Nahdlatul Ulama akan memasuki abad kedua. Perjalanan panjang NU selama 100 tahun ini bukan perjalanan yang mudah.
Setelah melalui rangkaian kegiatan menjelang satu abad NU, tanggal 7 Februari 2023 nanti akan digelar resepsi puncak satu abad NU, yang kabarnya akan dihadiri 1 juta warga Nahdliyyin dengan rangakaian acara berlangsung selama 24 jam. Semoga ini tidak menjadi seremonial belaka. Mudah-mudahan tidak.
Diakui atau tidak NU sudah banyak memberikan kontribusi besar terhadap bangsa dan negara. Tanpa NU apalah jadinya negara ini. Warga Nahdliyyin patut bangga dan bersyukur.
Namun apakah cukup dengan bangga saja. Tentu saja tidak. Ada banyak tantangan dan pekerjaan rumah yang perlu dievaluasi, perlu dikongkretkan dan tentu bisa menyentuh akar rumput. Dan yang paling penting momen satu abad ini sebagai refleksi untuk memaknai ulang jihad.
Menjadi warga NU pastinya harus menjadi warga yang bangkit. Nahdliyyin adalah orang-orang yang bangkit. Bangkit dari keterpurukan baik keterpurukan mental, ekonomi, lingkungan dll. Ini pekerjaan yang tidak mudah. Tidak hanya bisa diurus Jam’iyyahnya tapi harus diurus secara berjamaah. Dan beruntunglah kita punya organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul Ulama, yang harapannya di abad kedua bisa lebih serius melindungi dan menjaga warganya dari keterpurukan.
Pada awal-awal sejarahnya, NU sangat berorientasi pada kepentingan borjuis cilik, para pedagang menengah ke bawah yang terancam oleh monopoli Belanda dan Tionghoa pribumi, makanya cenderung resisten dan punya kesadaran tinggi akan perlunya kemandirian.
Pengaruh politik praktis ini mengubah orientasi NU. Menarik dan mendorong NU ke dalam kekuasaan negara. Ini terjadi pada tahun 1940 an. Jadinya banyak oportunismenya.
Bahkan di dalam buku Greg Fealy itu disebutkan, banyak kader-kader NU bermasalah, ada yang terjerat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ini terjadi akhir 1950 an ketika praktik demokrasi liberal di Indonesia lagi menguat. Semoga di abad nanti NU bersih dari praktik-praktik kotor itu.
Nah, kira-kira apa agenda serius yang akan dilakukan NU memasuki abad kedua ini. Kalau kita melihat komposisi struktural NU cukup beragam banyak diisi orang-orang profesional dan akademisi. Harapannya akan ada pemetaan yang lebih menyeluruh, sebenarnya bandul perjuangan NU kemana.
Misal soal konflik ekologi agraria. NU harus bisa merespon cepat persoalan konflik agraria. Ini mestinya harus menjadi jihad NU baik Jam’iyyahnya atau jamaahnya secara konsisten. Kepada siapa harus memihak, kepada siapa harus melawan, dan dengan cara apa harus melawan.
Kampanye yang sering menggema bagaimana NU bisa mandiri. Kekuatan NU ada di ranting. Kaki NU ada di ranting. Seberapa kuat NU tergantung pada ranting.
Nyaris semua warga Nahdliyyin berada di pelosok desa. Sedangkan desa adalah bagian dari ranting NU. Yang pekerjaannya tidak lepas dari bertani, berkebun, berdagang. Pekerjaan ini erat kaitannya dengan lahan, udara dan air. Jadi sangat jelas bahwa warga Nahdliyyin yang ada di ranting sumber penghidupannya rata-rata bertani, berkebun dan berdagang.
Bagaimana mungkin akan ada kemandirian jika sumber penghasilan dari warga Nahdliyyin itu sendiri dirampas tanahnya oleh negara, diserobot para pemodal, diambil alih oleh investor untuk kepentingan industri dan pembangunan. Seperti konflik Wadas yang baru-baru ini terjadi dan rakyat dibuat takluk di tangan negara.
Jika kekuatan NU benar-benar ada di ranting, maka harapannya di abad kedua ini NU bisa lebih serius menangani kasus-kasus yang menimpa warganya di ranting. Tidak hanya sebatas mengambil sikap secara tertulis tapi tidak berdampak apa-apa. Tidak hanya sebatas mengimbau tapi tidak ada pengawalan yang jelas. Tidak hanya sebatas menginstruksikan tapi tak tahu arahnya kemana. Yang paling dibutuhkan adalah pendampingan.
Nyatanya selama ini potensi progresif dan ruang-ruang untuk mengekspresikan hal itu sepertinya lebih banyak ditemukan pada jama’ah yang berada di luar jalur struktural. Anak-anak muda yang tidak punya Kartanu (Kartu NU), misalnya. Atau orang-orang desa yang masih kuat amaliah NU-nya tapi mulai melek politik di tubuh NU. Hanya saja, itu harus dibangun, tidak muncul begitu saja.
Kita bisa memahami besarnya harapan publik terhadap NU, karena NU punya banyak kekuatan di birokrasi, di partai politik, dan di sektor-sektor lain. Kalau kekuatan itu dikerahkan untuk terjun menyelesaikan persoalan keumatan yang kondisinya parah seperti ini, pasti dahsyat. Tetapi, suka atau tidak suka, NU hari ini bagian dari status quo.