Bagi sebagian orang, ketika mendengar kata kemenyan tentu yang terbayang adalah tempat angker, pohon besar, makam, mistik, bapak tua dengan kerisnya atau malam-malam yang gelap dan menakutkan. Bahkan mungkin generasi milenial tidak mengenal kemenyan? Bisa jadi.
Anggapan tersebut tidak salah, karena untuk beberapa generasi, ada konstruksi yang membentuk pandangan masyarakat mengenai kemenyan, baik melalui visual maupun media lainnya. Ada kesan mistik ketika kita mencium aroma kemenyan atau melihat orang lain membakar kemenyan. Kesan tersebut bukan ada dengan sendirinya melainkan melalui konstruksi yang panjang.
Dalam masyarakat di Indonesia itu sendiri kemenyan memang sering digunakan. Tidak saja untuk wewangian melainkan juga dipercaya dapat mencerdaskan janin, memberikan efek yang baik pada metalurgi, dupa, maupun penggunaan lainnya. Dari sini awal mula streotip kurang baik pada kemeyan.
Di luar pandangan tersebut, kemenyan memiliki sejarah yang panjang. Melibatkan paham keagamaan, politik, budaya, dan ekonomi. Kemenyan merupakan saah satu komoditas andalan Indonesia, dengan pangsa pasar Arab, China, India, bahkan Eropa.
Nilai ekonomis dari kemenyan tidak hanya terjadi pada masa lalu. Sekarang pun nilai ekspor dari kemenyan masih lumayan tinggi. Menurut data yang ada, nilai ekspor kemenyan adalah 44 juta $ pertahun. Bukan angka sedikit bagi produk sumberdaya yang memiliki konotasi negatif atau bahkan tidak dikenali.
Kemenyan itu sendiri secara arti adalah getah yang dihasilkan dari pohon Styrax benzoin (pakai ‘B’ kecil, dalam penulisan Latin, tumbuhan maupun binatang, kata kedua kecil), satu jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik di Pulau Sumatera. Walaupun demikian, pengertian kemenyan bukan lagi merujuk pada getah pohon tersebut, tetapi arti kemenyan sudah bergeser menjadi berbagai macam jenis wewangian yang dihasilkan melalui dibakar dan dari tumbuhan.
Ada banyak ragam jenis tumbuhan penghasil aroma selain dari Styrax. Seperti misalnya gaharu, cendana, atau pohon-pohon lainnya yang mengeluarkan aroma wangi ketika dibakar.
Sejak zaman dahulu, kemenyan telah menjadi komoditas perdagangan antarbenua. Menurut catatan Minter (2005), kemenyan telah diperdagangkan di Asia Tenggara kurang lebih 1000 tahun, hal ini ditulis oleh penulis China pada masa Dinasti Sung (AD 960-1279) impor dari Sumatra dan Kamboja. Masyarakat China membutuhkan kemenyan sebagai bahan obat-obatan, seremonial keagamaan, campuran makanan, dan bumbu rokok.
Menurut sumber lainnya berbeda pandangan mengatakan bahwa kemenyan dari Sumatera telah menjadi komoditas perdagangan jauh sebelum itu. Bangsa-bangsa Mesir pun kuno sudah menggunakan kemenyan. Kemenyan-kemenyan tersebut didatangkan dari Sumatera, ada yang langsung dan ada yang melalui India terlebih dahulu. Bangsa Mesir kuno memanfaatkan kemenyan untuk pengharus ruangan, upacara keagaman, maupun pengobatan.
Menurut beberapa literatur, kemenyan Jawa atau disebut dengan “Bukhur al-jawi” memiliki beberapa manfaat, diantaranya; menyebarkan bau harus dalam ruangan, memiliki unsur aaliah untuk sesak nafas, melancarkan saluran air kencing, menambah stamina, mengobati luka lecet, menenangkan beban pikiran, mengobati luka koreng dan mempercepat pemulihannya.
Kemenyan dan Agama (Islam)
Ada anggapan kuat pada sebagan pemeluk agama Islam bahwa kemenyan berkaitan dengan praktik-praktik syirik atau menyekutukan Tuhan. Pandangan ini terus disuarakan sehingga lambat laun kemenyan mulai jarang digunakan, hanya pada masayarakat tertentu dan dalam kondisi tertentu.
Pandangan tersebut tentu bermasalah karena kemenyan bukan merupakan bagian dari ibadah, ia hanya berfungsi sebagai membantu orang dalam beribadah. Dengan bakar kemenyan ada efek aromaterapi sehingga orang mudah berkonsentrasi atau khusuk.
Pandangan tentang kesyirikan juga tidak memiliki pijakan historis dalam praktik Nabi. Berdasarkan berbagai sumber, Nabi senang membakar wewangian, entah itu bersumber dari kemenyan maupun gaharu.
Sebagai ajaran penyempurna, Islam menerima estafet spirit keagamaan dan beberapa praktik keagamaannya. Beberapa ajaran dari agama sebelumnya diadopsi oleh Islam dan diberikan nuansa Islam oleh nabi. Seperti tradisi khitan. Tradisi ini berasal dari tradisi Nabi Ibrahim yang dianggap baik oleh Nabi, sehingga beliau pun menganjurkan umatnya untuk berkhitan.
Dalam beberapa kitab klasik disebutkan bahwa nabi memiliki tempat khusus untuk bakar kemenyan atau gaharu. Fungsinya untuk memberikan efek wangi pada ruangan atau baju yang dikenakan karena terkena asap kemenyan.
Selain dari hadis, tradisi bakar kemenyan atau wewangian ruangan juga dilakukan oleh para sahabat Nabi. Dari Abu Bakar sampai dengan Ali bin Abi Tholib. Bahkan, kemenyan tidak hanya dibakar melainkan dikonsumsi untuk dimakan, terutama bagi wanita yang sedang hamil.
Demikian juga dengan kemenyan. Tradisi membakar kemenyan juga dilakukan oleh hampir seluruh tradisi keagamaan, sampai sekarang. Tidak hanya agama yang bersumber dari kitab suci atau agama samawi/agama langit (Islam, Kristen, Yahudi) tetapi juga agama yang berasal dari tradisi atau agama ardi/agama bumi. Kedua kategori agama tersebut sama-sama menggunakan kemenyan atau wewangian berupa dupa dalam berbagai macam tradisinya.
Trm ksh kepada penulis karena sudah berbagi informasi dan pengetahuan mengenai kemenyan. Saran saya mohon dibahas juga mengenai minyak kemenyan (benzoin oil).