Ramadan terakhir, setelah azan Ashar, di masyarakat yang tinggal di perkotaan, aroma wangi dari kayu manis menyeruak dari sela-sela ventilasi udara rumah yang tidak begitu besar di komplek perumahan kecil. Aroma wangi tersebut bercampur di udara dengan aroma segar rempah-rempah lainnya.
Tidak lama kemudian, wangi makanan muncul dan menyebar beradu dengan wangi serupa dari menu yang beda.
Di perkampungan pun serupa. Bahkan lebih semarak. Aroma wangi makanan dari sudut rumah, akan ditambahi suara alat masak yang bertemu dan saling beradu. Hampir tiap rumah menyiapkan sajian yang terbaik pada hari istimewa. Disesuaikan dengan asal daerahnya. Semua tampak antusias dalam memasak.
Persediaan bumbu yang sudah disiapkan jauh-jauh hari, mulai dikeluarkan satu persatu. Bahan-bahan makanan seperti daging, ayam, ikan atau lainnya juga mulai diletakkan tidak terlalu jauh dari bumbu-bumbu.
Bagi negeri rempah seperti nusantara ini, menu masakan apapun yang dipersembahkan selalu dipenuhi dengan rempah-rempah yang kaya rasa, wangi, dan sedap dipandang juga.
Dari ujung barat Indonesia sampai ujung timur Indonesia, rempah-rempah selalu tersedia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, setidaknya pada masakan. Rasa makanan ada yang terasa beda jika tidak ada rempah-rempah di dalamnya.
Pada hari ini, resep-resep leluhur mulai diturunkan. Rasanya tentu akan berbeda dengan yang biasanya. Orang padang akan memasak rendang daging, yang tentu berbeda dengan rendang yang ada di warung makan. Orang Aceh akan memasak bebek gulai, orang Medan akan masak sayur nangka. Begitu seterusnya. Karena daerah tempat tinggal saya banyak masyarakat Betawi, maka menu khas betawi sudah menyeruak dari tiap-tiap rumah. Semur daging yang lezat sudah terbayang.
Itu semua adalah menu-menu dari resep “leluhur” yang entah dibawa ketika merantau, tanya pada keluarga, atau searching di google. Jika makanan dirasa sama saat di kampung, maka menganggap dirinya sukses menjaga tradisi keluarga. Tapi jika ada rasa berbeda, maka masih menganggap belum layak.
Menu yang “wajib” dan dapat dikatakan pasti ada adalah opor ayam. Makanan ini seperti sudah menjadi makanan nasional saat lebaran, dimakan dengan ketupat. Bahkan, di beberapa spanduk atau kartu ucapan, simbolnya adalah opor ayam dan ketupat.
Lebaran adalah opor ayam dan ketupat. Sedianya makanan ini khas Jawa, dengan bumbu beragam rempah-rempah dan memiliki simbol sendiri.
Ayam, adalah hewan yang sangat dekat dengan manusia dan umum dipersembahkan dalam upacara-upacara tradisi.
Kelapa, adalah salah satu tumbuhan yang juga umum dimanfaatkan dalam berbagai peradaban, baik untuk ritual, makanan, maupun bahan bangunan.
Tak kecuali, peradaban Islam pun menghargai kerabat dari kelapa ini..
Jadi, wajar bukan jika untuk menyambut Hari Agung, kita memasak makanan istimewa yang sarat makna?