Peneliti di Research Center for Biology, Indonesian Institute of Scienties

Demi Umat, Lelaku Pemimpin Sejati

Img 20201221 125809

Masih kuat dalam ingatan saat Presiden Abdurrahman Wahid dipaksa keluar istana oleh permainan politik tanpa etika. Kenapa dikatakan tanpa etika?

Karena cara-cara yang dilakukan sangat kasar, mengabaikan aspek konstitusi, dan tanpa peri-kemanusiaan. Peristiwa yang terjadi 20 tahun lalu begitu menyakitkan sehingga terus membekas dalam ingatan. Seorang presiden yang sedang berjuang melawan bobroknya perilaku aparat negara, membela kelompok-kelompok minoritas, dan perbaikan-perbaikan lainnya.

Bagi Sang Presiden itu sendiri, keluar dari istana tidak lah menjadi soal besar, dengan prinsip “Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dipertahankan mati-matian” beliau dengan santai keluar istana.

Tetapi di luar istana, ribuan pendukungnya dari berbagai element, terutama Nahdliyin sudah siap membelanya dalam mempertahankan jabatan. Bahkan sebagian rela berkorban untuk itu. Jika hal tersebut dibiarkan, maka kemungkinan besar akan ada kekacauan dan banyak yang mati.

Di saat genting tersebut, instruksi terakhir dari Sang Presiden adalah menyuruh semua pendukungnya untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sakit hati karena telikungan, pengkhianatan, dan konspirasi politik ditanggung sendiri olehnya. Rakyat jangan sampai menerima dampak buruk dari situasi politik yang menempa dirinya.

Langkah yang diambil oleh Sang Presiden Abdurrahman Wahid dalam sejarah Indonesia memiliki banyak contoh. Bagaimana pemimpin sejati menyelamatkan ummatnya dengan menanggung beban kekalahan sendiri, ummat jangan sampai turut menderita.

Baca juga:  Obituari: Ajip Rosidi (1938-2020), Generasi Terakhir Sastrawan Era 1950an

Contoh pertama adalah dari presiden pertama Indonesia, Soekarno. Sang Proklamator (Bung Karno), Presiden pertama Indonesia pun melakukan hal serupa. Setelah kudeta G30S-PKI (sebagian sejarawan berpendapat peristiwa tersebut adalah konspirasi), menerima perlakuan yang tidak baik dari Soeharto.

Beliau rela menanggung hal tersebut sendirian dalam kamar gelap yang tidak layak untuk seorang presiden dan proklamator. Padahal, pada tahun-tahun tersebut pendukung dan loyalisnya masih sangat banyak. Seandainya beliau berjuang untuk mempertahankan jabatannya dan menginstruksikan pendukungnya untuk berjuang, maka akan terjadi perang sipil yang besar dan korban sangat banyak dari kedua belah pihak, yang sama-sama bangsa Indonesia.

Di masa perjuangan, ada banyak contoh mengenai redupnya perjuangan melawan kolonial karena pertimbangan keselamatan pendukung atau umatnya.

Dalam era ini yang perlu disebut adalah Cut Nyak Dien, seorang pejuang dari Aceh yang diasingkan. Setelah sekian tahun melawan kolonial, pada akhirnya beliau menyerah dan bersedia diasingkan, setelah dilhianati oleh orang dekatnya. Dengan pertimbangan jika terus melawan akan banyak korban dari masyarakat yang tak berdosa, beliau bersedia menanggung derita diasingkan, sampai meninggal.

Contoh lainnya adalah dari pejuang yang menyatukan para ulama dan satria, yakni Pangeran Diponegoro. Perang Jawa yang dikobarkannya mampu menggerakkan semua element masyarakat. Perang ini menyebabkan kolonial kehabisan dana.

Baca juga:  Meneladani Kembali Dakwah Nabi di Bumi Nusantara

Dalam perang yang terjadi pada rentang waktu 1825-1830 ini, para ulama bahu membahu turut berjuang. Jaringan ulama yang selama ini terhubung oleh garis keilmuan, kini ada benang merah baru, yakni perjuangan melawan penindasan kolonial dan perjuangan kemerdekaan.

Namun pada akhirnya, pengkhianatan pun terjadi. Orang-orang pilihan yang seharusnya ada di garda depan dalam perjuangan malah berpaling dan mendukung kolonial. Tidak hanya itu, kolonial juga membunuh rakyat tak berdosa dengan tuduhan mendukung Sang Pangeran.

Dalam situasi sulit tersebut, Jika perlawanan terus dilakukan maka akan makin banyak korban dari kalangan rakyat biasa, beliau bersedia ditangkap dan diasingkan. Beliau rela menanggung derita itu seorang diri supaya ummatnya tidak lagi menderita.

Dalam lukisan Raden Saleh yang merekam situasi penangkapan, tergambar amarah Sang Pangeran. Amarah tersebut ditujukan pada pengkhianat.

Pada era yang lebih lama pun ada contoh yang serupa, dari dua raja besar dan dua kerajaan besar. Majapahit dan Pajajaran.

Brawijaya V, saat mengetahui perkembangan Islam di tanah Jawa kian masif dan turunannya mendirikan kerajaan Demak-sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa-memilih tidak melawan melainkan mengasingkan diri. Karena jika hal tersebut dilakukan, akan terjadi banyak korban jiwa-yang semuanya adalah rakyatnya sendiri.

Demikian juga langkah yang dilakukan oleh Prabu Siliwangi. Perkembangan kerajaan Islam Cirebon dan Banten telah mendesak dan mengikis kekuatan Pajajaran.

Baca juga:  Shofiyah Binti Abdul Mutthalib: Veteran Perang dari Kaum Perempuan

Memperhatikan situasi yang demikian, Sang Prabu memilih untuk mengungsi dan mengasingkan diri. Langkah ini dipilih untuk menyelamatkan rakyatnya, apalagi kedua kerajaan yang mendesaknya adalah cucu dan buyutnya.

Jika melawan, akan terjadi perang antar saudara yang memakan korban rakyatnya juga. Selama ini, dalam berjuang atau memimpin mereka semata-mata untuk rakyat atau umatnya. Tidak ada pemimpin sejati yang mengorbankan umatnya untuk ambisi pribadi

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top