Ulama memiliki arti orang yang layak dimuliakan, dihormati, memiliki integritas keimanan dan ketakwaan yang kuat sehingga kewibawaannya terus meningkat seiring berjalannya waktu. Sebutan ulama memang digunakan sebagai suatu penghormatan kepada seseorang yang layak dihormati dan disegani banyak orang berdasarkan keilmuan yang dimiliki.
Keberadaan ulama dan eksistensi ulama bisa dilihat dari kompetennya dalam bidang ilmu agama, Istiqomah dalam beribadah, sosok faqih atau ahli hukum Islam, ia juga bisa seorang sufi, penasihat para penguasa dan pendidik rakyat jelata dan mendedikasikan hidupnya untuk membimbing dan yang terpenting mampu mengarahkan umat ke jalan yang baik dan benar menurut Islam. Tidak perlu memaksakan diri untuk diakui sebagai ulama. Sebab ulama yang sebenarnya itu punya sejarah hidup, perjuangan yang tinggi, dan dedikasi nyata atas keberlangsungan agama untuk ummat manusia. Maka tidak heran jika bangsa Indonesia ini bisa dikatakan negara yang memiliki kekayaan budaya, bersuku-suku, bermacam agama, dan adat istiadat karena salah satunya bahkan mayoritas tidak bisa lepas dari perjuangan dan peran ulama yang memiliki pemahaman keislaman yang rahmah.
Sebagai orang yang memiliki tugas pembawa risalah nabi, untuk disampaikan kepada ummat manusia, ulama mengambil peran sesuai dengan kapasitas keilmuannya masing-masing untuk bisa bermanfaat kepada orang lain. Tidak perlu memaksakan diri untuk bisa diakui sebagai ulama, sebab ulama itu punya sejarah hidup, perjuangan, dan dedikasi nyata untuk ummat manusia. Punya pandangan visioner tentang islam dan penempatan konteks keislaman masa kini. Sebab ummat saat ini tidak hanya merindukan oase agama sebagai liturgi akan tetapi nilai-nilai keislaman yang mencerminkan keluhuran budi pekerti.
Munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan ulama belakangan ini benar-benar menjadi perkara serius yang harus diperhatikan betul. Terlebih ketika otoritas ilmu keislaman disampaikan dengan cara yang yang tidak islami. Bahkan cenderung melenceng dari tujuan Islam itu sendiri.
Ulama-ulama seperti ini muncul secara terorganisir. Kampanyenya sangat massif. Bahkan cenderung menjungkirbalikkan nilai-nilai norma yang telah dibangun sejak lama oleh ulama yang benar-benar ikhlas berjuang untuk ummat.
Ustaz-ustaz yang disebut ulama di media sosial, tv, dan internet, dan media-media yang seringkali membenturkan nilai-nilai agama yang tercabik-cabik, tak mampu memberikan keteduhan dan menyampaikan esensi Islam yang sebenarnya. Selera media dan pangsa pasar seringkali banyak menipu ummat Islam amatiran yang hanya belajar Islam melalui internet saja. Bahkan dijadikan kualifikasi ulama. Sangat tidak benar dan terkesan melecehkan kriteria ulama yang sebenarnya. Padahal yang tepat adalah melihat integritas moral, kualitas Ilmu, dan kedalaman spiritualnya.
Memiliki banyak fans, jamaah, bahkan followers sekalipun sudah menjadi ukuran kedalam agama dan moral dari kriteria seorang ulama itu sendiri. Ini sangat tidak benar. Padahal kalau melihat dari cara mereka berdakwah tidak lain dan tidak bukan hanya untuk sosialita penghibur, menaikkan popularitas semata, menaikkan harga pasar ditengah maraknya hidup penuh hedonisme.
Adanya teknologi modern, seperti media elektronik dan cetak, dan internet belakangan ini memiliki peran mahapenting yang terus menerus menggerus moralitas kemanusiaan dalam beragama. Agama seringkali dilekatkan pada keangkuhan dan kedengkian. Sehingga menjadi mesin ampuh untuk mendorong kejahatan, ketersinggungan, dan mudah sekali memandang orang lain berdosa dan merasa diri paling suci. Ini sesungguhnya orang sudah terjebak pada pemahaman fundamentalisme yang kaku dan angkuh.
Oleh sebab itu, perlu dan sudah waktunya santri atau alumni pesantren sebagai orang orang memiliki warisan ilmu dari ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas untuk turun gunung. Sudah bukan waktunya lagi, sebagai santri yang memiliki kekayaan khazanah keilmuan pesantren yang sangat toleran ini menyepi dari keramaian. Salah satunya adalah aktif berdakwah, duduki posisi-posisi strategis seperti media sosial dan internet.
Ada banyak cara untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa melalui ilmu agama yang kita miliki, seperti aktif menulis di media sosial, Facebook, Twitter, dan Instagram, dan media-media lain. Kesempatan ini akan menjadi kekuatan tersendiri di era digital ini untuk mengkampanyekan gerakan Islam Rahmatan Lil Alamin melalui calon-calon ulama masa depan yaitu santri.
Salah satu cara paling signifikan sejauh ini untuk mereduksi carut marutnya pendangkalan agama adalah dengan menulis. Karena menulis itu pada sejatinya melawan. Hujatan di media sosial yang mengatasnamakan agama itu adalah bagian dari proses pendangkalan agama itu sendiri. Agama yang sejati tak mungkin menciptakan hujatan pertengkaran.
Media sosial harus terus dipadati dan diisi dengan konten-konten keislaman yang moderat. Ulama di era milenial harus aktif menulis untuk memberikan arah perubahan yang konstruktif dan futuristik pada dunia atas pemahaman islam yang toleran dan moderat yang sudah dipelajari di pesantren. Satu sisi, menulis adalah upaya untuk melestarikan keilmuan pesantren yang sesungguhnya, agar keilmuan pesantren tidak terasa sunyi.
Karenanya, harapan terbaik untuk ulama modern di era milenial adalah tidak lain mengaji. Mengaji kepada guru dan kyai yang memang sudah teruji integritas keilmuannya, integritas moralnya, dan jelas sanad keilmuannya. Jika sudah demikian, maka kita tidak mudah termakan oleh jenis makanan berupa Hoaxs yang belakangan sangat marak terjadi. Artinya kita mudah mengkonfirmasi keilmuan yang seringkali dipelintir seenaknya saja oleh orang yang memiliki kepentingan yang tidak bertanggungjawab. Mari kita Mengaji, Mengabdi, dan jangan lupa menulis untuk sesuatu yang abadi yang mampu meluluhkan hati. (RM)