Siang itu, saya berkunjung ke Museum Pusaka yang berada di sebelah barat labeng mesem Keraton Sumenep. Bangunan dua lantai ini dulu adalah kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disparbudparpora) Kabupaten Sumenep. Selain berada di lingkungan keraton, museum yang diresmikan pada gelaran Festival Keraton dan Masyarakat Adat Asia Tenggara Ke-5, Oktober lalu, ini juga berdekatakan dengan Museum Keraton ujung timur pulau Madura.
Sebagai informasi, Museum Keraton Sumenep yang menyimpan beberapa peninggalan bersejarah Keraton Sumenep berada di tiga lokasi. Lokasi pertama berada di sebelah selatan Keraton Sumenep. Di dalamnya tersimpan kereta kuda pemberian dari Ratu Inggris, Alquran dengan panjang empatg meter dan lebar tiga meter, foto-foto raja Sumenep, guci-guci keramik dari Dinasti Ming, alat-alat pertanian tradisional, dan lain sebagainya.
Lokasi kedua berada di dalam lingkungan keraton, tepatnya di sisi barat balairung. Kereta kencana dipajang sebelah utara pintu masuk, seakan berucap salam, menyambut penuh hangat, siapa saja yang datang. Alat-alat untuk upaca mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan anggota keluarga keraton tersimpan rapi di dalamnya.
Ada pula bermacam peralatan perang, seperti tombak, aneka keris, samurai dan baju perang yang terbuat dari besi. Tak kalah menarik, beragam guci dan keramik dari Tiongkok menghiasi etalase museum suatu isyarat betapa eratnya hubungan Kerajaan Sumenep dan Kerajaan China.
Tersimpan pula Alquran yang ditulis oleh Sultan Abdurrahman. Demikian juga baju kebesaran Sultan dan Putri Keraton Sumenep. Di halaman dalam dari lokasi yang sama terdapat arca dan fosil kerangka ikan paus yang terdampar di salah satu pantai di Kecamatan Kalianget tahun 1977.
Ada yang unik di lokasi yang kedua dari museum Keraton Sumenep ini, yaitu piring makan atau magig rower. Konon, bila nasi dituang diatasnya tidak akan basi meski satu minggu lamanya. Piring ini berbentuk oval dan bergambar Raja Sampang Cokronegoro (1830) hadiah untuk Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (1811-1854), Raja ke-32 Keraton Sumenep.
Dari lokasi ke dua, arah utara, terdapat romah panyepen (rumah untuk menyepi/semedi) yang juga menyimpan benda-benda bersejarah Keraton Sumenep. Di terasnya, lurus dengan daun pintu, terdapat sebuah meriam. Dua lukisan perahu karya budayawan Madura, D. Zawawi Imron, menggantung pada dinding kanan dan kini atas pintu masuk. Ruangan ini banyak menyimpan perabot rumah tangga keraton. Mulai dari dipan tidur, kursi, meja, dan lainnya.
Beruntung, selain tiga lokasi yang menyimpan aneka peninggalan bersejarah, Sumenep kini telah memiliki Meseum Pusaka. Bagi masyarakat umum dan khususnya para pecinta tosan aji dapat menikmati adi karya para empu generasi Empu Kelleng ini. Di dalamnya tersimpan keris dengan aneka pamor seperti jungjung drajak, dwiwarna, melati, kulit semangka, dan juga luk, dhapur, warangka yang menawan.
***
Sumenep atau Songenep, sebagai wilayah yang dulu pernah berdiri suatu kerajaan tentu mempunyai ikatan yang erat dengan dunia keris. Sebagaimana kerajaan-kerajaan di Nusantara, keris sebagai salah satu pencapaian teknologi waktu itu, memiliki kedudukan yang istimewah. Sebab keris tidak hanya dipandang sebagai benda yang berfungsi aplikatif tetapi, lebih kepada persoalan spiritual.
Perkembangan keris di Sumenep tak lepas dari peran beberapa empu yang telah berjasah memperkenalkan dunia tosan aji. Seorang empu yang familiar dalam cerita tutur masyarakat Sumenep adalah Empu Kelleng. Bicara Empu Kelleng tidak bisa dilepaskan dengan Jokotole, salah satu putra mahkota Keraton Sumenep. Syahdan, saban sore, salah satu kerbau milik Empu Kelleng selalu pulang telat. Kondisinya pun tambah hari makin kurus.
Karena penasaran, sang Empu kemudian menyelidiki, apa gerangan yang terjadi pada satu kerbau miliknya yang selalu telat masuk kandang. Ternyata, kerbau dimaksud sedang menyusui seorang bayi laki-laki, Jokotole, putra dari Dewi Saini alias Potre Koneng dengan Adi Poday. Karena hubungan Potre Koneng dan Adi Poday tidak lumrah maka, anak yang dilahirkan dipandang aib keluarga keraton. Karenanya harus dibuang. Singkat kata, Empu Kelleng kemudian merawat Jokotole seperti anaknya sendiri.
Sejauh yang saya ketahui, tidak banyak catatan sejarah yang mengurai secara detail tentang sosok Empu Kelleng. Salah satu jasanya, menurut cerita tutur, ia merupakan empu yang terlibat di dalam pendirian pintu gerbang Majapahit. Walau kemudian, seperti di ungkap oleh cerita tutur tadi, Jokotole punya peran penting bagi tugas (pendirian gerbang kerajaan) yang sedang diemban ayah angkatnya tersebut.
