Mohammad Alfuniam
Penulis Kolom

RMI PBNU, Santri Kiai Sahal Mahfudh. Tinggal di Jogjakarta

Kiai Sahal, Mendayung di antara Liberalisme dan Fundamentalisme (2, Bagian Akhir)

Fikih sosial Kiai Sahal titik temu Islam dan Negara

Membaca fikih sosial Kiai Sahal Mahfudh almaghfurlah, tidak mungkin melepaskan dari dua narasi besar yang sudah saya tulis di bagian pertama, “konteks lokal/Jawa” dan “Ke-Indonesiaan”, bingkai NKRI dan pluralisme Bineka Tunggal Ika.

Konstitusi adalah “mitsaqon gholidlo” atau perjanjian agung yang dalam bahasa modern disebut “kontrak sosial” sesuatu yang final dan tidak menempatkan fikih secara istimewa sebagai hukum negara.

Kiai Sahal dengan briliant mampu mengelaborasi fikih menjadi sebuah etika sosial dan norma kehidupan sehingga fikih tidak hanya sebagai teori-syariat dan berada di menara gading namun juga mampu menjadi perilaku sekaligus problem solver persoalan masyarakat dan bukan malah sebaliknya.

Dalam fikih sosialnya, Kiai Sahal menjadikan fikih sesuatu yang praktis, avialable dan tidak vakum, bahkan Kiai Sahal berpendapat “mauquf” (berhenti memberikan jawaban fikih atas persoalan yang dihadapi masyarakat) hukumnya haram, tidak boleh terjadi

Di antara produk pemikiran fikih sosial kiai Sahal, zakat maal (harta) boleh diberikan berupa barang dan tidak harus uang, karena memberi becak sebagai alat produksi akan jauh lebih bermanfaat dari sekedar uang karena hal itu akan memicu dan memacu dinamika produktifitas ekonomi.

Baca juga:  Perbedaan NU dan Muhammadiyah, Gus Baha Bilang Gak Perlu Ikut Mekkah

Lokalisasi pelacuran dan perjudian dengan syarat tertentu, ketika sudah merajalela dan ada di mana-mana, dapat menjadi salah satu alternatif solusi penangan penyakit sosial, sehingga masyarakat umum tidak terimbas dan persoalan prostitusi bisa lebih terpantau dan diawasi yang selanjutnya dicarikan penyelesaiannya. Meski pendapat ini ulama Indonesia masih memandang sebelah mata karena itu dianggap menghalalkan perjudian dan prostitusi.

Padahal di negara yang lebih islami dan menempatkan Islam lebih istimewa dalam hukum tatanegara seperti malaysia punya tempat lokalisasi. Selain hal ini bisa menjauhkan masyarakat umum dari penyakit moral juga ada nilai ekonomisnya sebagai pajak negara.

Lagian ketika dua hal itu dilokalisir ke tempat khusus yang jauh dan diperketat, setidaknya yang mau kesana selain ada niat juga mesti punya cukup biaya, tidak seperti sekarang, masyarakat umum yang tidak punya niat dan modal bisa terpapar karena judi dan prostitusi ada di sekitar kita dan ditempat-tempat umum.

Belum lagi persoalan keluarga berencana antara problem sosial atau perlawanan terhadap takdir Tuhan terkait kelahiran seorang anak, juga dengan apik dijawab kiai sahal dengan dalil dan metode istimbat hukum yang memadahi.

Pandangan-pandangan tersebut merupakan bentuk dinamika fikih yang bersinggungan langsung dengan realitas sosial, bagi Kiai Sahal fikih itu hidup dan tepat berada ditengah-tengah persoalan sosial masyarakat, maka ia kudu fleksibel dan solusif namun juga tetap mengakar pada kaidah dan ushul fikih yang ada.

Baca juga:  Soal Seksualitas dalam Film Bumi Manusia

Pemahaman atas realitas kehidupan sekaligus penguasaan terhadap teks serta kemampuan metodologis dalam meramu jawaban merupakan tantangan pesantren dan fukaha kekinian, kalau ingin fikih senatiasa tetap hidup dan tidak ditinggalkan.

Kiai Sahal mengakui tidak ijtihad sendiri dengan menemukan fikih baru, namun masih seputar pada pendapat imam mazhab yang mampu beliau sinkron dan simpulkan menjadi pendapat/solusi baru, karenanya ada yang bilang Kiai Sahal adalah mujtahid mazhab, yaitu menemukan jawaban-jawaban baru dari berbagai pendapat imam madzab dalam teks lama dengan kemampuan khas beliau karena memang beliau menguasai banyak ilmu di berbagai bidang termasuk filsafat.

Dari kaidah-kaidah ushul fikih yang masih bersumber dari pemikiran/ijtihad imam mazhab dengan gesekan persoalan-sosial kekinianlah gagasan Kiai Sahal bermula.

Misal ada kaidah fikih “dar’ul mafashid muqaddamun ala jalbil mashalih”, menolak kerusakan harus didahulukanketimbang menghadirkan kemanfaatan. Inilah rumus sederhana yang sering dipakai Kiai Sahal dalam mencari jawaban atas persoalan, semisal lokalisasi di atas.

Dari proses itulah lahir yang disebut fikih sosial, yaitu fikih sebagai etika-norma perilaku sosial dan jawaban dari problem kehidupan.

Bagi Kiai Sahal fikih tidak boleh mauquf atau mandek ia harus dinamis dan hidup di tengah-tengah masyarakat dan dalam menghadapi masa’il harus ada jawaban.

Baca juga:  Hari Asyura, Menelusuri Makam Kepala Husain

Ke depan fikih sosial yang diupayakan Kiai Sahal inilah yang akan mampu mempertemukan kepentingan negara dengan Islam dan menjadi landasan tetap kokohnya Bangsa Indonesia diatas NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Fikih sosial merupakan jawaban atas kekolotan kaum fundamental dan kebengalan kelompok liberal, tesis ini pulalah yang mendasari serta melatar belakangi berdirinya FISI (Fikih Sosial Institute) di IPMAFA Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati yang didirikan oleh Kiai Sahal, dengan banyak harapan dan program untuk mengembangkan gagasan besar Kiai Sahal demi eksistensi dan kejayaan Islam-Indonesia yang membumi toleran dan rahmatan lil alamin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top