nabi tidak ada ajaran kolektifitas dalam alat-alat produksi, tetapi ada semangat kolektif dalam konsumsi”.
Tentu dalam menjadikan masjid sebagai pusat gerakan perubahan sosial, dengan membangun solidaritas sosial dan solidaritas ekonomi, menuntut progresifitas takmir masjid untuk memetakan dan memperat soliditas jamaahnya. Karena selama ini, tugas yang dilakukan takmis masjid hanya berkisar pada wilayah perbaikan infrastruktur, mengatur jadwal imam dan bilal jumat dan lain semacamnya. Dan hadirnya organisasi Dewan Masjid Indonesia (DMI) biar tampak wujudnya. Wallahu ‘alam.
Ilustrasi: Suasana masjid Kebon Jeruk, Jakarta Utara (Foto:ELik Ragil/Alif)