Seorang empu yang juga berjasa atas pengenalan terhadap tosan aji di Sumenep adalah Empu Karangduwak atau lebih dikenal dengan Gung Macam atau K. Murkali. Merujuk data matamaduranews.com, Gung Macam begitu populer di kalangan pencinta keris di Sumenep karena karya sang empu, sampai saat ini, masih ada hingga di beberapa kolektor keris. Hasil “ciptaan” Gung Macan akrab dengan sebutan Berema Batu, Berema Resi, dan Berema Tama.
Namun, menurut anak turunnya seperti dimuat dalam laman matamaduranews.com, masih banyak keris karya Gung Macam yang tidak diketahui masyarakat (utamanya pencinta tosan aji). Bahkan, benda-benda peninggalan Gung Macan hanya dimiliki oleh anak turunnya. Seperti keris yang bernama “Macan Poteh Karangduwak dan Si Jempol”, termasuk juga Merah Delima, Batu Sulaiman, Banyu Urip, Akik Zaman, dll.
Lepas dari itu semua, kini, Sumenep mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai wilayah pengrajin keris terbanyak. Ada sekitar 684 empu yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Bluto, Saronggi, dan Lenteng. Dari ketiga kecamatan tersebut paling banyak adalah Desa Aeng Tong Tong, Kecamatan Saronggi. Keris hasil karya para empu Desa Aeng Tong Tong ini sudah menembus pasar mancanegara. Tak heran bila keris Aeng Tong Tong banyak diburu para pencinta atau kolektor kerus, baik dari dalam maupun luar negeri.
***
Kini, keris telah dijadikan sebagai ikon dari kabupaten paling timur di Pulau Madura ini. Dan, ia tidak hanya lagi berfungsi sebagai sekep yang bermuara pada harapan akan ada pantulan magis dari sebuah keris. Melainkan sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat aksesoris atau komersil belaka.
Lalu, bagaimana dengan celurit? Bukankah celurit telah dikenal sebagai senjata tradisional khas Madura?
Jika menilik sejarah, sebelum abad ke-19 Keraton Sumenep belum mengenal akan celurit. Senjata yang digunakan saat perang hanya terbatas pada keris, tombak, pedang, panah, dan lainnya. Salah satu contoh ketika pasukan Madura bahu membahu membantu pendirian Majapahit, bahkan sebelumnya pada masa Tumapel dan Singasari yang runtuh dibawa kerajaan Gelang-gelang Kediri, di mana pasukan Madura juga turut membantu, celurit sebagai senjata belum ada.
Dalam cerita rakyat, K’ Lesap, putra dari Cakraningrat III (raja Bangkalan 1707-1718) dengan seorang selir, pernah berambisi untuk menguasai seluruh tanah Madura. Pemberontakan di mulai dari ujung timur Madura, yakni Sumenep. Singkat kata, Ke’ Lesap pun berhasil walau pada akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Cakraningrat V. Dalam cerita ini pun kita tidak menemukan bahwa celurit dijadikan senjata, oleh pasukan sang Ke’ Lesap.
Celurit baru dikenal dan selalu dinisbatkan kepada sosok Sakera, mandor pada salah satu kebun tebu di Pasuruan. Konon, kemana pun pergi, Sakera selalu membawa senjata yang kemudian dikenal dengan celurit. Sayang, kisah Sakera tak banyak terurai dalam bingkai sejarah.
***
Ada yang menarik sebenarnya bagaimana orang Madura memandang keris. Keris tidak hanya dipandang sebagai pusaka yang terbuat dari besi atau baja dengan aneka pamor dan look yang menawan serta memiliki kekuatan magi. Ini dapat tercermin dalam ungkapan yang jamak dikenal oleh orang Madura bahwa mon kerras kodhu a kerres (jika bersikap kasar maka harus bertaji).
Pandangan tersebut menyiratkan bahwa yang harus diutamakan itu adalah “isi” bukan “bentuk”. Sebab isi merupakan penentu apakah suatu itu berguna atau tidak, baik bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Salah satu contoh, jika Anda memiliki gelar yang berderet di belakang nama Anda tapi tidak ada satu pun ilmu pengetahuan yang dikuasai. Untuk apa pelbagai gelar itu? Jika bukan, gelar yang berderet itu, hanya menjadikan Anda sebagai macam ompong.
Nah, semangat dan nilai filosofis dari pandangan tersebut itulah yang harus direvitalisasi terus menerus. Karena di masa ini banyak yang sampai “menyembah” bentuk daripada mengutamakan isi atau subtansi. Dalam hal ini, membangun museum keris bukan tugas akhir atau satu-satunya dari pemerintah daerah.
Lebih utama dari itu adalah menyerap nilai filosofis weltanschauung orang Madura terhadap keris, seperti tersirat pada ungkapan tersebut di atas, dalam setiap kebijakan daerah. Karena itu, keris jangan hanya dijadikan ikon sebatas pemanis buah bibir semata. Untuk menarik dan mendongkrak kunjungan wisatawan, baik dalam negeri atau mancanegara. Wallahu ‘alam