Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Kopi, Rokok, dan Orang Madura

Tanah Madura yang tandus memang tidak cocok untuk menanam kopi—butuh kontur tanah subur dan iklim sejuk. Tetapi hal itu tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa orang Madura asing dengan kopi. Sebaliknya, selama sekian abad kopi telah mendarah-daging dalam setiap denyut kehidupan orang Madura. Di langgar, beranda rumah, saat menjamu tamu atau sanak saudara, setiap tempat tongkrongan kopi selalu ada. Dengan kopi silaturahmi semakin kental penuh kehangatan sehangat secangkir kopi.

Bila Anda bertemu orang Madura, di dalam bus misalnya, kemudian terlihat minum kratingdaeng jangan percaya bahwa yang diminum benar-benar minuman energi dari Thailand itu. Karena kemungkinan besar apa yang diminum itu adalah kopi. Ya, salah satu kebiasaan sebagian besar orang Madura apabila bepergian jauh sangu yang dibawa adalah kopi, termasuk bila mencangkul di sawah.

Kopi juga menjadi salah satu menu utama dalam setiap kenduri termasuk pada pesta-pesta perkawinan. Kecuali di daerah perkotaan, seperti kota-kota lain yang mengalami sekian pergeseran, kopi sudah diganti dengan air mineral dengan alasan lebih praktis alias tak mau ribet.

Bahkan, di beberapa tempat di Madura kopi telah menjadi citra etik dalam interaksi sosial masyarakatnya. Apabila bertamu, kemudian sang tuan rumah tidak menyuguhkan kopi, siap-siap mendengar rasan-rasan tak enak para tetangga. Karena itu, biasanya tuan rumah menahan tamunya agar tak lekas-lekas membicarakan persoalan inti, sebelum kopi disuguhkan.

Kopi yang dihidangkan tentu bukan diperoleh dari kebun sendiri dan tidak melulu beli. Ada kalanya kopi tersebut merupakan oleh-oleh sanak kerabat yang ada di tanah rantau. Seperti Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi, Malang dan selainnya. Biji kopi dimaksud biasanya disangrai dan ditumbuk sendiri, baru siap disajikan.

Baca juga:  Teror Peradaban (3): Perang

Lalu, bagaimana dengan rokok bagi orang Madura? Sebagai penghasil tembakau rokok dan kopi tidak bisa dipisahkan. Di mana ada kopi di situ harus ada rokok. Begitu sebaliknya. Hal ini tercermin dari pantun yang jamak dikenal di tengah-tengah masyarakat Madura; bile akalambi ye kodhu asongkok (jika ngopi ya harus merokok).

Saat bertamu pantun ini bisa dijadikan bahan sindirian untuk tuan rumah jika salah satunya (kopi atau rokok) tidak ada; parcoma akalambi tape keng ta’ a songkok (percuma ada kopi tapi tak ada rokoknya). Tuan rumah langsung paham dan buru-buru membeli sebungkus rokok walau ia sendiri bukan “ahli hisap”.

Untuk rokok di beberapa pesantren di Madura memberi lampu hijau kepada para santrinya untuk merokok, tanpa memandang batas usia, seperti diwanti-wanti ahli kesehatan melalui pelbagai iklan. Hal ini memang serasi dengan image seorang santri yang ke mana saja selalu akalambi dan asongkok (ngopi dan merokok). Bagi santri Madura, minum kopi dan merokok bukan suatu perilaku yang sia-sia. Sebab ia telah menjadi teman sejati saat menelaah kitab, halaqah mencari solusi dari persoalan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan menyelam dalam sunyi malam untuk mendekatkan diri pada yang Ilahi.

Rokok juga bisa dijadikan sebagai pengganti ongkos lelah dari suatu pekerjaan. Di tempat saya, apabila menyuruh orang untuk melakukan suatu pekerjaan yang dipandang atau termasuk kategori ringan, maka orang yang disuruh itu tak sudi menerima upah berupa uang. Namun bila rokok yang disodorkan, apalagi rokok itu sesuai dengan selera, tak tahan untuk menolaknya.

Khusus rokok, yang bagi ahli kesehatan dipandang (negatif) berbahaya bagi kesehatan, orang-orang Madura yang ahli hisap punya beberapa argumen pembelaan. Di antaranya terkesan ilmiah dan revolusioner seperti pembelaan seorang ahli hisap teman saya.

Baca juga:  Sarung, Madura, dan Inferioritas

“Mengapa Anda merokok, bukankah berbahaya bagi kesehatan sebagaimana pernyataan dokter?,” tanya saya.

“Memang,” jawabnya singkat.

“Lah, kenapa masih merokok?”

“Karena saya ingin menyejahterakan rakyat,” katanya.

“Bagaimana maksudnya,” kata saya yang bingung dengan jawabannya.

“Rokok ini dari tembakau. Yang menanam tembakau itu rakyat, tapi tetap miskin. Yang kaya dan semakin kaya yang punya gudang atau pabrik tembakau.”

Dalam soal harga rakyat kita tidak merdeka dalam menentukan harga. Harga sudah dipatok oleh pemilik pabrik itu,” terangnya.

“Lantas bagaimana,” desak saya.

“Ya, saya benci dengan ini semua. Karena itu saya akan membakar habis pabrik-pabrik tembakau itu,” katanya penuh kemarahan.

“Bagaimana caranya?,” tanya saya.

“Ya, kalau langsung membakar pabrik-pabrik itu saya pasti dihukum, saya takut. Karena itu, saya bakar pabrik itu per bungkus saja,” jelasnya.

Kopi dan rokok sudah sekian lama menjadi jembatan persambungan raga dan batin orang Madura. Jika kopi dan rokok sudah disuguhkan berat rasanya untuk cepat-cepat mengakhiri perjumpaan. Obrolan-obrolan ringan dengan bahasa sederhana khas masyarakat pinggiran tak bisa dibendung. Topik yang dibicarakan pun cukup beragam, mulai soal mahal dan langkanya pupuk, jalan yang rusak, bahan-bahan kebutuhan pokok yang tak terjangkau, sampai dengan calon DPR, Bupati, Gubernur yang selalu tebar pesona.

Baca juga:  Gelak Tawa Orang Madura di Tanah Suci

Bagaimana bila orang-orang yang diberi amanah untuk mengelola negeri ini mendengar obrolan rakyat yang selalu dipandang rendah itu? Akankah para pejabat negeri ini mendengar dan menghayatinya? Atau menganggap sebagai lagu bising yang tak cocok bagi telinga? Wallahu a’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top